logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 30

“A-aku.....” lidahku kelu, tenggorokan juga terasa serat hanya untuk menelan ludah. Pikiranku buntu, pandanganku berlari ke mana saja agar tak berserobok dengan pandangan tajam pria di depanku. Jantung... oh jangan tanyakan bagaimana detak jantungku yang jedag-jedug tak karuan sekarang. Yang mungkin saja bisa mengalahkan musik di clup malam. Duh hiperbola banget sih, Ra. Rutukku kepada diri sendiri.
“Bagaimana kalau kita mencoba malam ini, Ra?” duh gusti, aku harus jawab apa?, kalau menolak takutnya dia kecewa dan tak akan meminta hal itu lagi, juga bukannya menolak suami tanpa alasan dosa, tapi kalau aku mengiyakan bisa saja Alfan menganggap aku wanita gampangan yang bisa di ajak berhubungan meski tanpa cinta. Cinta?, mungkin saja aku sudah cinta hanya saja aku tak yakin dengan Alfan. Pria itu terkenal dingin dan tertutup. Layaknya kutup utara. Bahkan selama menikah tak banyak cerita yang dia bagi kepadaku.
“A...aku.” aku menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa.
Ehemm...
Aku berdehem sekilas.
“Ma... maksudnya... kamu dan aku... emmm... kaaamu...ingin kita melakukan itu...” ucapku pelan dan tergagap. Kuangkat wajah dan dalam sekejap mata kita saling pandang. Kuamati lekat ekspresi wajah yang di tampilkan pria yang berstatus suami sah secara agama di depanku. Namun sejauh ini tak ada ekspresi lain selain senyum yang masih setia tersungging di bibirnya sedari tadi. Bahkan pandangan matanya tak setajam biasanya, justru saat ini terlihat teduh yang membuatku betah untuk berlama-lama memandangnya.
“Kenapa gugup gitu sih, Ra. Aku Cuma bercanda kali.” Ucapnya enteng. Dan tanpa permisi dirinya mengacak-acak pelan rambutku. Aku masih diam layaknya patung.
“Aku mandi dulu deh. Atau kamu mau mandi bareng aku?” ucap pria tersebut dengan mengerlingkan sebelah matanya. Aku yang malu terus di goda Alfan, memilih memukul pelan tubuhnya dengan bantal hingga dia mengaduh kesakitan. Dia tertawa nyaring dengan ulahku. Matanya yang biasa menatap tajam lawan bicaranya kini terlihat sipit karena lebarnya tawa yang keluar. Tawa yang ikut menular ke diriku.
“Sudah sana buruan mandi. Ngga sadar apa bau tubuh kamu sudah ingin membuatku muntah saja.” Ujarku ketus. Terlihat tak percaya dengan ucapanku namun dia malah menghirup aroma tubuhnya sendiri.
“Badan wangi begini kok bilang ingin muntah sih, Ra.” Ucapnya yang memang benar tapi aku tak ingin membenarkan. Bisa makin besar kepala nanti dia.
“Udah sana buruan mandi. Badan kamu tuh bau, mana pasti banyak bawa kuman pula.” Kudorong tubuhnya yang tak jua beranjak dari tempat tidur. Bisa bahaya jika makin lama berdekatan dengan pria jangkung ini. Takutnya nanti Alfan akan menyadari bunyi jantungku yang semakin keras ini.
“Iya-iya aku mandi deh.” Ucapnya seraya beranjak turun dari kasur. Aku bisa sedikit bernafas lega sekarang. Namun sebelum benar-benar beranjak ke kamar mandi justru aku di kejutkan dengan benda kenyal yang menempel sekilas di keningku. Aku menatap ke arah pelaku yang seakan tak bersalah telah mencuru ciuman di keningku tersebut. Saat aku menatapnya tajam, justru dia dengan santainya berjalan ke arah kamar mandi dengan bersiul. Setelah tadi lagi-lagi menghadiahiku sebuah kerlingan mata.
*****
Sesuai rencana awal, setelah mandi tadi aku dan Alfan melaksanakan sholat Magrib secara berjama’ah. Bisa di bilang ini kali pertama kami sholat berjama’ah selama beberapa bulan pernikahan kita. Dulu waktu pulang kampung aku juga pernah di imami sholat olehnya. Tapi saat itu bukan hanya aku saja yang menjadi makmumnya, namun juga keluargaku. Sejak saat itu juga aku sudah suka dengan lantunan surat yang di kumandangkan. Suaranya saat mengimami sungguh membuatku terpesona. Lembut dan syahdu. Keluargaku juga berkata demikian. Tak heran jika keluargaku juga menerima Alfan sebagai keluarga baru. Meski masih ada beberapa yang beranggapan aku tak pantas bersanding dengan pria yang ternyata sudah memiliki seorang anak itu. Menurut beberapa orang, masih banyak laki-laki single di luaran sana yang mengharapkanku sebagai istrinya. Tapi mau di kata apa?, mungkin memang takdir aku yang kujalani harus seperti ini.
Di sinilah saat ini aku dan Alfan berada. Dengan tubuh gadis kecil yang berada di tengah-tengah kita. Tangan mungilnya dengan manja mengelus dagu pria yang sedang di tidur di sampingnya.
“Pi, tadi Kania ketemu sama tante Gladis. Telnyata tante Gladis juga cantik sepelti mama Dala.” Adunya kepada pria yang tak lain Alfan. Alfan tersenyum sekilas dengan mata yang beralih menatapku.
“Iya kalau mama Dara tidak cantik mana mau papi jadikan mama Dara sebagai mama Kania. Nanti Kania malu kalau mama dan anaknya lebih cantik anaknya.” Aku melotot ke arahnya. Sementara Alfan lagi-lagi hanya tersenyum melihat ekspresiku. Aku juga melihat Kania ikut tertawa mendengar ocehan Papinya itu.
“Kania kok gitu sih. Masa Mama tidak di bela malah ikutan Papi nertawain Mama sih.”
“Kan Papi benal, kalau Mama Dara tidak cantik nanti Kania di ejek teman-teman Kania. Kan Kania cantik masa Mamanya tak cantik.” Ucap gadis kecil tersebut masih dengan tawa yang terukir di bibirnya. Salah satu tangannya dia gunakan untuk menutup mulut saat sedang tertawa. Keluarga Alfan memang mengajarkan tata krama yang baik sedari kecil. Jadi di usianya yang terbilang belia sudah banyak mempraktikkan ajaran-ajaran tersebut.
“Kok jahat, ya. Mama ngambek nih.”
“Masa ngambek ngomong-ngomong dulu sih, Ra.” Ejek Alfan yang lagi-lagi mengukir senyum di wajah cantik Kania. Kalau bersama keluarga Alfan lebih seperti manusia pada umumnya. Tak terlalu cuek dan harus aku akui dia termasuk Family man sejati.
“Papi kenapa manggil nama sama Mama Dara kan itu tidak sopan.” Tegur Kania. Aku dan Alfan sontak saling pandang, tak menyangka jika Kania bisa se-krisis itu. Alfan berdehem yang seketika menarikku dari pandangan mata pria tersebut. Alfan terlihat menggaruk kepalanya yang bahkan kuyakini tidak gatal saat ini. Sementara aku hanya diam tak niat menjawab juga ucapan Kania. Biarkan saja ayahnya yang memikirkan jawaban.
“Lidah Papi tadi terpeleset sayang. Maksudnya mau manggil Mama Dara tadi kok.” Duh lemes benar itu bibir. Padahal mah biasanya manggil juga nama doang tanpa embel-embel Mama atau sayang. Eh kok malah jadi berharap gini sih. Aku menepuk pelan keningku yang sudah berpikir yang tidak-tidak.
“Kenapa, Ma?, jangan mikir yang tidak-tidak kalau masih ada yang iya-iya.”
“Kenapa kamu sekarang jadi menyebalkan sih....” baru saja aku ingin memanggilnya nama, tapi urung kuucapkan. Untung saja lidahku bisa mengerem tadi, kalau tidak bisa-bisa gantian aku yang di tegur Kania.
“Sudahlah, aku mau tidur saja.” Ucapku seraya menarik selimut hingga sebatas dada. Lalu segera memejamkan mata. Tampaknya Alfan dan Kania tertawa melihat tingkahku ini. Ah biarkan saja lagian salah siapa juga terus mengejekku sedari tadi.
“Pi, tadi selain ketemu tante Gladis, ada juga teman Mama yang lain. Cantik juga.” Meski terpejam telinggaku masih jelas mendengar percakapan keduanya.
“Siapa sayang?”
“Kania juga tidak tahu siapa namanya. Tadi sih sempat kenalan Cuma Kania lupa. Cantik juga deh, Pi.”
Dan aku masih belum bercerita tentang Embun kepada Alfan tadi. Yah mungkin besok atau kapan-kapan akan aku ceritakan tentang perempuan bernama Embun itu. Perempuan yang aku tahu pasti sangat kuat secara fisik dan mentalnya. Karena jika aku yang jadi dirinya belum tentu bisa kuat menghadapi persoalan-persoalan yang ada.

Komento sa Aklat (913)

  • avatar
    IzzariMukhsin

    yes

    08/08

      0
  • avatar
    DelSun

    👌🏻

    07/08

      0
  • avatar
    Ng Shu Yu

    Best laa jgk

    07/07

      0
  • Tingnan Lahat

Tapusin

Mga rekomendasyon para sa iyo