logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Rencana Lain

Arthur berjalan dengan langkah gontai menyusuri gang tempat dimana ia tinggal dua tahun lalu. Rumah yang selama ini menjadi tujuan terakhir dari pelariannya. Langkahnya terhenti tepat di depan rumah dengan bangunan yang terlihat masih kokoh dengan cat warna biru yang hampir pudar.
Knop pintu di putar perlahan, lelaki itu melangkah masuk mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Di sisi pintu masih terdapat lemari kayu tempat ia menaruh sepatu dan sandal. Arthur tersenyum miris, membayangkan betapa senang ia dulu mendapat hadiah dari sang paman yang membuatkan lemari itu untuknya.
Memasuki rumah lebih dalam, Arthur melepas topi hitam juga hoody yang dipakainya. Menjatuhkan diri di atas sofa kecil yang masih setia disana. Membiarkan pikirannya kembali ke saat di mana ia tak membayangkan akan hidup seperti sekarang ini.
***
Erick menyelinap masuk ke dalam rumah seseorang yang selama ini mengincarnya. Entah bagaimana lelaki itu bisa masuk, yang pasti saat ini ia berada di depan pintu kamar targetnya. Tangannya memegang knop pintu kamar, tetapi satu pukulan keras dari tongkat kayu mengenai tangannya.
“Akh!” Erick memegang tangannya yang terasa sakit, meski hanya ada cahaya remang-remang, Erick bisa melihat sang pemilik rumah dengan sebuah tongkat kayu di tangannya.
“Kau pikir bisa mengelabuhiku?” ujar si pemilik rumah datar. Erick menarik sebelah bibirnya tersenyum meremehkan. Meski pada awalnya Erick tak ingin ada perkelahian, tetapi sepertinya ia terpaksa melakukannya. Perkelahian ke duanya tak terelakkan. Meskipun wanita pemilik rumah memiliki kemampuan bela diri sangat hebat, tetap tidak bisa melawan Erick.
Erick tersenyum puas, membawa targetnya yang sudah terkulai tak berdaya. Meninggalkan rumah yang kembali sepi.
**
Harry terus menghubungi Anna sejak beberapa menit lalu, tetapi tak ada jawaban. Khawatir, tentu. Pasalnya, selama ini Riska tak pernah mengabaikan teleponnya selain dalam tugas. Namun, mustahil saat ini wanita itu tengah bertugas karena dua jam yang lalu ia pamit pulang dan jika ia tidur pun tak mungkin karena jam menunjukkan pukul 22.00.
“Masih belum bisa?” tanya Richee yang juga ada disana. Harry mengangguk dan menaruh ponselnya pasrah. Sudah lebih dari 30 kali panggilan dan tak ada sahutan.
“Apa kita ke rumahnya saja?” usul Richee yang langsung disetujui Harry.
Katakanlah mereka memang terlalu menyayangi wanita cantik itu, hanya saja tak ada alasan untuk mereka berhenti menghawatirkannya.
Perjalanan yang tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 30 menit untuk mereka sampai di rumah Anna. Rumah mewah dengan cat putih dan warna biru laut pada tiang penyangganya. Pintu kayu berwarna coklat terlihat sedikit terbuka. Harlan berlari masuk dan menemukan rumah itu dalam keadaan gelap. Sementara Richee menatap aneh pada kedua pot bunga yang tumbang dan salah satu batangnya terlihat patah seperti sudah terinjak.
“An! Anna!”
Mendengar suara Harry yang sedikit keras membuat Richee bergegas masuk. Lelaki tinggi itu menatap berkeliling ruangan yang kini terlihat berantakan. Pecahan kaca dan serpihan guci antik memenuhi ruang tengah, ia juga melihat ada noda darah di ujung tangga.
“Richee , aku rasa .... “
Richee mengangguk, menyetujui apa yang dipikirkan lelaki yang dua tahun di bawahnya itu. Harry merogoh saku celananya dan terlihat menghubungi seseorang.
**
Erick duduk di salah satu meja yang ada di sudut ruangan, memijit pergelangan tangannya yang sedikit memar. Ia menghentikan kegiatannya saat melihat seorang pemuda yang tak jauh lebih tinggi darinya, memakai kaos hitam dan hoody yang juga berwarna hitam. Berjalan perlahan dengan wajah serius, tangannya menggenggam tongkat bisbol.
“Apa ... ini akan menyenangkan?” tanyanya ragu. Erick menurunkan masker hitam yang di pakainya dan tersenyum tipis. Menatap kosong kearah tongkat bisbol yang di pegang temannya sebelum ia mendongak dan menatapnya lurus.
“Pasti ... pasti akan sangat menyenangkan,” ujar Erick dengan seringai tajamnya. Mengerti dengan ucapan Erick, lelaki itu tersenyum dan kembali berkumpul dengan teman-temannya.
“Lepaskan!” seru seorang wanita yang duduk di kursi yang ada di bagian tengah ruangan. Wajah cantiknya tertutup rambut panjang yang terlihat berantakan, kemeja putih yang ia kenakan terlihat terkoyak dan ada noda darah di sikut kanannya. Kedua tangan dan kaki, juga tubuhnya terikat pada kursi. Tak lama seorang lelaki menghampirinya dengan sebuah roti di tangan.
“Kau wanita yang cukup kuat. Kau juga cantik. Bukankah kau seharusnya berada di kamarmu, tidur nyenyak, besok pagi bersiap menjelajah pusat perbelanjaan dan salon. Itu sepertinya ....”
“Sudahlah, Ndut. Apa yang kau bicarakan.” Lelaki berambut pirang dan bermasker hitam itu menegur temannya sembari memainkan seutas tali yang menggantung di dekatnya.
“Sejak kapan kau ubah warna rambutmu? Kau bilang ....”
“Lepaskan aku! Apa yang kalian inginkan?” wanita itu kembali bersuara. Ke lima lelaki yang sejak tadi ada di ruangan itu menatap dan menghampirinya bersamaan. Ya, mereka Erick, Rey, Jovi, Brian dan Edward. Setelah menyerah dengan Arthur dan berhenti melakukan pembunuhan terhadap para petinggi, ternyata mereka memiliki rencana lain.
Erik mendekati wanita cantik itu, duduk berlutut di depannya. Senyum tipisnya terus terpasang di wajah tampannya. Masker hitamnya tak lagi dikenakan, ia menatap lurus wanita itu dan tatapannya semakin dalam. Erick menemukan sesuatu di wajah cantik itu, jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa khawatir dan tak ingin menyakitinya.
“Sekali lagi, apa yang kalian inginkan.” Anna, wanita itu kembali bertanya dengan suara sedikit pelan.
Buru-buru Erick menetralkan ekspresi wajahnya. “Kau sangat penasaran?” tanyanya.
“Hanya melakukan hal yang menyenangkan. Aku ingin bertanya padamu.” Erick kini menatap Riska serius, “seberapa besar keinginanmu untuk menegakkan hukum .”
“Seberapa besar keinginanmu untuk membunuh. Lebih besar dari itu,” jawabnya tanpa ragu. Erick terkekeh pelan, membuka hoody yang menutupi kepalanya perlahan.
“Wah, pantas saja kau terkenal sebagai polisi yang tegas dan cerdas. Hei nona .... ” Jovi menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Anna, “Kau cantik, tapi aku sepertinya pernah melihatmu.” Jovi nampak berpikir. Tak peduli dengan apa yang di pikirkan temannya itu, Rey berusaha mencari satu barang yang beberapa jam lalu hilang dari genggamannya.
Erick menerima kain perban yang baru saja di sodorkan Brian. Lelaki berhoody hitam dan celana jins hitam menarik Erick ke tempat duduknya semula, ia menatap Erick lurus.
“Kau ragu?” tanya Brian pelan. Erick mendongak ikut menatap lelaki di depannya.
“Ragu? Tak ada wanita yang kubunuh sebelumnya. Bukankah dia sangat berbahaya?” Meski tahu apa yang dipikirkan satu sama lain, melepaskannya bukan hal yang harus dilakukan. Walaupun bertentangan dengan prinsip awal yang menekankan bahwa mereka tak akan membunuh wanita. Katakanlah mereka mengingkarinya, tapi kebencian tetaplah kebencian.
*
Di lain tempat, Harry dan Richee sudah bersama dengan Arthur berada dalam satu mobil. Mereka mendatangi Arthur dan mencoba mencari tahu. Karena Arthur sudah tak lagi bersama mereka, sudah di pastikan siapa yang melakukan itu pada Anna. Beruntung, Arthur masih memiliki sinyal GPS dari salah satu anggota kelompok itu.
“Bagaimana? Sudah jelas posisinya?” Harry menoleh ke arah Arthur yang duduk di kursi belakang. Tersenyum, melihat lelaki di belakangnya mengangguk.
“Tapi aku tak yakin. Selama aku di sana, mereka memegang prinsip kalau mereka tak akan membunuh wanita,” tutur Arthur. Terdengar kekehan kecil dari lelaki yang duduk di belakang kemudi membuat dua orang lain menatapnya heran.
“Sudah berapa lama mereka mencurigainya?” tanya Richee kini, tetap fokus pada jalan.
“Seminggu setelah aku bergabung. Orang yang bernama Erick itu tak bisa diragukan intuisinya. Dia bisa dengan mudah membaca gerakan lawan. Dia juga ....”
“Apa kau sedang menunjukkan betapa kau mengaguminya?” Richee berujar dingin
“Bu-bukan begitu, aku hanya ....”
“Sudahlah! Richee, kita juga perlu mengetahui kehebatan lawan agar kita bisa mengimbangi dan mencari titik lemahnya.” Harry kini beralih menatap Arthur di belakangnya, “Arthur, dari awal kau sudah teledor. Kau sendiri tahu berapa banyak korban yang mereka bunuh, tapi tak satu pun bisa kau giring ke dalam sel. Sekarang kita fokus dulu mencari Anna,” lanjutnya sedikit kesal.
Richee dan Arthur bungkam. Benar, saat ini menemukan Anna lebih penting dari pada saling menyalahkan.
**
Erick kembali menatap lurus kerah wanita yang berada di titik pusat ruangan. Ke empat temannya tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tentu sembari menunggu perintah. Benar. Erick tak bisa menentang apa yang sudah menjadi prinsipnya. Terlebih wanita itu mirip sekali dengan kakak kandungnya. Rambut yang tak tersisir rapi, baju putih yang terkoyak juga noda darah di beberapa titik. Ulah kebiadaban orang yang selama ini ia anggap pelindung keluarga.
Erick mengepal kuat, emosi meninggi saat ingatan pahit itu menyapa. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Detik berikutnya ia menghampiri Riska yang tetap dengan tatapan tajamnya.
“Sepertinya, kau cukup memiliki sedikit keberuntungan,” ucap Erick sedikit pelan. “Bukankah, ayahmu anggota dewan?” mendengar itu, Anna mengepalkan tangannya kuat. “Jika aku tidak membunuhnya, sepertinya kau akan menggiringnya ke dalam penjara,” lanjut Erick masih dengan volume suara pelan. Anna mengernyit bingung. Baru saja wanita itu membuka mulut, suara sirene polisi membuat Erick dan yang lainnya terkesiap.
“Polisi? Bagaimana mereka bisa tahu posisi kita?” Edward terlihat gugup.
“Masih terdengar sedikit jauh. Lari ke belakang, di sana ada pintu keluar dan langsung masuk ke mobil,” ujar Erick dengan wajah datar, ia terlihat tenang. Lelaki itu kini mengambil sebuah kain panjang dan menutup mulut Anna, sedikit berontak, tetapi tak bisa melakukan perlawanan lebih.
“Erick, ayo!” seru Brian yang berlari di belakang ke tiga temannya. Erick mengangguk, ia berjalan menghampiri wanita itu lebih dulu. Ia membungkuk di belakang Anna. Erick mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku celananya. Ia memegang tangan Anna dan memotong talinya perlahan.
“Kali ini kau kulepaskan,” bisiknya pelan sebelum akhirnya berlari mengikuti Brian. Anna membulatkan kedua matanya sempurna.
Dia bisa saja langsung pergi meninggalkanku. Kenapa harus melepas tali yang mengikat tanganku lebih dulu? Pikirnya bingung.
Tak lama rombongan polisi itu datang dengan persenjataan lengkap. Di antaranya terlihat Harry, Richee dan Arthur yang langsung berlari ke arah Anna. Sementara wanita itu melepas kain yang melingkar di mulutnya dan melepas tali di kedua kalinya.
“Anna, kau tak apa? Di mana mereka?” tanya Harry bingung. Riska menatap mereka nyalang.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” pertanyaan Anna jelas membuat yang lain heran.
“Tentu saja menyelamatkanmu. Kau ini bagai ....”
“Menyelamatkanku? Huh!” Anna tertawa hambar. “Apa kalian akan datang jika aku sudah mati? Kalian bahkan tidak bisa lebih cepat dari gerombolan itu.” Kesal, Anna meninggalkan mereka semua.
Terlambat. Ya, mobil yang membawa Erick dan teman-temannya kini telah meluncur membelah jalanan kota dengan begitu cepat. Meski telah melepaskan wanita itu, tetapi tak ada rasa sesal. Aneh. Pikirnya.
**
Anna termenung di balkon kamarnya. Ia membiarkan ke tiga lelaki itu berjaga di lantai satu rumahnya. Karena percuma saja mengusir mereka. Tak akan ada yang pergi. Seperti menjaga sebuah janji, begitu mereka menjaga Anna. Tiba-tiba saja wanita itu teringat perkataan Erick beberapa waktu lalu.
“Jika aku tidak membunuhnya, sepertinya kau akan menggiringnya ke dalam penjara,” Tidak tahu apa yang dimaksud lelaki itu. Hanya saja perkataan itu mengingatkannya pada perkataan seseorang beberapa tahun lalu.
“Anna, kau akan bekerja menegakkan keadilan di negara ini. Menjunjung tinggi hukum yang murni. Anna? Bagaimana kalau ayah melakukan tindakan kriminal. Apa kau ....” Anna menggeleng kuat. Tidak. Ucapan Kak Andreas tidak benar. Anna ingat kakak lelakinya itu kerap kali memikirkan hal buruk setelah berpikir positif. Mungkin saja itu hanya pikiran negatif dari lelaki yang tidak tahun lebih tua darinya.
Dan hal yang tidak ia mengerti, kenapa lelaki itu memotong tali yang mengikatnya, alih-alih membunuhnya langsung. Tatapan lelaki itu seperti sangat familier untuknya. Rasanya pernah ia melihat tatapan mata seperti itu sebelumnya.
Kini wanita itu menatap langit gelap dengan lampu-lampu perumahan yang menjadi satu-satunya yang terlihat. Jam menunjukkan pukul 03.32 dini hari. Sudah hampir satu setengah jam ia di rumah, baru ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
**
Rey memarkirkan mobilnya di sebuah gudang tempat di mana Erick bersembunyi setelah melakukan aksinya. Erick menjatuhkan dirinya di atas sofa diikuti Edward dan Jovi. Semuanya hening bahkan saat Erick bangkit dari duduknya. Membuka pintu kamar dan menutupnya perlahan.
“Bukannya aneh?” gumam Rey pelan. Brian menyeduh kopi hitam dan menatap Rey lurus.
“Bersihkan dirimu. Sementara tetaplah diam sebelum Erick yang lebih dulu bicara,” titah Brian. Lelaki itu menurut. Edward dan Jovi hanya bisa duduk diam.
Di kamarnya, Erick merebahkan tubuh lelahnya di ranjang kecil yang bahkan tak lebih panjang dari tubuhnya. Ingatannya berputar seakan memilih mana yang harus muncul dan teringat. Matanya tertutup rapat sesaat setelah ia meraih sapu tangan putih dan menyatukan pada wajahnya.
*
“Kenapa kau ingin mengingatnya? Bukankah itu adalah hal yang paling menyakitkan? Kau akan terluka jika mengingat itu. Kau mungkin akan menyalahkan dirimu sendiri dan akhirnya ....”
“Tidakkah kau berpikir akan lebih mengerikan?”
“Kau hanya harus melangkah maju, dan lupakan hal yang ada di belakangmu. Itu cukup untuk membuatmu tersenyum.”
“Aku harap kau ....”
TBC.
.
.

Komento sa Aklat (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata