logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Guru Les itu...

Malam hari.
Bram duduk di tepi kasur sambil menghela napas berat. Ia melonggarkan dasi yang sedari tadi mencekik lehernya.
"Kamu sudah pulang, Mas?" Suci baru ke luar dari kamar mandi.
"Hm …."
"Kamu mau langsung mandi atau makan dulu?” Suci membantu membuka kancing kemeja Bram.
"Aku langsung mandi saja."
"Baiklah."
"Oh, ya." Bram teringat sesuatu. "Guru baru Agha sudah datang ke rumah?" 
Suci tersenyum manis. "Sudah. Aku nggak menyangka, kalau Zulfa seorang guru yang hebat sampai Agha sangat bersemangat diajari olehnya."
Bram menghela napas lega. "Syukurlah …." Pria itu menyeringai licik. Baguslah. Rencanaku berhasil.
"Terima kasih, ya, Mas. Kamu sudah mencarikan guru sebaik Zulfa. Aku jadi lega karena Agha nggak perlu bersusah payah untuk beradaptasi dengan guru lain dan gonta-ganti lagi," ujar Suci bahagia. 
"Kamu tidak perlu berterima kasih, Agha adalah anakku. Tentu saja aku akan selalu memberikan yang terbaik untuknya."
Suci terkekeh. "Aku tahu, Mas. Tapi aku senang saja kamu memperhatikan anak kita."
Jelas saja. Karena Agha adalah asetku paling berharga. Dasar Bodoh!
"Sudahlah." Bram menyingkirkan tangan Suci dari kemejanya. "Sebaiknya kamu siapkan makananku dan antarkan ke sini saja. Aku malas untuk turun ke bawah," suruh Bram.
"Baiklah, Sayang."
Bram tertawa kecil. Akhirnya, semua rencana yang telah disusunnya berjalan mulus. Wanita itu berhasil beradaptasi dan memerankan tugasnya menjadi sosok guru, bahkan dengan sangat baik. Bram jadi tidak perlu harus mendengarkan rengek wanita menyebalkan tersebut tiap kali mereka bertemu.
Posisi Bram aman kali ini. Ia terluput dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang diancamkan oleh wanita tersebut.
Dasar, menyusahkanku saja.
***
"Ibu! Ibu!" Agha yang mengenakan seragam putih merah berlari tergesa-gesa menghampiri Suci yang sibuk di dapur.
"Ada apa, Sayang?"
"Lihat, Bu! Lihat! Aku dapat nilai seratus dalam pelajaran matematika!" Agha memperlihatkan kertas hasil ujiannya pada Suci dengan senyum lebar.
"Wah! Anak Ibu pintar sekali! Coba lihat." Suci memeriksa hasil kertas itu sambil tersenyum bangga. Dia makin terkagum-kagum pada sosok Zulfa. Selain cantik, wanita itu sangat lihai mendidik anak-anak.
Zulfa benar-benar hebat. Padahal Agha sedikit kesulitan dalam soal matematika, tapi dia mampu mengajari Agha hingga mendapatkan nilai terbaik. Aku harus melakukan sesuatu sebagai ucapan terima kasih.
Suci mengembalikan kertas itu pada Agha. "Kamu simpan baik-baik, ya, Sayang. Sekarang kamu ganti baju lalu makan, Ibu sudah memasakkan makanan kesukaanmu, loh."
"Asyik!" Agha melompat-lompat kegirangan. "Terima kasih, ya, Bu!" Agha memeluk ibunya dengan bahagia.
"Sama-sama, Sayang."
Agha pergi ke lantai atas, sedangkan Suci menelepon Zulfa dan mengajaknya bertemu.
***
Zulfa duduk menunggu di salah satu restoran cepat saji yang disukai anak-anak karena ada papan seluncur. Berkali-kali dia memeriksa jam tangannya dengan perasaan bingung dan gelisah. Sudah hampir setengah jam, Zulfa menunggu Suci. Namun, ibu Agha itu hingga kini tak kunjung datang.
Entah apa alasan Suci sampai mengajak dia bertemu. Suci sama sekali tidak mengatakan apa pun di telepon tadi. Dia hanya bilang ingin bertemu dan memberi tahu sesuatu.
"Hai, Zulfa. Maaf, ya, aku telat. Kamu pasti kelamaan banget menunggu, ya."  Suci tersenyum tak enak.
Zulfa membalasnya ramah. "Tidak, kok, Bu."
Suci duduk di depan Zulfa bersama Agha. "Soalnya tadi Agha sakit perut sampai bolak-balik ke kamar mandi."
"Agha masih sakit?! Sekarang Agha baik-baik saja, kan?!" sergah Zulfa panik. 
Suci sempat kaget ketika Zulfa sangat mencemaskan Agha. Namun, kemudian Suci tersenyum dan memaklumi reaksi guru dari anaknya itu. "Sekarang Agha baik-baik saja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Zulfa menghela napas lega. Ia kira Agha menderita sakit perut parah. Dia segera beralih pada Agha yang sedang asyik bermain video game.
"Agha suka main game, ya?" Zulfa tersenyum manis pada bocah itu, berusaha mengajaknya berkomunikasi.
Agha mengangguk antusias. "Iya, Tante! Ponsel ini hadiah dari Ayah dan Ibu karena aku sudah berprestasi di sekolah!"
"Wah! Hebat! Kamu benar-benar anak pintar!" Zulfa tak tahan membelai rambut Agha. "Oh ya, Bu." Zulfa kembali pada Suci. "Kalau bisa, jangan terlalu izinkan Agha bermain game," saran Zulfa pelan agar tidak terdengar Agha.
Suci mengernyit bingung. Ia bisa melihat jelas kerisauan dari mata Zulfa. "Kenapa?"
"Karena game bisa mempengaruhi keinginan anak untuk belajar dan jadi menurun. Banyak orang tua yang menyewa jasa guru privat, salah satu alasannya karena anak-anak mulai malas belajar semenjak kecanduan bermain game."
"Oh, begitu, ya…." Suci cemas. Perkataan Zulfa ada benarnya juga. Ia tidak mau Agha jadi kecanduan game sehingga berdampak pada prestasinya di kelas.
"Agha, Sayang …." Suci membelai-belai rambut sang putra. "Main game-nya sudah, ya. Nanti lanjut lagi."
Agha menggeleng kuat. "Nggak mau! Aku belum selesai!"
"Tapi—"
"Aku kan sudah dapat nilai bagus, Bu!"
"Sayang, bisa dengarkan Tante …." Zulfa tersenyum manis. "Kalau Agha main game terus, Agha bisa-bisa nggak akan berprestasi di kelas. Apa Agha mau buat Ibu dan Ayah sedih?"
Agha memanyunkan bibir. Akhirnya, dia mau berhenti dan mengembalikan ponselnya pada Suci. "Ya sudah. Agha nggak mau buat Ibu dan Ayah sedih."
"Anak pintar."
"Kalau begitu Agha main perosotan aja, ya, Bu! Boleh, kan!?" Wajah Agha berseri-seri.
Suci mengangguk. "Iya, Sayang, boleh. Tapi jangan nakal-nakal, ya? Janji?"
"Oke, Bu!" Agha langsung berlari menuju papan seluncur dan ikut bermain bersama anak-anak lain.
"Anakmu lucu sekali, ya, Bu," puji Zulfa. "Pasti Ibu bahagia sekali mempunyai anak seperti Agha."
Suci terkekeh geli. Terlintas semua tingkah lucu Agha selama ini. "Iya. Kadang aku suka gemas sampai terus-menerus menciuminya sampai dia risi."
Zulfa terkekeh pelan. "Agha benar-benar anak yang menggemaskan. Ibu sangat beruntung karena bisa memiliki dia." Senyum Zulfa berubah miris.
Suci menyadari perubahan ekspresi Zulfa. Tersirat kesedihan yang sangat kentara di mata Zulfa. Tatapan wanita itu begitu hampa dan frustrasi.
"Kamu kenapa, Fa? Kok kamu langsung sedih?" tanya Suci cemas sambil menyentuh tangan Zulfa.
Zulfa menggeleng cepat. "Ah, saya nggak apa-apa, kok, Bu. Saya nggak sedih, kok. Sa-saya tadi cuma …." Zulfa mendadak kehilangan kata-kata. Meskipun Zulfa sering membohongi semua orang dengan senyum palsu, tetapi dari sorot matanya tidak bisa ditipu.
"Cerita saja, Fa. Anggap saja aku sebagai sahabatmu." Suci tersenyum, menenangkan.
Zulfa tetap kelihatan kikuk. "Serius, Bu. Saya nggak apa-apa, saya hanya teringat orang tua di rumah." Lagi-lagi dia harus berbohong demi kelancaran misinya.
"Kenapa dengan orang tua kamu? Orang tua kamu sakit?"
"Bu-bukan, Bu. Saya hanya rindu saja, sudah lama saya nggak pulang kampung gara-gara terlalu sibuk mengajar anak-anak didik," kata Zulfa.
"Kenapa kamu tidak minta cuti saja?"
"Kalau cuti, orang tua saya makan apa, Bu."
Suci turut prihatin dengan permasalahan Zulfa.  "Kamu berdoa saja supaya rasa rindumu terobati," sarannya.
"Iya, Bu. Pasti …." Zulfa tersenyum. Aku pasti akan selalu mendoakan dia. Sampai kapan pun.
***
Tbc

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    6d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    28d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata