logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 11: Lari

Diana turun dari halte bis setelah menempuh perjalanan panjang selama satu hari satu malam. Tubuhnya begitu pegal dan beberapa sendinya berdenyut nyeri. Gadis itu memilih duduk diam di bangku halte, dia membutuhkan istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan setidaknya selama tiga jam lagi menuju ke Desa Pandan. Desa yang akan menjadi rumahnya selama pelarian, walau desa itu terpencil jauh ke dekat kaki bukit di pedalaman dengan akses masuk yang sulit dan jalanannya sempit, tetapi Diana harus bersyukur karena dia masih memiliki rumah untuk pelariannya. Setelah merasa cukup untuk sekedar meluruskan kaki, akhirnya gadis itu berdiri dan mencari bus yang akan membawanya memasuki desa.
Diana memilih duduk di bangku bus yang berada di tengah, gadis itu menempelkan wajah pada jendela kaca bus seperti kebiasaannya yang sudah-sudah. Pemandangan di luar sana tampak menarik perhatian, dan berkali-kali Diana mem-perhatikan jalanan hanya untuk mengusir kebosanan. Bus yang Diana tumpangi tidak begitu padat, tetapi bau kamvert dan knalpot bocor cukup mengganggu penciumannya hingga hidungnya sakit dan perutnya mual. Dia harus bersabar selama tiga jam dalam perjalanan ini.
*
“Pandan... Pandan....!” kernet bus berteriak nyaring hingga membangunkan Diana yang sempat mencuri-curi tidur. Gadis itu menggeliat tak nyaman, dan bergegas turun sembari menyeret tas bawaannya yang cukup besar. Diana berjalan melintasi jalan raya yang sepi. Dia memasuki gerbang masuk desa dengan disambut tulisan “Selamat Datang di Desa Pandan”.
Diana menghela napas dan membawa langkahnya melewati perumahan penduduk, di ujung jalan yang Diana lalui berdiri kokoh sebuah rumah dengan keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu. Walau rumah itu sudah tua, tetapi kesan klasik dan berseni tinggi cukup untuk memberikan penilaian bahwa rumah itu dulunya milik seorang yang berpengaruh di desa.
Diana merasa prihatin ketika mendapati halaman rumah kakeknya yang ditumbuhi rumput tinggi dan bunga-bunga yang seingatnya dulu sangat indah kini mati tak bersisa, bahkan vasnya sebagian pecah dimakan cuaca. Diana melangkah dengan berat memasuki pekarangan, sepertinya dia harus membersihkan rumah ini sebelum bisa ditempati, dan Diana tidak tahu kejutan apa lagi yang menantinya di dalam rumah tua itu.
***
Mike berjalan mondar-mandir di ruangannya, sedangkan Jake hanya diam memperhatikan Mike yang sejak tadi tidak bisa berdiam diri. Pria itu bergerak gusar dan beberapa kali meng-umpat kesal. Dia bahkan memarahi siapa saja yang mencoba mengusiknya. Jake yang selalu berada di sekitar Mike juga ikut merasakan frustrasi yang Mike tularkan.
“Kau bisa diam Mike, terkadang menunggu juga merupakan solusi dari suatu masalah.”
Mike mendengus ketika mendengar ucapan Jake barusan, bagaimana dia bisa tenang di saat wanita yang seharusnya dia nikahi menghilang, atau lebih tepatnya melarikan diri. Pria itu bahkan menahan diri untuk tidak menyeret Jake saat ini juga ke atas ring tempat biasanya dia meluapkan emosi.
“Mengapa mereka lama sekali? Apa sulitnya mencari satu wanita?”
Mike menghempaskan tubuh ke sofa dan menggeram kesal, menunjukkan perasaannya. Jake mengeluarkan ponsel, menghubungi Rudith dan Bima.
“Apakah sudah ketemu?”
“Belum, Sir,” jawab Rudith dari seberang.
“Beritahu kami jika kalian sudah mengendus jejaknya,” kata Jake dengan memberi penekanan.
“Yes Sir,” jawab Rudith sembari mengakhiri hubungan.
Jake melirik ke arah Mike yang duduk diam dengan gelisah. Sesungguhnya dia merasa geli melihat sahabatnya yang kehilangan kewarasan. Jake tidak mengerti mengapa Mike harus peduli jika Diana menghilang, pria itu bisa melepaskannya karena mereka sama-sama tahu Diana tidak akan pernah memberi keuntungan untuk Mike selain alasan dendam dan kebenciannya yang sangat tidak beralasan pada Diana.
“Mike,” panggil Jake dengan suara datar.
“Hmmm ...,” jawab Mike sama datarnya.
“Lupakan gadis itu, jangan menambah beban pikiranmu dengan seorang wanita yang baru saja kau kenal.”
Mike membuka mata dan melemparkan tatapan tajam pada Jake, menunjukkan pada sahabatnya betapa dia benci ketika seseorang mencoba ikut campur dengan masalah pribadinya.
“Berapa kali harus kukatakan bahwa itu adalah urusanku, dan aku tidak ingin medengar hal ini lagi darimu.”
Jake tersenyum geli. “Sebenarnya apa yang kau cari dari gadis itu Mike?”
Mike terdiam, dia tidak mampu untuk menjawab, bahkan pria itu juga tidak mengerti mengapa dia ingin menyeret Diana masuk ke dalam hidupnya. Kontrak itu juga tidak bisa menjadi alasan, lalu apa yang membuatnya jadi begitu peduli dengan wanita asing yang baru memasuki hidupnya. Apakah karena kisah gadis itu? Karena Diana sebatang kara dan butuh perlindungan? Mike juga tidak mengerti, tetapi kontrak yang dia terima membuatnya marah karena itu artinya David dengan sengaja mengatur hidupnya. Dia yakin tua bangka itu merencanakan sesuatu sehingga kontrak itu berada dalam kumpulan dokumen warisan miliknya.
“Jangan tanyakan lagi, karena aku tidak akan menjawab pertanyaanmu.”
Mike beranjak dari tempatnya dan dia memeriksa MacBook miliknya untuk mengecek email atau mungkin sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Jake hendak beranjak juga dari sana, tetapi ponselnya berbunyi nyaring dan Jake mem-eriksanya, di layar tertera nama Rudith. Jake menempelkan benda tipis berukuran 4 inch itu ke telinga. Alisnya berkerut dan dia melirik Mike dengan pandangan yang sulit dibaca.
“Apa itu Jake?” tanya Mike saat membaca ekspresi Jake barusan.
“Selamat, orang-orangmu menemukan keberadannya,” kata Jake dengan intonasi riang yang membuat Mike muak setengah mati, namun Mike mengabaikan perasaan itu ketika menyadari fakta bahwa Diana masih berada dalam jengkal jarinya dan dia tidak akan membiarkan gadis itu pergi darinya. Tidak kali ini.
***
Diana sedang membersihkan pekarangan ketika seorang gadis seusianya menyapa dari jalan setapak yang ada di halaman depan rumah tua itu. Gadis itu memakai baju sederhana dengan rok bermotif bunga kembang sepatu sebatas lutut dan tangannya tampak menjinjing sesuatu.
“Kau Diana kan?” tanyanya saat Diana mendongak dan menatap gadis itu dari balik bulu mata lentiknya. Diana mengangguk sembari tersenyum dan langsung membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat dengan catnya yang terkelupas. Gadis yang berdiri di hadapan Diana saat ini namanya Kina, puteri kepala desa di sana. Dia sangat mengenal gadis yang menyapanya tadi. Setidaknya dahulu sewaktu Diana berlibur ke sini, gadis itu selalu menjadi teman sepermainannya.
Kina mengikuti Diana masuk ke beranda, dengan sopan Diana menyuruh tamunya duduk di bangku rotan yang memanjang, tepat di bawah jendela kayu penghubung beranda dengan ruang tamu.
“Sudah berapa lama kau di desa ini?” tanyanya pada Diana sekembalinya Diana dari dapur dengan membawakan segelas teh hangat. Hanya ini yang Diana bisa. Gadis itu tidak tahu caranya membuat makanan ringan ataupun makanan lainnya, oleh karenanya Diana kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang dia tahu hanyalah memasak nasi, air, dan juga telur. Nia bahkan memarahinya karena dia tidak ingin mencoba dan menolak untuk itu, karena katanya dia takut percikan minyak penggorengan dan selalu saja masakan buatannya berakhir di tong sampah.
“Baru tiga hari,” jawab Diana. Kina mengangguk, dia menatap Diana lama dan Diana mengerti arti tatapan itu.
“Mungkin kau sudah tahu tentang keluargaku, dan di sinilah aku sekarang. Jauh dari kota kelahiranku untuk bisa bertahan hidup,” jawabnya getir hingga mulut Diana terasa pahit karena ucapannya.
Kina mengerti apa yang Diana alami. Gadis itu sudah mendengar desas-desus yang menyebar seantero desa. Tidak heran berita kebangkrutan keluarga Diana diketahui orang-orang satu desa karena selain keluarga mereka dulunya berpengaruh, juga karena isu sekecil apa pun sangat mudah menyebar di sini. Diana tidak merasa terganggu, dia tahu ini adalah resiko yang harus dia terima jika menginjakkan kaki di desa kakeknya.
“Bagaimana dengan pendidikan atau mungkin peker-jaanmu?”
Kina tidak bermaksud menerobos privasi seseorang, tetapi watak dasar penduduk di desa itu memang seperti ini. Mereka suka bertanya bahkan pada hal yang tidak seharusnya mereka tahu atau bahkan aib orang itu sendiri. Diana harus bisa bersabar menghadapi penduduk desa karena pastinya pertanyaan-pertanyaan yang sama akan terus mengganggunya selam dia berada di sana.
“Aku tidak melanjutkan pendidikanku dan soal pekerjaan, aku tidak punya,” kata Diana dengan suara yang teramat pelan. Dia menyadari mentalnya tidak sekuat itu bila dihadapkan dengan orang-orang seperti ini.
Diana teringat akan sisa uang yang hanya cukup untuk membiayainya setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Dengan ragu dan sedikit malu Diana bertanya pada Kina mengenai pekerjaan yang mungkin bisa dia kerjakan selama di desa. Tentu saja pekerjaan ringan yang tidak membutuhkan ijazah, karena dia hanya lulusan SMA dan pastinya sulit mendapat pekerjaan yang sesuai keinginannya.
“Kau mau bekerja di sini? Apa kau serius?”
Diana mengangguk cepat. Dia akan menekan gengsi ataupun egonya. Oh, bukankah dia memang sudah tidak punya gengsi lagi sejak meninggalkan kehidupan mewahnya. Jika memang harus bertahan, dia tidak boleh setengah-setengah bukan.
“Aku tahu tidak seharusnya aku memintamu hal sebesar ini, tetapi aku sangat butuh,” cicitnya dengan suara seperti orang terjepit karena takut temannya tersinggung dengan permintaannya yang tiba-tiba.
Kina tersenyum melihat sikap malu-malu Diana. “Tidak masalah, aku bisa mencarikanmu pekerjaan, tetapi sebelum itu kau harus melaporkan kepindahanmu ke rumahku.”
Diana tertawa pelan, bagaimana dia lupa untuk melaporkan diri pada kepala desa mereka yang tidak lain ayah temannya ini. “Terim kasih,” jawabnya dengan senang hati. “Dan besok aku akan ke rumahmu.”

Komento sa Aklat (810)

  • avatar
    NaonBolu kukus

    iya saya mau nonton

    29d

      0
  • avatar
    NadyaEka

    ceritanya sangat keren🤩

    27/07

      0
  • avatar
    Lusia Valensiana Bone Adi

    aku suka novelah

    14/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata