logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Keluar Bersama

Sejak pernikahanku dengan Exel, dan sejak aku hijrah ke Villa super mewah ini, aku sama sekali belum pernah merasakan terpaan cahaya matahari secara langsung, merasakan hembusan angin, dan mendengar desiran pepohonan yang melambai. Ahh, terasa menenangkan. Aku memejamkan mataku tatkala kaki kecilku sudah berdiri di atas rerumputan halaman depan Villa kami.
Demmed hanya tersenyum lega menatap ke arahku. Aku tahu, lelaki itu tampaknya sependapat denganku, jika ini adalah sebuah kebebasan pertamaku setelah terkurung berminggu-minggu di dalam penjara supermewah ini. “Nikmatilah harimu, Nyonya. Dan kupikir aku bisa tenang karena berkatmu Tuan sudah berangsur-angsur kembali normal,” gumaman lelaki tua itu di balik senyumnya.
TITT TITT TITT
Bunyi bell mobil yang ditekan sebanyak tiga kali, ciri khas Exel sejak dulu. Ya, aku ingat benar, setiap kali Exel mengunjungi keluargaku entah untuk suatu keperluan penting atau hanya untuk bermain, dia selalu meminta sopirnya membunyikan kelakson mobil sebanyak tiga kali ‘Sungguh, tidak ada yang berubah dari sisa masa kecil kita, Exel. Aku mencintaimu.” Pikirku.
Kendaraan hitam itu berhasil mengalihkan pandanganku. Lihatlah, dia berhenti tepat di dekatku. Aku melihat Exel yang menyetir sendiri. Aku dan Demmed berjalan mendekat sembari merengut heran atas sesuatu yang tidak biasa’Exel menyetir sendiri’ pikir kami.
Aku beringut, membuka pintu sisi penumpang di sebelah Exel, “Kenapa kamu menyetir sendiri? Dimana supirmu?” kalimat pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku. Setidaknya aku mewakili kebingungan Demmed juga.
“Sayang, hari ini kita akan mengunjungi beberapa tempat. Jadi akan sangat merepotkan jika aku membawa sopir. Jadi aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu, hari ini.”
Aku tersenyum, tak lama pandanganku berpindah pada Demmed yang sudah membungkuk setengah lingkaran, lelaki tua itu tersenyum, mengerlingkan matanya dan mengangkat jarinya membuat symbol ‘Ok’ kepada kami. Aku bisa merasakan jika dia juga turut bahagia atas kebersamaan kami. “Demmed, aku dan Nyonya mungkin terlambat pulang, kau tidak usah menunggu kami.”
“Baik Tuan. Bersenang-senanglah,” seru lelaki itu dengan penuh semangat. Demmed, lelaki yang sepanjang usianya mengabdikan diri untuk melayani Exel. Dapat dikatakan pria tua itu adalah saksi hidup perjalanan Exel, sejak ia menghadapi bulyyan dan pelecehan yang dilakukan oleh orang sekitarnya. Bahkan ketika lelaki itu menjalani beberapa teraphy psikologis hingga ia berubah seperti sekarang ini.
Demmed mengangkat kedua tangannya dan menengadahkan kepala ke atas, seakan ia telah menang dari sebuah pertandingan “Bagus Tuan!” serunya menyemangati hidup sang Tuan.
Hari itu, aku terkejut ketika mobil kami memasuki pelataran parkir sebuah rumah sakit di jantung kota. Aku menerawang melihat ke sekeliling gedung terbesar dan termahal itu, “Kenapa kita kemari, Exel?”
Tidak menjawabiku, lelaki itu mulai membuka lock safety belt-nya, “Kau akan tahu, Liana. Turunlah.” Ucapnya, membuka pintu sisi kemudi. Aku menurut saja, benar katanya sebaiknya aku ikut saja. Entah dia mau bertemu siapa, atau mau melakukan apa, setidaknya di tempat ini bukanlah sarang kriminal. Astaga! Kenapa aku bisa berperasangka buruk lagi kepadanya. Ya Tuhan, ada yang tak beres dengan isi kepalaku.
Kami mulai berjalan memasuku lobi rumah sakit. Dan mulai menelusuri tingkat demi tingkat, lantai demi lantai, lorong demi lorong gedung besar itu. Pada lantai paling tinggi sebuah ruangan bertuliskan Psikiater Conseler, kami berhenti, Exel menarik tubuhku memasuki ruangan itu. Seorang lelaki berkaca mata, dengan rambut hitam dan bersneli, menyambut kedatangan kami, “Oh, Exel. Sudah lama kita tidak berjumpa! Apa kabarmu? Apakah kesehatanmu baik-baik saja?” cecarnya ketika aku dan Exel berjalan mendekat.
Kedua lelaki itu berpelukan. Terlihat akrab. Dari penyambutannya aku bisa menyimpulkan, jika keduanya adalah teman yang sangat dekat. Atau mungkin, lelaki ini adalah dokter psikolog Exel, melihat riwayat kesehatan Exel beberapa tahun terakhir ini.
“Liana, perkenalkan, ini adalah Pedro, psikiaterku. Pedro, ini adalah Liana, gadis yang pernah aku ceritakan kepadamu, dulu.” Aku merengut heran ke arah Exel, setelah mendengar kalimat terakhirnya itu, aku menyadari jika bukan hanya Exel yang mengenaliku tetapi lelaki bersneli ini juga. Hm, aku penasaran, sejauh mana ia mengenal tentangku?
Aku dan Pedro berjabat tangan dengan seulas senyum keramah tamahan yang menjadi pengantar pertemuan kami hari itu. Kami kemudian mengambil tempat duduk.
“Pedro, aku langsung saja, kau tahu kelainan biologis yang kuderita. Beberapa waktu yang lalu, aku melakukannya dengan seseorang, dan aku bisa melewatinya tanpa penyiksaan, aku sekuat tenaga mengendalikan emosionalku dan keinginanku untuk tidak menyakiti. Aku berusaha mendapatkan keinginanku dengan cara yang berbeda.”
“Wow. Itu luar biasa, Exel! Orang itu pasti sangat luar biasa. Itu artinya kau bisa disembuhkan dan aku yakin seratus persen, dengan semangat dari dalam dirimu yang kuat dan motivasi dari seseorang, maka kau akan sembuh dan trauma psikismu bisa kukatakan akan tidak akan muncul lagi, Exel.”
“Benarkah?” Exel membuang pandangannya, seakan ia meneriakkan kebahagiaannya dalam hati. Tak lama pupil coklatnya itu menatap ke arahku. Aku masih memberinya senyum, aku mengerti arah pembicaraannya. Aku hanya terdiam, dan menggenggam tangannya. Seakan ikut menyemangatinya. Dan kurasa Pedro pun juga memahami siapa sosok seseorang yang dimaksud Exel dalam curhatannya itu.
“Aku akan memberimu beberapa obat pendukung. Sehingga dengan teraphy yang kau lakukan, aku bisa menjamin kau akan sembuh total, Exel. Aku yakin itu. Apalagi seseorang itu kini sudah di sampingmu. Jadi dalam kurun waktu yang singkat, trauma psikismu akan hilang, dan terganti oleh Liana. Benar,kan?” tegas Pedro menunjuk pasti kepada Exel yang terlihat malu karena temannya itu ternyata memahami gejolak perasaannya saat ini.
“Liana, dampingi terus dia, jika dalam satu minggu dia bisa melewatinya tanpa faktor dari luar, maka aku bisa menyatakan dia sembuh.” Aku mengangguk kepada Pedro. Ketika lelaki bersneli itu menjelaskan diagnosanya.
Sekembali kami dari rumah sakit, Exel tak membawaku pulang , namun ia membawa kami mengunjungi keluargaku. Mataku seketika berkaca-kaca melihat pagar rumah yang sangat familiar di hati dan mataku, “Exel ….” Aku melirih pada lelaki yang kini mengulas senyum bahagia kepadaku, “Aku tahu sayang, kau ingin berterima kasih, tapi simpan dulu. Karena kita di sini tidak lama, jadi sore nanti kita harus kembali, karena aku ingin membawamu ke suatu tempat.”
“Hm, tidak mengapa. Bagiku lima menit saja sudah cukup, aku sangat merindukan Mommyku, terima kasih Exel.” Tidak memerdulikan Exel yang menyetir, aku mengalungkan kedua tanganku di leher lelaki itu. Ia pun tak berkeberatan, ia hanya tinggal mengatur keseimbangan dan konsentrasinya mengemudi.
TITT TITT TITT
Bunyi kelakson sebanyak tiga kali, ciri khasnya. Dari balik kaca depan mobil aku bisa melihat jika tubuh Mommyku dan Rhiana sudah memajang di teras depan rumah kecil kami. Opst, aku melihat ada satu tambahan lagi, seorang lelaki yang usianya tidak jauh beda dengan Exel. Apakah kakak sudah punya pacar lagi? pikirku.
Kami berdua segera turun. Dengan wajah penuh kebahagiaan, aku berlari berhambur memeluk Mommy dan kak Rhiana. Mereka menyambut kedatangan kami dengan penuh suka cita. Exel mengekoriku dari belakang. Tanpa kusadari, Exel menarik tanganku dan menggennggamnya sembari berjalan mengikuti ibuku yang sudah menuntun kami ke meja makan.
“Kalian, terlihat sangat bahagia, aku harap kalian bersedia makan siang bersama di sini.” Tawaran Mommyku kepada kami yang baru tiba siang itu.
“Apakah kalian bahagia? Liana, kau terlihat kurus.” Kini giliran Rhiana yang mencoba menyelidiki kehidupan rumah tanggaku dengan Exel. Ia tentu belum mengetahui jika Exel sudah berubah.
“Oh, kak Rhiana, tentu saja aku sangat bahagia. Aku kurang istirahat, kak. Maklumlah, Exel sangat ingin sekali agar kami segera memiliki seorang bayi.” Alasanku, melirik penuh bahagia ke arah Exel yang mengeratkan genggamannya kepadaku.
Exel mengamati deretan menu yang tersaji d atas meja makan, lelaki itu menghela napas dalam. Satu masalah dalam dirinya. Dan aku bisa menebak masalah yang dihadapi, “Mommy, bisakah kalian menunggu, apakah Mommy membeli iga sapi? Aku ingin memasak Iga untuk Exel,” cetusku.
Wajah kaget tertampil di aura ibuku, ia mencoba mengingat hasil belanjaannya beberapa saat lalu. Untungnya, ia menyediakan menu wajib itu, karena itu kesukaan Daddyku. Exel dan Daddyku memiliki kesamaan dalam menu.
Tidak ingin membuang waktu, aku segera beranjak ke dapur, tapi aku tidak menyangka jika Exel akan mengikutiku ke sana, “Aku akan membantumu, Liana,” tawarnya.
“Tidak perlu, kau duduklah, aku akan menyiapkan semuanya, Exel.”
“Tidak bisa, aku juga ingin bisa memasaknya.”
Ya begitulah kami sejak dulu, selalu berdebat. Mommy hanya tersenyum hangat melihat sikap kami yang tidak pernah berubah. Berbeda dengan raut yang ditampilkan Rhiana. Seolah merasa iri hati melihat keakaraban kami dan hubungan yang hangat antara aku dan Exel. Sebab ketika menyandang status tunangan Exel, ia bahkan tidak pernah melihat Exel sekocak dan sehumoris itu.
Benar kami melewati masa kecil bersama, namun pada kenyataanya, Rhiana lebih senang dengan kesibukannya sendiri dibandingkan dengan Liana yang menghabiskan waktu bermain bersama Exel.

Komento sa Aklat (389)

  • avatar
    Nadiraumairaa

    ceritanya bagus banget thor😍😍 di lanjut dong season 2 nya, beneran ga sabar nih nunggu nyaaa

    22/06/2022

      1
  • avatar
    rahmandaniMeta

    kisahnya bagus bermanfaat.bagus di baca buat kakain buruan bacaaa sekranggggg

    25/01/2022

      0
  • avatar
    AndreanoFarhan

    200

    29d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata