logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

MIMPI ITU DATANG LAGI

Noya sedang merebahkan sejenak dirinya ke ranjang dan menutupi matanya dengan lengannya. Ia terlelap begitu saja dan sudah terbuai oleh mimpinya.
"Mama," panggil Gilang anak usia lima tahun yang kini sedang berada di sekolah TK-nya.
"Gilang di sini saja ya. Sama guru, mama mau ke pasar dulu beli sayur," ucap Noya sembari berjongkok dan mengusap lembut rambut Gilang. "Mama jemput kok. Hanya sebentar saja," pamitnya.
"Mama ... Gilang sayang mama, jangan lama-lama ya," ucap Gilang seraya memeluk erat Noya.
"Gak biasanya kamu kayak gini?" goda Noya sambil mencubit kedua pipi Gilang.
"Gilang kangen," rengek anak itu.
"Mama juga kangen kok. Sehari bahkan semenit pun mama gak bisa gak lihat anak mama ini," Noya tersenyum sembari berdiri dan membawa Gilang masuk ke kelasnya. "Belajar yang benar ya, nanti mama masakin kesukaanmu," ucap Noya.
Gilang menatap Noya dengan pandangan tidak iklas, Noya heran akan sikap putranya yang tidak biasa itu. Ia tersenyum pada guru TK-nya dan berbicara sesuatu padanya kemudian pergi dengan mobilnya. Beberapa menit kemudian ia datang lagi dan tersenyum membawa sebuah mobil remote untuk Gilang.
"Loh, Gilangnya kan, sudah dijemput," kata ibu TK-nya heran.
"Sejak kapan? Saya tidak menyuruh siapa-siapa untuk menjemputnya?!" tanyanya heran.
"Tadi sudah dijemput oleh ayahnya," jawabnya.
Noya mengambil ponselnya dan menekan nama Rang di sana. "Halo, apakah Gilang bersamamu?" tanyanya.
"Tidak," balas Rang. "Jangan bilang kamu kehilangan dia!" kecamnya.
Noya tersentak dan panik. Ia memegang keningnya dan menatap guru di hadapannya yang heran melihat sikap drastisnya. "Ke mana anakku?!" bentaknya.
"Saya tidak tahu, saya tahunya dia dijemput ayahnya," jawab si guru. Terlihat jujur tak sedang berdusta. Namun, Noya masih ragu sebab Rang tak perhatian kepada Gilang. Bagaimana waktunya selalu habis di luar daripada di rumah bersama mereka.
Noya membuang keranjang belanja dan hadiahnya ke lantai dan kini mencengkram kedua pundak perempuan itu. "Ayahnya tidak tahu! Kenapa kamu membiarkannya pergi tanpa memberitahuku?! Kenapa?!" teriaknya.
"Sa-saya minta maaf," ucapnya takut.
Semua anak-anak TK bahkan ibu-ibu yang berjaga di sekolah itu memandang mereka dengan tatapan bertanya-tanya. Wajar saja karena memang belum waktunya anak TK mereka pulang, tapi kenapa dia diperbolehkan pulang dengan alasan dijemput ayahnya.
Noya melepaskan cengkramannya pada guru itu dan mengambil semua belanjaannya yang berada di lantai. "Kalau dia tidak dapat, aku akan menuntutmu!" ancamnya. Ia segera masuk ke mobil dan pergi dari sana.
Noya terbangun dan menyeka air matanya yang mengalir dari sudut matanya. Ia duduk di ranjang. Ting tong. Suara bel pintunya berbunyi. Ia segera bangkit dari sana sambil merapikan baju dan anak rambutnya yang berantakan. Seorang pengantar surat datang dan memberikan surat padanya. Setelah menandatangani bukti penerimaan, ia membuka surat itu. Daftar panjang membuat matanya terbelalak tidak percaya.
Dering ponselnya berbunyi, ia segera meraih ponsel yang terdapat di meja riasnya. Ada nama Rang di sana. "Apa kamu sudah menerima surat itu, surat tagihan tunggakan rumah selama enam bulan?" tanya Rang. Noya tidak menjawab, Rang masih saja berbicara di sana. "Ups, maaf aku lupa membayar tagihan. Kuharap kamu tidak jadi gelandangan saat ini," sindirnya.
"Salahku apa?!" Noya mengakhiri sambungan teleponnya dan melemparkan ponselnya ke dinding.
Ponsel terbelah dua dan rusak. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, tidak sadar malah menangis meratapi nasibnya. Noya menuju kulkasnya dan mengambil air mineral di sana, ia sempat melihat kulkasnya yang bersih tanpa persediaan makanan sama sekali. Seperti mengingat sesuatu ia segera menuju tempat sampah di sebelah dapurnya. ia acak-acak hingga ditumpah dan mencari-cari potongan kertas di sana. Kertas robek kecil-kecil disusunnya di lantai. Ia segera berdiri dan menghampiri meja kamarnya dan mencari lem di sana. Kembali lagi dan mulai menyusun mereka di atas selembar kertas buku yang baru disobeknya. Noya mengambil jaket merahnya kemudian pergi. Noya mengalami mogok di jalan. Mobilnya harus diperbaiki dengan segera beruntung dirinya adalah perempuan mandiri sejak Rang tidak lagi menghiraukan segala permintaannya. Noya meraih peralatan perbaikan dari bawah bangku kemudi. Ia mulai memerbaikinya. Dua orang pemuda datang dengan kendaraan bermotor ingin menawarkan bantuan dengan gelagat yang mencurigakan.
"Apanya yang rusak, Bu?" tanya pemuda berambut lurus sedikit panjang. Ia mengenakan jaket hitam sedangkan rekannya mengenakan kaus biru laut. Mereka sering saling lirik sehingga membuat Noya makin curiga akan tingkah mereka.
"Bisa tolong buka pintunya? Saya akan coba menghidupkannya?"
"Tidak perlu! Saya bisa sendiri!" tolaknya.
"Baiklah, cobalah!"
Noya menghampiri pintu. Namun, saat hendak membuka pintu ia melirik pemuda yang sedari tadi bertanya kepadanya. Nampaknya pemuda ini sedang menunggu kesempatan untuk menyerangnya. Noya lantas berbalik. "Aduh, aku lupa kuncinya tadi terjatuh di mesin mobil itu!" Ia menunjuk bagian depan mobil.
"Bim, coba kamu tolong ibu ini cari kunci mobilnya di mesin itu, dong!"
"Eh, di mana jatuhnya kalau di sini sulit untuk mencarinya. tak bisa menjangkau dengan tangan!"
"Pakai apa, kek! Cari ranting atau apa pun biar bisa menjangkaunya!"
Bodohnya pemuda ini lantas mencari ranting. Tak menemukan di pinggir jalan ia lantas naik ke darat. Mencarinya sedikit lebih dalam ke hutan.
"Sebentar ya, Bu. teman saya akan mencari ranting untuk mencarinya." Ia tersenyum kepada Noya.
Noya mengangguk tanpa ekspresi. "Saya akan menghubungi suami saya dulu." Ia menjauh sedikit untuk menelepon. Padahal ponselnya kini telah rusak. Dirinya hanya berpura-pura meraih ponsel dari saku jaket merahnya. Sesuatu yang dingin menempel di lehernya. Membuat Noya memandang kepada benda tersebut. Sebilah pisau lipat kini mengancamnya.
"Jangan berani menghubungi siapa pun!" Ia menekan sedikit sehingga Noya kini menegak.
Noya mengangkat tangan. "Apa maumu?"
"Mobil ini!"
"Ambil saja bila ada kuncinya."
"Hem, jangan-jangan kamu berdusta!" Ia segera menggeledah Noya. Merogoh kantung jaket.
"Sudah kubilang tidak ada. Bahkan ponsel pun juga tidak."
"Rupanya kamu pintar juga." Ia tersenyum mengejek. Begitupun Noya membalas senyum itu dengan tersenyum pula. "Bisa santai juga kamu, ya?" Ia menekan hingga darah menggores sedikit bagian kulit Noya.
Noya terpaksa mencengkram kedua paha pemuda itu. Ia merasa perih, tatapi tak merasa jerih. "Kamu bisa lepaskan aku kemudian bawa mobil itu, kan?!" tekannya.
Temannya tadi datang. Dengan berlari kecil ia menuju pada bagian mesin untuk mencari. Noya mengerang kesal lantaran kini ia diseret dengan masih benda tersebut mengancam leher.
"Ketemu, Bim?"
"Belum!" Bimo masih mencarinya.
Kendaraan akan melintas dari kejauhan. Noya segera dilepaskan kemudian didorong sehingga menghadap pintu mobil. Pemuda ini berbalik seolah-olah tidak melakukan apa pun. Namun, tangannya tetap mengancam Noya di bagian pinggang. "Awas bila kamu berani macam-macam!"
Noya melirik mobil lalu lalang. Jalan itu mulai ramai kembali. Ia perlahan meraih kunci dari dalam jaket. Merasa sesuatu yang mencurigakan pemuda ini lantas akan mengarahkan kembali dengan cara mengunci leher Noya. Namun ... "Akh! Em--" Noya menarik tangannya kemudian balas mengunci leher lawan. Ia pula segera membungkam musuh agar rekannya tidak menyadari dirinya berhasil melumpuhkan lawan. Pisau tadi segera dirampas.
"Bersuara sedikit saja. Nyawamu akan melayang!"
"Aku nggak ketemu, nih kuncinya!" seru Bimo putus asa.
Noya menggeser lawannya agar menjauhi pintu. Ia membuka pintu sembari masih mengunci lawan. Noya membuka pintu.
Bimo merasa mendengar suara pintu. Ia merasa aneh lantas memandang ke samping. "Hei!" Ia berusaha mencegah Noya masuk.
Noya menendang lawan kemudian ia masuk dengan cepat ke mobil. Noya coba menghidupkan mesin, tetapi gagal. "Oh, sial!" Ia menampar kemudi.
"Keluar kamu!" bentak Bimo seraya menggedor kaca. "Keluar atau aku pecahkan kaca ini!"
"Orang ini mau main-main denganku rupanya!" ucapnya tanpa menggerakkan bibir. Noya membuka pintu dengan kejut sehingga Bimo yang tadinya hendak bergeser dari pintu kini malah terjengkang di bawah. Brak!
"Kurang asam!" bentak Bimo. Ia tidak terima diperlakukan kasar oleh Noya. Bersamaan dengan itu rekannya juga berdiri.
Noya menyingsing lengan jaket. Ia maju kemudian menatap tajam mereka berdua. "Kalian pikir mudah untuk melawanku, hah? Jangan kira aku lemah sehingga dapat ditindas!"
"Kami hanya ingin mobilmu. Bila kamu bertindak lain maka kami akan bertindak lebih!"
"Apa ini?!" Noya membuka paksa jaketnya. Menunjuk darah yang masih mengalir dari lehernya. "Tidak macam-macam katamu, hah?!" teriaknya.
Mereka berdua mundur karena melihat kemurkaan Noya. Bagai seorang yang telah lama tidak menyiksa seseorang dan kini saatnya.
"Itu kulakukan kare--akh!" Dbuk!" Noya menendang perut Bimo dengan kaki kiri. Bimo termundur. Ia pegangi perut yang sakit. Rasanya ia kehilangan waktu untuk bernapas sejenak.
"Biar aku yang hadapi perempuan ganas ini!" Ia menarik pelan Bimo untuk maju melawan Noya. "Hiya!" Satu tendangan kiri akan menghantam kepala Noya. Namun, Noya menangkis dengan lengan kanan kemudian maju selangkah. Secepat kilat Noya berputar kemudian menyerang dengan siku kiri ke arah dagu. "Heg!" Rasanya bukan main. Darah menyembur dari mulutnya. Tak hanya itu Noya pula meraih kepala lawan kemudian dihantamkan ke lutut kanannya. "Agh!" erangnya. Noya mendorong lawan yang kini dalam keadaan menderita hingga jatuh di aspal. Noya segera menekan dada lawan dengan betis kanan sehingga lawan berbaring pada aspal. Ia memberi isyarat agar mereka jangan ada yang melawan atau tidak pisau di tangannya akan bicara.
Noya kemudian berbalik cepat mengambil serangan menendang samping hingga kaki kanannya mengenai pipi Bimo. Seketika pemuda sombong tersebut terpental jatuh dengan gigi tanggal dan hidung berdarah. Noya menuding mereka seraya berjalan untuk memeriksa mesin mobil. Setelah dirasa beres ia kembali lagi dengan masih menatap tajam mereka yang tidak berdaya bangun. Noya segera meninggalkan tempat tersebut. Mereka baru berani mengaduh dan menghampiri motor dengan terbungkuk-bungkuk setelah mobil Noya menghilang di balik tikungan sana.
"Suatu saat akan aku balas perempuan itu, Bim! Aku tidak terima dipermalukan seperti ini olehnya!" Ia menunjuk jalan yang dilalui Noya.
"Kita harus cari orang banyak untuk memberi pelajaran kepada perempuan ganas itu!"
Mereka kemudian pergi setelah saling merencanakan hal buruk tentang Noya.

Komento sa Aklat (511)

  • avatar
    NegeriAnak

    Novel ini memiliki alur hambel dan graudal sehingga mampu menjerat rasa penasaran pembaca. Perlahan kita jadi menikmati setiap kejadi-kejadian kecil dan kejadian yang besar. Konstruksi kisahnya seperti melukis di atas batu karam, dimana kisah ini memulai dari hal sosial yang hampir sama di setiap lingkungan hidup kita. Saya jadi semakin penasaran untuk lanjut membaca, karena kisah ini juga ibarat mendaki gunung. Namun setelah saya membaca ada beberapa ejaan dan kosa kata yang kurang hurufnya.

    06/02/2022

      0
  • avatar
    Fujii Ann

    Lanjut

    10/08

      0
  • avatar
    ALARM_THAILOOK

    keren cui novel nya bagus iii aku suka bangettt tpi lagi asli kalau dia sexy lagi bagussss

    08/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata