logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Satu Retakan

“Dia retakan kecil yang mungkin bisa menghancurkan kita. “
***
Ruangan persegi itu kini terlihat sepi. Bukan tanpa penghuni, hanya saja ke lima lelaki yang sejak tadi ada di sana diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Erick dan ke empat temannya. Mereka menatap satu orang yang baru saja masuk dengan tatapan datar.
"Kalian?" heran Arthur. Lelaki itu menjatuhkan diri di samping Erick, masih menatap teman-temannya heran. Pasalnya, sangat jarang mereka ada di posisi serius seperti ini. Sekalipun mereka serius, pasti ada celotehan aneh dari Edward yang membuat mereka terkekeh atau hanya menggelengkan kepala.
"Aku tidak ingin ini berlanjut lagi," cetus Jovi. Masih tak mengerti ke mana arah pembicaraan Jovi, Arthur menatap Erick penuh tanya.
"Apa yang kau butuh kan." Erick berujar datar, "aku bertanya. Apa yang kau butuh kan!" bentak Erick sembari berdiri dari duduknya. Semua nampak tegang. Benar, kali ini Erick benar-benar marah.
"Erick ... Aku ...."
"Kau masuk ke dalam kelompok ini dan terus mengikuti apa yang kita lakukan. Sebenarnya apa yang kau inginkan." Masih dengan emosi yang memuncak, Erik menarik tas hitam kecil yang tergeletak di samping tempat duduknya tadi. Menjatuhkan tas itu di meja dengan kasar membuat isinya terlihat.
"Kartu identitas sebagai polisi, kamera pengintai, GPS dan catatan kegiatan kita." Tersenyum hambar, menatap kedua temannya yang hanya diam di tempat sebelum kembali menatap Arthur. "kau pikir kami bodoh? Mata-mata, huh!" lanjut Erick dengan tawa yang terpaksa.
Ya, Erick dan keempat lainnya memang sudah tahu sejak awal siapa Arthur sebenarnya. Berawal dari kecurigaan Erick karena lelaki itu kerap kali tak memberi izin padanya dan yang lain untuk melihat isi tas hitam itu. Mereka berpikir itu adalah sebuah rahasia yang mungkin tak pantas mereka tahu. Namun, semenjak beberapa kali mereka gagal menjalankan misi, ajakan Arthur untuk berhenti, gelagat aneh saat diperintah untuk membunuh, dan tentu mereka bisa menyadarinya dengan cepat. Di tambah lagi Jovi dan Rey memergokinya tengah bersama Anna dan satu rekannya.
"Erick, aku hanya ...."
"Hanya membantu rekanmu yang bernama Anna? Ah, pantas saja GPS itu masih aktif dan tepat berada di rumah Jovi. Namun, dengan cepat polisi itu mempercayai apa yang di katakan mereka." Meski awalnya tak percaya, Erick yakin ada hal lain yang diinginkannya selain menangkap mereka.
"Biar aku jelaskan. Sebenarnya ...."
"Kemasi barang-barangmu." potong Erick cepat. Kini lelaki itu kembali duduk dan membiarkan keheningan sejenak.
*
“Kau masih di sini?” tanya Richee menghampiri Anna. Gadis itu melirik sekilas sebelum kembali fokus pada lembayung senja yang sebentar lagi menghitam. “Apa yang kau pikirkan,” lanjutnya.
Menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan lelaki jangkung itu. “Aku hanya menghawatirkan beberapa hal.” Kali ini Anna menatap Richee lurus. “Kau yakin semua akan berjalan dengan baik?” tanya gadis cantik itu.
Richee tersenyum hangat. “Semua akan baik-baik saja.”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
“Kau ingat kakakmu?” keduanya nampak menerawang. Langit jingga itu menghitam. Angin menyapa malam mulai menusuk kulit hingga ke tulang. “Dia selalu optimis saat melakukan sesuatu. Setiap hari bersemangat untuk belajar lebih jauh tentang kemanusiaan. Dia juga selalu bersemangat saat ke sekolah dalam keadaan apa pun.”
(New York, Juni 2008)
“Hei! What’s wrong with you?” tanya seorang remaja berseragam lengkap pada seorang lelaki yang berada di atas pagar tinggi.
“Tidak ada. Aku hanya mencoba untuk pergi ke sekolah,” ucapnya masih mempertahankan diri agar tidak jatuh.
Akak di bawahnya menggeleng pelan. “Kenapa tidak lewat pintu gerbang saja.”
“Tidak bisa.” Lelaki berusia 19 tahun itu menggeleng kuat. “Daddy dan momi pasti tidak mengijinkan.”
“Itu karena kau sedang sakit.” Gadis manis bergaun soft pink menghampiri mereka sembari menutup kembali pintu gerbang dengan tangan mungilnya. “Turun. Aku yang akan meminta izin pada Daddy supaya kakak di izinkan sekolah,” lanjut anak itu.
Tanpa membantah sang kakak turun perlahan. Wajah tampannya memucat. Anna menatapnya penuh khawatir.
“Kenapa memaksa sekolah? Kalau aku jadi daddy, aku juga tidak akan mengijinkan mu pergi.” Hampir saja gadis manis itu terisak.
“Aku tidak bisa meninggalkan sekolah. Aku tidak ingin tertinggal pelajaran yang kusukai. Aku tidak punya kesempatan untuk mengulang.”
Ya, begitu besar ambisinya untuk lulus sekolah di usia muda. Andreas, seorang mahasiswa. Memiliki tekat besar untuk menjadi seorang polisi. Selain itu, ia juga harus menyelesaikan sekolahnya sebelum usia 21 tahun.
Anak lelaki berusia 15 tahun itu menatap Andreas penuh haru.
(2021)
“Sejak saat itu, aku selalu ingin mengenang Kak Andre sebagai panutan dan orang yang selalu membuatku bersemangat.” Richee menatap Anna masih dengan senyum hangatnya. “Juga tetap menjagamu, An.”
Anna tahu, Richee sangat mengagumi kakaknya dan juga baik padanya. Tapi tak bisa di ungkiri jika wanita cantik itu juga merasa Richee memiliki perasaan padanya.
**
Kembali ke ruangan persegi itu, kini Arthur sudah mengemasi barang-barangnya. Masih hening, sampai Erick kembali buka suara.
"Aku melepaskanmu." Arthur dan yang lainnya menatap Erick tak percaya.
"Erick, bagaimana bisa kita melepasnya begitu saja? Jika nanti ...."
"Akan ada yang berkorban untuk ini." Dingin dan tajam. Begitulah suara yang didengar ke lima lelaki di ruangan itu. Seakan semuanya sudah terbaca dan ada dalam skenarionya. Erick memang berjiwa pemimpin, tetapi dia yang tak banyak bicara menjadikannya begitu misterius dan sulit dipahami. Apa yang menurut mereka salah, untuk Erick itu yang terbaik untuk semuanya.
"Satu hal yang perlu kau ingat. Kejahatan, bukan hanya tentang berapa banyak kau menusukkan pisaumu." Melangkah keluar memberi celah mereka tuk bisa saling berucap kata perpisahan.
"Arthur, bukankah selama ini Erick selalu bersamamu? Meski dia tidak mengatakan rahasianya, dia memanggilmu untuk menceritakan hal lain," ujar Rey menatap Arthur sendu.
"Aku harap kau tidak melakukan apa pun yang membahayakan Erick," lirih Brian. Arthur menatap mereka satu per satu, matanya berkaca-kaca sebagai respons dari perasaan yang terasa tulus dari mereka.
"Erick bahkan tidak marah saat kau memanggilnya 'Zull'." Edward berujar pelan di tempat duduknya. Menunduk dalam seakan-akan ada ruang kosong penuh duri.
"Aku pergi. Sekali lagi maafkan aku." Arthur membawa pergi semua barang-barangnya. Tak ada lagi yang bersuara, bahkan tak ada yang menatap kepergiannya. Sekali pun kesal dan ada kekhawatiran tak bisa mereka tunjukan. Hanya berharap, tak ada hal buruk yang terjadi.
**
Brian menatap punggung Erick sendu. Meski lelaki itu tak banyak bicara, ia tahu ada banyak hal yang ia khawatirkan. Melangkah mendekatinya dan ikut menatap lampu-lampu jalan di keramaian kota.
“Bicaralah.” Erick menoleh sebelum kembali menatap lurus ke depan. “Kau sudah menyimpannya dalam hati?” lanjut Brian.
Lelaki berhoody hitam itu menarik napas panjang sebelum berujar. “I don’t understand what I’m doing now.”
“Kau peduli padanya. Tapi Erick, dia retakan kecil yang mungkin bisa menghancurkan kita.”
Sejurus kemudian Erick menatapnya lekat. Benar. Mungkin saja Arthur akan membongkar semua kedok mereka. Juga beberapa bukti dan foto mereka akan tersebar luas. Tentu saja itu akan mempermudah kerja polisi untuk membawa mereka ke dalam penjara.
“Ada yang harus aku lakukan.” Erick melangkah pergi. Brian tak berniat menyusulnya lagi.
Nyatanya lelaki itu hanya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa keputusannya ini yang terbaik.
_
Kini Erick berada di sebuah tempat ajang balapan liar. Ya, ini adalah salah satu cara Erick menghalau rasa yang berkecamuk dalam pikirannya. Sudah bukan hal yang aneh jika masih banyak orang-orang yang melakukan balapan liar di negara yang punya julukan ‘Negeri Paman Sam’ ini.
Kedua mobil itu sudah berjejer bersampingan. Memiliki warna dasar yang sama, keduanya hanya dibedakan dari bentuk dan garis putih yang ada di bagian kap depan mobil sang penantang.
Suara derumannya sudah terdengar menggebu-gebu. Juga asap-asap mobil yang mulai mengepul dari knalpot. Menunggu saat-saat akan dimulai, Erick dan seorang pria berkulit hitam menoleh bersamaan dan saling menatap.
Mereka sedikit berbeda dalam hal pembawaan diri. Erick tipikal orang yang dingin dan selalu serius, juga tak segan mengeluarkan kata-kata pedas dengan wajah dinginnya. Berbeda dengan pria tinggi besar berkulit hitam yang bengal dan suka meremehkan orang lain dengan wajah menyebalkannya itu.
Frenk menyeringai menatap Erick. Dia sudah bersiap dengan pertandingan ini. Saat seorang perempuan menurunkan kainnya, Erick dan Frenk langsung menginjak pedal gas dan melaju sangat kencang.
Berdiri di bagian tepi, beberapa pendukung ke duanya langsung menghambur ke tengah saat kedua mobil meninggalkan tempat start. Tak henti-hentinya, mereka meneriaki nama Erick juga Frenk dan memberi semangat untuk sahabat mereka itu. Sedangkan seseorang yang berdiri jauh dari arena balap menatap khawatir belakang mobil Erick yang telah menghilang secepat angin.
_
“Pak, kami mendapat laporan dari masyarakat. Ada balapan liar lagi di tempat lelang minggu lalu.” Laporan seorang pria berseragam polisi.
Sang komandan berujar, “Siapa dalangnya.”
“Erick dan Frenk.”
“Mereka?” menggebrak meja dengan kuat. Siapa yang tidak kenal dengan nama Frenk. Dia adalah pembalap ulung yang sering melakukan balapan liar. Dia memiliki banyak koneksi di jalanan dan juga pihak kepolisian, pasalnya ia tak pernah sekalipun terjaring razia meski namanya tercantum dalam catatan hitam kepolisian.
“Kali ini aku tidak akan melepaskannya.”
_
Kedua mobil itu benar-benar melaju kencang. Sama laju dan sama cepat. Namun, tiba-tiba Frenk menyelip dari sisi kiri dan menutupi jalan Erick.
“Brengsek!” maki Erick kesal.
Frenk melirik sekilas, lalu tersenyum tipis atas kemenangannya yang akan ia raih sebentar lagi.
Erick terus melaju kencang sambil sesekali mencoba menyelip dari sisi yang kosong. Frenk terus menutupinya, karena jika Erick mendapat ruang sedikit saja, dia akan menjadikannya sebagai kemenangan.
Sambil melihat sekelilingnya, Erick mencoba menemukan satu kelemahan yang akan bisa ia gunakan sebagai satu keberuntungan.
Sebentar lagi mereka akan sampai di garis finis, dan dia tidak boleh kalah.
Namun, ternyata kenyataan justru berkata lain. Erick tersenyum menyeringai saat ia melihat persimpangan empat jalan ada didepanya. Jalan lebar dan ruang geraknya lebih luas.
“Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku!”
Erick langsung memutar setir mobilnya ke kiri saat ia mulai memasuki persimpangan. Menginjak pedal gas kuat-kuat dan perlahan mulai menjajari mobil Frenk.
Mata lelaki hitam itu terbelalak lebar saat ia mendapati mobil Erick sudah bersisian dengannya lagi. Erick menoleh dan melemparkan senyuman penuh ejekannya pada Frenk. Kemudian, ia menarik throttle-nya dan meninggalkan Frenk jauh di belakang.
Melihat mobil hitam Erick terlihat, para penonton langsung berdiri dan melompat-lompat senang.
“Wohooooo! Sudah ku bilang kan? Dia pasti akan kalah!”
Namun, kesenangan sepertinya hanya bertahan beberapa saat. Saat mobil Erick baru saja melewati garis finis, tiba-tiba suara sirene polisi terdengar dan detik itu juga membuat orang-orang yang ada disana berhamburan kesana-kemari.
“Berengsek! Tidak bisa mereka melihatku senang sedikit,” gumam Erick yang kini memutar balikkan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sama halnya dengan Frenk, lelaki itu juga terlihat kaget dengan kedatangan polisi. Ia membanting setir dan meninggalkan arena balap secepat kilat.
“Kalian pikir bisa menangkapku dengan mudah.” Tersenyum menyeringai dan hilang di belokan.
**
“Dia memang selalu bertindak seenaknya,” ketus Rey kesal. Jovi yang mengikuti ke mana perginya Erick hanya terduduk lesu. Belum sempat ia meneriaki nama lelaki itu, Erick lebih dulu pergi dengan mobilnya.
“Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia dengan mudah melepaskan Arthur. Penghianat!” Edward menimpali.
“Sudahlah. Aku yakin, Erick pasti punya tujuan di balik sikapnya ini. Dia tidak akan melakukan apa pun tanpa berpikir lebih dulu.” Brian menepuk punggung Edward lembut.
Dia hanya bisa meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski satu tahun bukan waktu yang lama, tapi ia tahu betul bagaimana seorang lelaki bernama Erick bekerja. Ia kerap memikirkan hal yang di depan, bukan hanya memikirkan bagaimana sekarang tapi juga nanti, untuk beberapa tahun mendatang.
“Bukankah selama ini apa yang dilakukan Erick tak ada masalah? Beberapa kali kita berhadapan dengan polisi, tetap saja kita lolos.” Jovi meluruhkan punggungnya dan bersandar di sofa. “Entah apa yang dipikirkan Arthur selama ini. Jika dia membenci kita, untuk apa waktu satu tahun dia habiskan di sini. Seharusnya dia bawa kita ke kantor polisi langsung dengan bukti yang selama ini ia kumpulan,” lanjut Jovi lagi.
Benar. Pasti ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tentang bagaimana Arthur. Ada rencana besar, mungkin lebih dari apa yang mereka duga.
**
TBC.

Komento sa Aklat (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata