logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

LIMA

“Aku lelaki pertama yang akan mendapatkan Rara.” Denis memandang wajahnya sendiri melalui cermin itu, sesekali ia menyibak rambutnya yang gondrong.
“Nggak, aku lelaki pertama yang akan mendapatkan Rara.” Pieter tak mau kalah, ia berdiri di samping Denis.
Denis menoleh memberi tatapan sinis pada Pieter. “Tapi aku yang lebih layak mendapatkan Rara.”
“Aku yang lebih layak.” Pieter membalas tatapan Denis.
“Nggak, Pit. Aku yang lebih layak.”
“Aku, Mas.”
“Aa… . “
“Mas Shahrul.”
Berdebatan mereka terhenti setelah mendengar suara Rara yang muncul dari anak tangga. Di saat itu pula Shahrul datang menghampirinya. Kini Denis dan Pieter hanya menatap Rara dan Shahrul berdiri berhadapan di dekat tangga.
“Bisa nganterin aku ke kampus nggak, Mas?”
“Bisa, Ra. Mau berangkat sekarang?”
“Iya, Mas.”
“Oke, bentar aku siap-siap dulu.”
Mereka berdua masih berada di depan cermin dapur, hanya menyaksikan kepergian Shahrul bersama Rara.
“Kayaknya Mas Shahrul. Lelaki pertama yang mendapatkan Rara.”
“Setuju aku, Pit. Udah ganteng, pinter lagi.”
“Mas Shahrul gitu lo.”
“Tapi aku, Pit. Lelaki kedua yang mendapatkan Rara.”
“Ha? Lelaki kedua?” Pieter langsung menatap Denis, ia tidak paham maksud ucapannya itu
“Kan sebentar lagi Shahrul ke Bandung, hubungan Shahrul dan Rara LDR tuh.” Denis menjelaskan sejenak menatap Pieter, kemudian ia kembali menatap cermin. “Terus Shahrul dapat cewek lain di Bandung, dan akhirnya Rara jatuh di pelukanku.” Denis mengembangkan kedua sudut bibirnya, sembari membayangkan apa yang ia bicarakan benar-benar terjadi.
“Nggak bisa, aku lelaki kedua yang mendapatkan Rara.” Pieter masih tak mau kalah, membuyarkan lamunan Denis.
Denis yang nggak terima langsung menajamkan tatapannya ke Pieter. “Aku yang lebih layak, Pit.”
“Aku, Mas.”
“Aku.”
***
Perihal kebarakan gudang batik di Jalan Mayor Suroyotomo akhirnya terungkap. Kini empat orang pelaku yang terekam di CCTV telah diamankan dan sudah menjalani pemeriksaan dan pengembangan.
Motif pelaku pembakaran gudang batik, empat pelaku mengaku mereka adalah suruhan dari seseorang yang merasa dirugikan oleh pihak pemilik gudang batik itu.
“Benar, mereka ada yang nyuruh untuk membakar gudang itu. Dan siapa orangnya? kita masih dalam proses pencarian,” ungkap Kompol Irwan saat ini sedang diwawancari Badran di Kantor Polresta.
“Itu pelaku ditangkap di mana, Pak?” tanya Badran.
“Keempat pelaku itu ditangkap di Stasiun Lempuyangan, Dran. Mereka mau melarikan diri, namun sayang rencananya digagalkan oleh polisi.”
“Oke, Pak.” Badran mengangguk, lantas segera mencatat yang dikatakan Kompol Irwan. “Untuk tindakan seperti itu, kira-kira ada pengaruh lain nggak, Pak? Seperti obat-obatan atau minuman beralkohol?”
“Tidak ada, Dran.” Kompol Irwan menggelengkan kepala. “Itu murni dari suruhan seseorang, yang mana kita masih belum bisa mengungkap siapa orang itu.”
“Oke, kalau gitu, terima kasih, Pak, atas waktunya.” Badran menutup aplikasi catatan di ponselnya, dan segera berpamitan dengan Kompol Irwan.
Itulah berita yang didapatkan Badran hari ini, Redaktur Chilmi masih terus menugaskan Badran untuk memberi update soal kebakaran gudang batik. Ia juga tidak ingin beritanya kalah update dengan media-media lain. Memang begitu persaingan di media.
***
Badran dengan langkah tenang menaiki anak-anak tangga menuju, menuju meja kerjanya. Beberapa orang menyapa Badran, yang memang tidak sengaja berpapasan dengannya, termasuk Dalila seorang wartawati ekonomi. Masih tetap sama, Badran hanya membalas dengan senyuman, tanpa menghentikan langkahnya. Lagi-lagi hanya sekedar melintas.
Dari kejauhan, Badran melihat ada tiga orang yang berkumpul di meja panjang, tempat meja kerjanya. Tiga orang itu adalah Dwi, Andika, dan Pipah. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Badran pun duduk di kursi meja kerjanya, dan bergabung dengan obrolan mereka.
“Di dekat stasiun Lempuyangan itu lo, Wi. Di situ ada angkringan yang enak banget, selain itu ada juga tempat spot foto yang bagus, dengan background tembok tua, atau nggak rel kereta.” Andika menjelaskan, ia sangat paham karena Andika adalah salah satu anak tongkrongan, hampir semua angkringan di Jogja ia kunjungi, mungkin ia bisa disebut pencita angkringan garis keras di antara teman-temannya.
“Itu pernah dimuat di koran kita minggu yang lalu kan, Dik?” Dwi memastikan mengingat-ingat lagi tempat itu. “Udah pernah ah, yang belum pernah gitu lo.”
“Di Gunungkidul.” Badran yang baru saja sampai, langsung ikut dengan pembicaraan mereka.
“Jauh banget,” kata Andika.
“Ya benar, Dik. Di Gunungkidul juga bagus, kita bisa lihat Kota Jogjakarta dari atas. Apa lagi pas malam hari.” Dwi setuju dengan Badran.
“Tapi itu jauh, Wi. Dekat-dekat sini aja lah.”
“Kalian kepikiran Gunung Krakatu nggak sih?”
Perbincangan itu terhenti, semuanya diam menatap Pipah, seorang perempuan yang dianggap aneh di kantor.
“Ngapain?” tanya Andika.
“Sekalian mendaki,” jawab Pipah sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, seakan memperagakan sedang mendaki gunung.
“Kan kita sedang bicarakan tempat tongkrongan di Jogja, Pipah. Kok bisa sampai Gung Krakatau sih? Kenapa nggak sekalian Sinabung?” Andika mulai terlihat kesal, namun ia berusaha sabar.
“Ahh, itu juga bagus, Mas Dika.” Pipah berseru riang, ia sangat setuju dengan ucapan Andika yang terakhir. Sementara Andika, Badran, dan Dwi hanya bengong menatap Pipah. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Sesekali mereka menggelengkan kepala, tak bisa memahami salah satu rekan kerjanya itu.
Tak lama kemudian, Redaktur Chilmi datang menghampiri meja pajang yang ditempati para wartawannya. Sembari menaruh kotak berisi beberapa jenis gorengan di atas meja, lantas Redaktur Chilmi pun berseru. “Kotak kotak.. Kotak kotak…”
Empat orang yang ada di meja itu langsung mengangkat kepala, segera beranjak, dan bergerak ke satu titik makanan yang ada di atas meja. Perebutan pun berlangsung, tak ada hukum di sini, saling tarik, sikut, dorong adalah hal yang biasa. Siapa cepat dia dapat.
Ini adalah suatu kebiasaan unik di kantor Jogjapolitan, khususnya di ruang redaksi. Biasanya para redaktur setiap divisi membagikan makanan kepada para wartawannya setelah selesai menghadiri rapat redaksi petang.
Makanan itu terdiri dari gorengan, martabak, pizza, kue-kuean, dan buah-buahan. Tergantung suasana hati sang redaktur, kalau memang hari itu menyenangkan pasti si redaktur membagikan makanan enak kepada wartawannya.
Sementara Redaktur Chilmi hanya diam, sesekali ia tertawa menyaksikan kehebohan para wartawannya saat berebut makanan. “Lain kali lebih ceketan lagi ya, Pah.” Redaktur Chilmi mengingatkan Pipah, karena ia salah satu yang mendapatkan makanan paling sedikit diantara ketiga temannya.
Kebiasaan berebut makanan memang dipertahankan di kantor Jogjapolitan, entah siapa yang memulai terlebih dahulu, dan kapan pertama kalinya kebiasaan itu dimulai? Namun kata Wildan seorang Pemimpin Redaksi, kebiasaan berebut makanan itu bisa melatih kelincahan dan kecekatan seorang wartawan. “Kalau berebut makanan di kantor aja kalah, bagaimana jika berebut berita di lapangan?” begitu dalihnya.

Komento sa Aklat (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata