logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kasus Baru

Kantor polisi New York, saat ini di sibukkan dengan satu berita yang cukup menyedot perhatian mereka. Satu jam yang lalu kepala polisi mendapat kabar dari salah satu keluarga yang berada di Hongkong bahwa satu anggota dari kelompok jaringan mafia terbesar Jepang melarikan diri dan sekarang berada di Amerika. Ia tak mengira akan kedatangan tamu yang begitu di cari FBI. Bisa menangkapnya pasti akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Buru-buru pria itu mengusir sesuatu yang buruk di pikirannya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk memikirkan sebuah kebanggaan. Terpenting bisa menangkap lima orang yang menjadi target utama.
“Pak, Anna mencari anda,” ujar salah seorang polisi berseragam coklat. Pria itu tak menjawab, ia beranjak dari tempatnya dan bergegas menemui wanita itu.
Anna berdiri menatap sang kepala polisi yang datang dari arah depannya. Wanita berbusana kasual dengan rambut panjang yang terikat rapi. Riasan natural yang di kenakan tak menutupi kecantikannya. Kepala polisi itu membawa Anna duduk di sebuah bangku panjang yang ada tak jauh dari tempat mereka bertemu.
“Bagaimana?” tanya pria berbaju seragam dengan empat bintang emas di ke dua sisinya. Anna memberanikan diri menatap atasannya.
“Untuk saat ini saya akan memulai benar-benar fokus pada ke lima orang pembunuh para anggota dewan. Saya harap anda memberi izin pada Arthur dan Harry untuk ikut bergabung. Arthur bisa sedikit membuka jalan, karena dia yang tahu bagaimana kerja mereka. Juga detektif Richee ... bersedia membantu,” tutur Anna.
Pria itu mengangguk-angguk. Tidak ada salahnya jika mereka bergabung. Toh, Harry cukup lihai untuk melakukan pengintaian. Tak lupa, keahliannya menembak cukup membuat beberapa teroris kelabakan dua tahun lalu. “Baiklah. Aku percaya padamu.”
Anna terlihat senang, tetapi wajahnya berubah saat melihat ekspresi kepala polisi itu terlihat gusar. “Ada apa, Pak?” tanya Anna. Pria itu menatapnya sendu lalu menggeleng pelan sembari mengulum senyum.
“Tidak ada. Masih ada beberapa hal yang harus saya urus sekarang.” Berdiri dari duduknya di ikuti Anna yang juga pamit undur diri. Meski wanita cantik itu tahu benar bahwa kepala polisi tengah memiliki masalah serius. Namun, mengoreknya lebih dalam hanya akan menambah masalah dan tak mungkin bisa ia atasi sekaligus.
***
Brian duduk di samping Edward yang fokus pada laptopnya. Menyodorkan roti kering yang hanya di tepis halus lelaki gempal itu.
“Tumben tak terpancing,” gumam Rey pelan. Edward hanya melirik, tak tertarik menyahut ucapan temannya. Sementara Brian menggeleng, menyeruput kopi hitamnya dan kembali menatap dua temannya bergantian.
“Kapan Jovi kembali?” tanya lelaki berhidung mancung dengan kulit putih.
“Entahlah,” gumam Rey sembari menarik nafas dalam. “Erick bahkan tak ada kabar. Apa mereka hanya perlu menanganinya berdua? Aku bosan disini.”
“Lihat!” Edward membuat ke dua temannya menatap laptop yang memperlihatkan titik merah di sebuah gedung.
“Bukankah sudah kubilang, Lucca akan baik-baik saja.” Brian berbangga diri. Edward mengembangkan senyum lebarnya, sementara Rey tak begitu senang karena Erick bahkan tak menghubunginya sejak ia pergi dengan Jovi.
**
Hari ini, Arthur dan Harry pergi ke apartemen yang beberapa waktu lalu menjadi tempat tinggal ia dan ke lima lelaki yang kini menjadi buronan. Suasananya tak ada yang berubah, hanya sepi dan dingin cukup membuatnya miris. Sepertinya sudah direncanakan mereka akan meninggalkan rumah. Meja tempat di mana Iyan menyimpan laptop, kini hanya ada jam mungil yang dulu di belinya. Dapur yang berhadapan langsung dengan ruang TV hanya ada satu cup kosong, biasanya Brian akan berdiri di sana, fokus pada kopi hitam yang di seduhnya.
Tatapan kini beralih pada pigura besar yang menempel di dinding, tepat di atas sofa panjang. Foto mereka berenam. Ia ingat bagaimana foto itu di ambil dengan susah payah. Di sana Erick nampak kesal karena Arthur mengalungkan tangan di lehernya, sementara yang lainnya tersenyum lebar. Ada bahagia terlukis jelas di sana. Bagaimana ia melihat ada gurat kebaikan dan ketulusan dari mereka, hanya saja jalan yang mereka ambil saat ini salah.
“Kau merindukan mereka?” Harry menepuk pundaknya pelan membuat lelaki itu sadar dari lamunannya. Arthur tersenyum hangat dan menepis tangan Harlan lembut.
“Akui saja. Toh, tak ada yang salah dengan perasaan itu. Kau tahu Niel? Daniel Hwang?” Pertanyaan Harry membuat Arthur membulatkan matanya. Siapa yang tidak tahu sosok Daniel Hwang. Pengawal presiden yang berkhianat dan bergabung dengan kelompok teroris. Ia tewas dengan timah panas di dada dan kepalanya, tentu Arthur tahu siapa yang membunuh lelaki keturunan Cina itu. “Meski aku sangat membenci pengkhianatannya, aku tetap tak bisa membenci sosoknya.”
Arthur menunduk, membiarkan waktu bergulir sejenak. Sebesar apa pun rasa benci yang ingin ia tunjukkan, dua tahun bukan waktu sebentar untuk mereka bersama. Meski kekompakan mereka selama ini atas dasar kebohongan, tetap terasa tulus baginya.
“Ahh ... Sudahlah, memikirkan mereka tak ada gunanya. Lebih baik kita bergegas, aku tak ingin mendengar detektif itu mengomel.” Harry berdiri, berjalan ke sisi kirinya. Membuka pintu yang bertuliskan angka ‘1', itu kamar Erick dulu.
Kamar itu kosong, hanya tertinggal ranjang besar, lemari baju, dan meja kecil dengan lampu tidur yang tak terlalu besar. Tangan Harry membuka satu laci pada meja kecil itu perlahan. Matanya menyipit, memperjelas apa yang ia lihat kini. Sebuah kertas yang terdapat banyak coretan tak menentu. Sepertinya itu nama-nama target mereka yang sudah berhasil di bunuh.
“SJP? Siapa?” tanya Harry memperlihatkan kertas itu pada Arthur. Lelaki itu menggeleng pelan.
“Aku tak begitu tahu detailnya. Yang kutahu, dia target utama misi kami. Sepertinya Erick sangat membenci orang itu,” tutur Arthur. Harry sempat berpikir, mungkin dia salah satu petinggi negara.
“Kau tahu, Har?” lelaki bermata hitam itu menoleh, mendapati Arthur tengah menatap ke luar jendela yang baru saja ia buka tirainya. “Mereka membunuh politikus yang korup,” ucap Arthur. Harry menatapnya lurus, tak berniat memotong ucapan lelaki di sampingnya. “Semuanya, punya catatan kriminal. Hanya saja Erick tak pernah memberitahukannya pada kami, kejahatan apa yang di lakukan hingga pantas mendapat hadiah sebuah kematian,” lanjutnya.
Tak ada sahutan, Harry ikut menatap arah pandangan Arthur. Jika menegakkan hukum dengan membunuh yang berbuat kriminal, bukankah itu juga tindakan melanggar hukum? Ada yang bilang, ‘akan ada hukuman atas apa yang kau perbuat’. Seniornya juga pernah mengatakan bahwa ‘nyawa harus di bayar nyawa’. Sejatinya tak ada yang salah dengan itu, hanya saja bagaimana cara mengatasinya itu yang menjadi masalah.
**
Jovi menghampiri seorang pria yang empat tahun lebih muda dari ayahnya. Pria berjas abu itu tersenyum dan mempersilakan Jovi duduk di kursi yang ada di sampingnya. Menyeruput pelan secangkir kopi yang sedari tadi menemaninya.
“Jadi, ayahmu yang memintamu kemari?” tanya pria itu setelah menaruh kembali cangkir kopinya di meja.
Jovi menggeleng pelan, “Bukan. Temanku akan datang kemari dan mengontrak salah satu kantor di gedung ini. Daddy ... mana mungkin memintaku kemari.” Jovi tersenyum getir, terlihat jelas gurat kecewa juga sedih di wajah tampannya. Sang paman mengerti, menepuk punggung sang keponakan mencoba mengurangi sedikit sedihnya. Ia paham bagaimana renggangnya hubungan ayah dan anak itu saat ini.
“Mungkin ayahmu ... “
“Sudahlah paman, tak ada gunanya membahas itu.” Jovi mengulum senyum, meski ada perasaan sesak. “Oh ya, paman. Aku nanti akan menemui temanku dan mengajaknya berkeliling. Juga tinggal di apartemen untuk dua hari.”
“Baiklah, paman akan konfirmasi pada pengurus apartemen,” ucapan pamannya membuat Jovi tersenyum senang.
Jovi bukanlah anak kesayangan yang selalu berada di bawah lingkup kasih sayang orang tua, terlebih ayahnya. Ayah tak pernah peduli lagi padanya, bahkan tak ada lagi sapaan yang biasa di dengarnya. Katakanlah Jovi kerap kali membantah ucapan sang ayah, khususnya untuk belajar mengurus perusahaan. Sementara ibu, meskipun sangat menyayanginya dan tak pernah sekali pun mengekangnya, tetap saja sang suami menjadi prioritas utama. Jovi mengerti itu, Jovi paham situasinya. Hanya saja ia cukup egois untuk menuruti perintah ayahnya.
**
Kembali ruangan luas dengan beberapa retakan ditembok juga atap yang berlubang. Hari masih menunjukkan pukul 14.43 sore. Ruangan ini lebih besar dari ruangan yang ia lihat pada malam hari. Tali yang menggantung di tengah sudah tak ada, sementara kursi kayu yang di pakai untuk mengikatnya tergeletak begitu saja.
Melangkah lebih dalam karena penasaran dengan apa yang ada di balik pintu besi tepat di depannya. Sebelum ia memegang knop pintu, suara seorang lelaki tinggi dengan hoody abu menahannya.
“Anna, aku menemukan ini,” ujar lelaki itu dengan tangan kanannya mengacungkan sebuah ponsel. Anna mendekatinya dan mengambil alih ponsel yang bukan milik lelaki itu.
“Kau dapat dari mana?” tanya Anna sembari berusaha membuka ponsel dengan sebuah kode angka.
“Tergeletak di dekat pintu. Aku rasa ini ponsel milik salah satu anggota Erick.”
Anna mengembuskan napas kasar. Kesal karena tak bisa membuka ponsel, ia kini berbalik membuka pintu dan harus kecewa dengan apa yang di lihatnya. Tanah lapang yang terdapat pemukiman warga tak jauh dari sana. Pantas saja malam itu tak terkejar polisi. Mungkin saja dia langsung masuk ke pemukiman warga sementara polisi tak melihat karena terhalang dinding tinggi di ke dua sisinya.
“Sangat mudah. Mereka sepertinya sengaja memakai lokasi yang sangat mudah untuk meloloskan diri jika terdesak.” Richee berjalan mendekati pemukiman penduduk dan mengedarkan pandangannya ke seluruh hamparan rumah. Riska mengikutinya lalu berjongkok di bawah sebuah pohon besar di sana, tangannya masih menggenggam ponsel yang di berikan Richee .
“Kau tenang saja, ponsel itu akan aku bawa ke kantor. Lisa bisa memecahkan kodenya.” Tak menjawab Anna justru menggeleng pelan.
“Bukan itu masalahnya.” Menarik napas berat, lalu menatap sendu lelaki yang kini duduk di sampingnya. “Aku benar-benar ingin memecahkan kasus ini dan menangkap Erick juga empat temannya. Aku merasa kasihan pada kepala polisi, sepertinya beliau menghadapi masalah yang cukup berat, tetapi tak bisa ia katakan padaku,” lirih Anna, ia terduduk dan memeluk kedua lututnya. Menunduk, membiarkan angin menerpa wajahnya lembut. Richee mengusap punggung wanita itu ragu. Bagaimana pun wanita di sampingnya itu kini menjadi prioritas utamanya.
**
Seorang lelaki terbaring lemah dengan infus yang menancap di tangannya. Wajahnya sangat pucat, perban membungkus kepalanya dan terlihat luka lebam di sudut bibir juga pipi kanannya. Napasnya terlihat teratur, keadaannya cukup baik meski ia belum membuka mata.
Terlihat seorang pria mengenakan kemeja putih dengan kancing atasnya terbuka. Tangannya sibuk menari di atas keyboard laptop hitamnya, sesekali ia membenarkan kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya. Ia menoleh kearah lelaki yang terbaring dengan wajah datar namun terlihat khawatir.
Lelaki dengan name tag ‘Raychan' itu terlihat menghembuskan napas gusar. Entah apa yang ia pikirkan kini, hanya saja perasaan khawatir dan ketakutan itu tak mau menyingkir dari hatinya. Terlebih melihat kondisi lelaki di belakangnya yang terlihat sudah membaik, tetapi luka di kepalanya cukup parah.
Kuharap kau baik-baik saja, Zull. Maaf.
Ingatannya tiba-tiba menyelam jauh ke beberapa tahun silam. Saat ia merasa kesal dan marah pada keluarganya yang terlihat baik-baik saja. Teman-temannya kerap memuji keberhasilan keluarganya, terutama sang ayah. Namun, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Tak ada makan malam keluarga, tak ada liburan bersama, tak juga sambutan dan pujian sang ayah saat ia memenangkan penghargaan untuk siswa berprestasi. Kekayaan yang diidamkan semua orang hanya sebuah duka baginya. Ibu dan ke dua adik bahkan hanya sekedar duri di matanya yang terkadang ingin ia singkirkan.
Selamanya aku tak akan memaafkannya. Tidak akan.
***
Jovi menghampiri seorang lelaki berjas coklat dengan syal hitam melilit lehernya. Rambut hitam yang sedikit panjang di sisir rapi ke belakang. Merasa ada seseorang yang menghampirinya, ia berbalik dan melepas kacamata hitam yang bertengger di hidung runcingnya. Tersenyum dan kini keduanya duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
“Kau temannya Erick?” tanyanya sembari tangan kanannya merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok. Menyalakan pemantik dan membakar sebatang rokok yang sudah menempel di mulutnya.
“Aku Jovi. Anda .... “
“Jack Pearl,” potong pria itu cepat. Ia menyesap rokok dengan santainya hingga ruangan di penuhi bau asap rokok. Jovi sedikit risi, tetapi tak dapat melarangnya.
“Bisa kau hubungi Erick? Ada beberapa hal yang ingin kukatakan padanya,” pinta Jack.
“Sejak kemarin Erick tak bisa dihubungi. Mungkin ada hal yang ia kerjakan.” Jovi menatap Jack yang juga menatapnya heran.
“Sepertinya kalian tidak begitu dekat. Kau hanya bawahan biasa yang tak lebih dari seorang pesuruh.” Pelan, tetapi sangat dalam menohok. Jovi terlihat tak suka. Namun, ia juga tak bisa marah padanya.
Memang benar, Erick tak pernah sekali pun memberi tahu mereka apa yang sebenarnya mereka lakukan. Pembunuhan yang tanpa sebuah alasan pasti. Yang ia tahu, mereka membunuh atas dasar kemanusiaan. Tetap saja, tak ada yang bisa ia sangkal. Tak ada yang bisa lepas dari ikatan yang di jalinnya selama dua tahun ini.
“Aku akan menunggu. Sebelum bertemu Erick, aku akan tetap di sini.” Jack bangkit dari duduknya, menatap sekilas Jovi yang juga menatapnya sebelum ia berjalan keluar.
Siapa dia sebenarnya? Kenapa sangat ingin bertemu Erick? Juga ...
Jovi menatap layar ponselnya dan mencari kontak Erick lalu menghubunginya. Namun, baru beberapa detik ia nampak kecewa. Kenapa nomornya tidak bisa dihubungi. Biasanya lelaki itu tak pernah mengabaikan teleponnya. Entahlah, ia hanya bisa menunggu hingga Erick bicara padanya langsung tentang segala hal yang selama ini ia tutupi.
.
.
.

Komento sa Aklat (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata