logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Sebuah Mimpi

Aku menghadap kanan, memainkan benang kasur yang mulai terlepas. Sakitku hari ini sangat banyak. Tak percaya dengan sikap Raka yang egois dan membela pihak salah. Ya! Aku tahu Dara itu kekasihnya. Apa pun terlihat benar di mata seorang Raka Atmaja. Namun, aku? Tetap salah dan rendah sebenar apa pun bertindak.
Tuhan, bagaimana dulu Kau mencatat nasib hamba-Mu ini? Mengapa aku tidak pernah merasa bahagia? Segitu banyaknya cobaan yang Kauberi, tapi tak satu pun pengganti. Kalau begini aku memilih tak ingin hidup, ragaku tak berguna, selalu tersiksa. Batinku selalu diserang.
Kata orang, tahi lalat di bawah mata pertanda hidupnya selalu berduka. Ya, aku memiliki satu, di bawah mata kananku. Meski tak percaya, tapi itu benar adanya. Aku selalu menangis apa pun yang terjadi. Lucu sekali, di saat anak lain bahagia menikmati masa SMP, entah itu dengan kisah cinta atau sahabat, aku justru murung di sini sendirian.
Tak ada kepikiran ingin mengalami itu semua karena memang mustahil terjadi.
Aku memejamkan mata, berusaha melupakan semuanya hari ini. Entah mengapa sesuatu memanggilku untuk tertidur lebih cepat. Apakah Tuhan lelah mendengar keluhanku hingga ingin aku mati saja? Sepertinya begitu, aku juga lelah.
Kembali, aku menyambut pagi yang mendung. Kejadian kemarin membuatku malas ke sekolah. Harusnya aku fokus belajar, tapi anak-anak itu selalu menggangguku. Namun, keinginan dan tekad untuk terus melanjutkan sekolah demi adik dan kedua orang tua, membuatku bangkit. Semangat, Ara!
“Eh, denger-denger habis ujian kita ada class meeting, ya?” kata Fia. Aku yang sedang membaca buku ikut mendengar percakapan mereka. Apa itu? Aku baru tahu.
“Iya, kata OSIS begitu. Tahun kemarin nggak ada, baru diadakan tahun ini lagi,” jawab Ketua Kelas.
“Lombanya apa aja kira-kira?” tanya Fia lagi. Ia terlihat begitu antusias.
“Ya, banyak. Lomba puisi, cerpen, melukis, volly. Buat seleksi FLSN nanti,” jawab Fadli. “Nih, daftarnya baca aja, siapa tau mau ikut,” lanjutnya menyerahkan selembar kertas. Oh, jadi class meeting itu lomba. FLSN itu apa?
“Nanti kita buat pengumuman siapa aja yang mau ikut di kelas ini. Ya, itung-itung mengharumkan nama sekolah kalau dia menang,” kata Jessie, sekretaris OSIS. “Gue yakin banyak yang mau ikut. Lombanya juga banyak dan hadiahnya di kabupaten nanti lumayan gede,” lanjutnya tersenyum.
“Lu ikut apaan?” tanya Fadli ke Fia.
Gadis berjilbab itu terlihat bingung membaca lembar kertas tadi.
“Kayaknya tari aja, deh. Soalnya basic gue, ‘kan di tarian. Gue juga udah siapin tari apa yang bakal gue tampilkan,” jawab Fia percaya diri.
“Asik, ada calon kontingen kita, nih. Semoga lulus, ya!” kata Jessie bersemangat.
“Thanks, ya. Gue bakal menampilkan yang terbaik!” kata Fia antusias.
Fadli mengambil kertas yang dipegang Fia lalu sibuk membaca sesuatu. “By the way, setiap tahun selalu ada lomba cipta cerpen. Kita belum ada calon, nih?” tanya Fadli.
Fia menaikkan kedua bahunya.
“Siapa coba di kelas yang pinter cerpen? Nggak ada perasaan,” kata Fia sambil melirik Jessie.
Gadis berjaket cream itu mengangguk karena memang tidak ada di kelas yang jago cerpen. Ara yang dari tadi hanya menyimak pun merasa tertarik mengikuti lomba bergengsi itu. Sejak SD, Ara memang suka menulis cerita pendek. Namun, untuk ikut lomba ini? Ia tak punya keberanian.
Seseorang tiba-tiba meraih tangan Ara dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Gadis itu menganga ketika melihat sosok Raka di sampingnya.
“Dia aja yang ikut, Jes. Siapa bilang nggak punya bibit sastrawan di sini,” kata Raka sambil bersandar di meja Ara. Tangan gadis itu bergetar karena gugup. Baru kali ini dia disentuh langsung oleh cowok.
“Cieee … pegang-pegang. Nggak jijik lu sama tuh anak, Ka?” kata Diaz tiba-tiba menyeletuk.
“Nggak, lah! Emang kamu. Dia juga manusia kali,” jawab Raka santai. Ara merasa benar-benar canggung dengan perlakuan Raka padanya.
“Ra-Raka, bisa turunkan tanganku?” kata Ara. Raka meng-oh lalu menurunkan tangannya.
“Bukannya Ara puisi?” tanya Jessie.
“Ya, bisa aja, kan, dia jago cerpen juga,” jawab Raka ragu. Ia melirik ke Ara yang masih mengatur detak jantungnya.
“Kamu bisa cerpen, Ra? Kalau nggak jangan dipaksa, ya.” Jessie tersenyum tipis, ramah sekali.
“Emmm … aku bisa, tapi, malu.”
‘Brak!’
“Tuh, ‘kan! Gue bilang juga apa!” kata Raka sambil mendobrak meja. Satu kelas kaget dibuatnya, termasuk Ara. Wajahnya memerah dan berkeringat.
“Nggak apa-apa, Ra. Kami bisa bantu kamu, kok. Siapa tahu kamu beruntung melaju ke nasional, ‘kan?” kata Jessie menyemangati. Ya, gadis itu pengertian. Paham masalah pem-bully-an yang Ara alami, juga tentang mereka yang sama sekali tak ingin berteman dengannya. Setidaknya Jessie masih punya hati.
“Terima kasih, Jes. Aku akan mencoba,” kata Ara berusaha akrab dengan sekretaris OSIS tersebut. Raka tersenyum puas karena akhirnya Ara ingin bangkit.
“Gitu, dong!”
Namanya terdaftar di lomba class meeting nanti. Masih ada waktu dua minggu setelah ujian, Ara sangat bersemangat. Apakah ini sebuah mimpi? Dara dan Ria tidak terlihat sejak tadi. Yang terlihat hanya Raka dan Fadli. Mereka begitu sibuk dan sesekali mata Raka melirik ke arahnya.
“Woy! Jangan melamun!” kata Fadli menyadarkan Raka dengan menjentikkan jari di depan mukanya.
“Gue baru lihat dia senyum begitu, manis juga,” kata Raka. Fadli menepuk jidatnya lalu memegang kedua bahu Raka. Kini, dua cowok itu saling berhadapan.
“Ingat, Raka Atmaja bin Suseno. Lu udah punya Dara, ingat!” ucap Fadli menggoyangkan tubuh Raka.
Cowok berambut hitam pekat itu terkekeh. “Gila lu, ya. Ya kali gue suka sama Ara. Haha, apa kata dunia?” kata Raka lalu tertawa terbahak-bahak.
Kembali, Fadli diam sejenak menertawai kekonyolan sahabatnya ini. “Lu nggak inget barusan ngomong apa?” tanya Fadli berusaha menyadarkan Raka.
Cowok itu menggeleng dengan polosnya. Membuat Ara yang melihat mereka dari kejauhan tersenyum gemas.
“Gue baru lihat dia senyum begitu, manis juga.”
Raka terjerembap, ia membulatkan mata. Baru menyadari bahwa ia telah memuji gadis yang sudah pergi entah ke mana.
“Masih cantikkan Dara, please deh. Ara tuh nggak ada apa-apanya. Cewek buangan lu suka,” kata Fadli sambil bersandar di tembok.
“Bener juga lu.”
Ara memegang dadanya, jantungnya tak keruan. Ia menyandarkan diri ke tembok sekolah dan mengatur napas. Liriknya tak berhenti mengawasi sekitar. Alarm jam tangannya berbunyi. Ini sudah istirahat, ia belum makan sejak tadi.
Ia berjalan menuju kantin sendirian. Sudah biasa ditatap anak-anak yang melihatnya aneh, tak punya teman. Ia mengambil pesanan dan makan di meja paling ujung. Tak peduli apa kata orang, sebenarnya dia juga canggung.
“Lagi ngapain?” tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Lagi makan,” jawab Ara singkat. Sosok itu duduk di sampingnya dan melihat Ara makan.
“Raka!”
“Apa apa?” tanya Raka. Ia mengambil botol saus dan cabai di sampingnya, bermaksud memberikan itu ke Ara. Baik sekali.
“Makasih,” kata Ara datar, ia kembali sibuk pada semangkuk bakso di hadapannya. Raka berdiri dan ingin menyentuh bandana yang dikenakan Ara.
“Raka!” teriak seseorang di luar kantin. Raka menoleh dan mendapati Dara berdiri di sana, menahan amarah. Raka gelagapan. Tanpa diduga, ia melakukan sesuatu yang akan membuatnya dibenci Ara.
Saus dan cabai yang kini mengotori rok Ara. Semua perhatian tertuju ke gadis malang itu. Dara menghampiri Raka yang tega tak tega memperlakukan Ara seperti itu.
“Rasain lu! Makan tuh cabe, lu pikir lu cantik? Ngaca dong!” kata Raka setengah membentak. Gadis di hadapannya menunduk malu. Dara dan Ria tertawa terbahak-bahak. Merasa puas gadis itu kembali dihina.
“Nah, gitu dong. Kamu harus tegas sama dia,” kata Dara memuji.
Ara bangkit dan mengambil lap.
“Makasih buat kekacauannya.”
***

Komento sa Aklat (61)

  • avatar
    Feewa

    very best this stories

    25/08/2022

      5
  • avatar
    Wawan

    bagus sekali alur ceritax

    17/08/2022

      1
  • avatar
    AswarHaerul

    mantap

    8d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata