logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 28

Butuh waktu lebih dari empat puluh menit bagi Dara untuk sampai ke tempat tujuan. Hujan yang turun tanpa aba-aba otomatis membuat perjalanannya lebih lama. Cuaca akhir-akhir ini memang seperti tidak bersahabat. Jika pagi cerah bisa saja siang hujan turun dengan derasnya. Sama seperti hari ini. Dara tadi sempat memberi kabar kepada Gladis jika dirinya akan telat nanti dan meminta sang adik memesan beberapa makanan selagi menunggu dirinya yang masih terjebak macet. Meski siang ini kendaraan tak terlalu ramai, namun air yang menggenangi jalanan membuat Dara melajukan kendaraannya di bawah rata-rata. Dara ingin mengumpat merasakan jalanan yang tergenang air, namun dia tak ingin gadis kecil yang sedang duduk manis di kursi samping kemudinya tak nyaman. Bagaimanapun Dara ingin menjadi sosok ibu yang baik untuk Kania. Bukan karena dia ingin menunjukkan ke Alfan kalau dirinya bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk sang putri semata wayang, melainkan memang hatinya yang seperti sudah bertaut dengan Kania dan segala sikap manja sang anak.  Alfan tadi juga sempat menanyakan apakah sang istri jadi bertemu dengan Gladis atau tidak?, dan Dara tentu saja menjawab iya. Bahkan Dara juga sudah meminta izin sang suami untuk mengajak Kania ikut serta. Dan Alfan mengizinkan agar Dara tetap menjaga keselamatan Kania. Apakah itu  berarti Alfan masih belum mempercayainya?, bahkan tanpa Alfan minta sekalipun Dara pasti akan melindungi Kania. 
Dara segera memarkirkan mobilnya di dekat sebuah kafe tempat dia akan bertemu dengan Gladis. “Sudah sampai. Kania disini dulu jangan keluar ya.” Ucapnya seraya tangannya sibuk mengambil Payung yang ada di kursi belakang. Entah firasat dari mana, Dara yang biasanya ceroboh dan pergi tanpa persiapan tadi sempat menaruh satu payung untuk dibawanya ke dalam bagasi. Dara segera membuka pintu mobil setelah payung telah berada di tangannya. Tak lupa dirinya memasukkan ponselnya yang tadi berada di dashboard ke dalam tas selempangnya. Dara juga memutari mobil untuk meminta Kania turun. Meski sempat menolak tak ingin di gendong oleh sang mama, namun akhirnya Kania mengalah begitu Dara bilang jika Dara bisa dimarahi Alfan jika tahu Kania  nekat tak ingin digendong oleh Dara. Dara segera mengajak Kania memasuki gedung kafe setelah memastikan kendaraannya sudah aman disana. Dara sedikit berlari kecil untuk memasuki kafe yang tidak begitu ramai seperti hari-hari biasanya. Pandangan matanya sibuk menjelajah setiap inci ruangan guna mencari keberadaan sang adik yang ternyata duduk di pojok ruangan. Tangannya melambai ringan kearah Gladis yang terlihat tersenyum ke arahnya.  Kaki mungil Kania melangkah di samping Dara. 
“Itu yang di sana tante Gladis, Ma?” tanya Kania dengan tangan yang masih berpegangan dengan jemari sang mama. Dara mengangguk seraya tersenyum.
“Tantik ya, sepelti Mama Dala.” Ucapnya polos.  Tangan Dara tidak bisa untuk tidak mencubit gemas pipi tembam Kania. “Paling bisa ngerayu memang anak Mama ini.” Balas Dara. 
“Maaf ya lama, dek. Kamu sudah pesan makanan kan?” tanya Dara. 
“Tidak lebih lama dari nungguin jodoh datang kok, mbak.” Kelakar Gladis yang membuat Dara memukul pelan lengan sang adik. Setelahnya mereka berpelukan sebagai tanda melepas rindu karena tak bertemu cukup lama. 
“Kania salim dulu sama tante, Gladis!” ucap Dara lembut kepada sang anak yang masih berdiri di sampingnya. Kaki- kaki kecil Kania melangkah ke arah Gladis yang tersenyum lembut ke arahnya. “Cantik banget sih kamu sayang. Siapa namanya?” tanya Gladis saat Kania meraih punggung tangannya. Tangan Dara terulur mengusap sayang pucuk kepala sang anak, sementara Gladis mencubit pelan pipi sang ponakan yang tembam itu lalu mencium kedua pipinya yang membuat Kania mengerjakan matanya lucu. 
“Nama aku Kania, tante.” Jawab Kania seraya duduk di kursi yang sebelumnya telah di tarik Dara agar memudahkan sang putri untuk duduk. Dara sendiri memilih duduk di samping Kania yang berseberangan dengan Gladis yang terpisahkan sebuah meja. 
Dara mengangkat salah satu tangannya sebagai isyarat memesan makanan. Setelahnya salah satu pegawai Kafe tersebut datang dan mencatat beberapa makanan pesanan Dara dan juga Kania. 
“Baik, silakan di tunggu kakak.” Kata pelayan ramah dan segera meninggalkan meja mereka. 
“Bunda dan Ayah sehat kan dek?”
“Sehat kok mbak. Oh iya mereka juga titip salam buat mbak Dara, katanya minta di buatkan cucu yang lucu seperti Kania.” Dara hanya tersenyum menanggapi ucapan Gladis. 
“Doakan saja. Semoga apa yang sedang mbak usahakan kelak akan membuahkan hasil yang baik untuk kita semua.” Jawab Dara yang hanya di balas anggukan kepala sang adik. Bagaimana bisa dirinya memberi seorang cucu jika sampai saat ini saja Alfan tak pernah menyentuh dirinya. Lagian Dara cukup waras untuk tak meminta di tiduri oleh sang suami karena sadar jika Alfan kemungkinan besar masih mencintai mama Kania yang entah berada di mana saat ini. Satu lagi pertimbangannya adalah pernikahan mereka yang belum tercatat secara sah di mata hukum. 
“Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk mbak Dara. Tapi doa kami semua tak akan terwujud jika tanpa adanya aksi nyata dari orang yang di doakan, bukan?” 
“Iya kamu benar. Tapi kamu tahu kan apa yang akan orang pikir tentang mbak jika hamil dalam keadaan seperti ini?” 
“Tapi mbak Dara bisa meminta mas Alfan untuk menikahi mbak Dara secara resmi bukan?” 
“Tidak untuk saat ini, dek.” 
“Tapi kenapa?” Dara menggenggam lembut tangan sang adik yang membuat sang empunya menatap fokus ke arah sang kakak. 
“Bisa kita ganti topiknya?” tanya Dara lembut yang sontak membuat Gladis merasa bersalah karena terlalu jauh ikut campur urusan rumah tangga sang kakak. Gladis mengangguk. Tak ingin membuat Dara semakin tak nyaman dengannya. Cukup lama mereka terdiam hingga kemudian pelayan datang untuk mengantar pesanan mereka. 
“Bagaimana persiapan pernikahan kamu?, sudah sejauh mana?” tanya Dara seraya memasukan beberapa potongan stik ke dalam mulutnya.   
“Belum terlalu banyak persiapan, kan masih beberapa bulan lagi, mbak.” Matanya terarah melihat Kania yang tak menurutnya tak terlalu manja sebagai anak dan cucu satu-satunya dari keluarga Alfan. Justru Kania terlihat mandiri di usia-nya yang masih kecil. 
“Mau tante suapin tidak?” tanyanya yang mendapat gelengan kepala. 
“Kania bisa sendili kok. Kan Kania sudah besal.” Jawab Kania dengan wajah imutnya.  
“Pintar anak mama.” Ucap Dara seraya mencium lembut pipi sang anak yang membuat Gladis merasa bersyukur karena setidaknya Kania dapat menjadi alasan Dara tersenyum di rumah tangga yang entah dalamnya seperti apa. Satu hal yang pasti jika rumah tangga yang di jalani sang kakak pastinya tidaklah mudah dan dia hanya berdoa semoga hal baik selalu bersama sang kakak.

Komento sa Aklat (913)

  • avatar
    IzzariMukhsin

    yes

    08/08

      0
  • avatar
    DelSun

    👌🏻

    07/08

      0
  • avatar
    Ng Shu Yu

    Best laa jgk

    07/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata