logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

DUA

Setelah Badran memakirkan motornya di dekat plang penutup jalan, ia segera melepas helmnya, merapikan sedikit rambutnya yang bergelombang. Kemudian berjalan menemui salah satu polisi yang berjaga di sana. Badran menujukan ID Pers kepada salah satu petugas polisi, supaya Badran mendapat ijin, untuk menjalankan tugasnya. Badran segera melangkah cepat, melewati orang-orang dungu yang menjadikan bencana kebakaran objek pertunjukan.
Sejenak Badran berdiri menghadap sebuah bangunan yang terbakar, seolah-olah, api besar itu tak akan melepaskan pelukannya, dekapannya semakin kuat. Tak perlu nunggu lama lagi, Badran segera mengeluarkan peralatan jurnalisnya, salah satunya kamera digital, dan aplikasi catatan di ponsel. Badran segera beraksi, membidik kamerannya, mengambil beberapa gambar bangunan terbakar itu.
Sesekali Badran memberanikan diri, melangkah lebih dekat mengikuti petugas pemadam yang berusaha menjinakan api demi mendapat gambar lebih bagus lagi. Walaupun sudah dihimbau oleh petugas untuk tidak mendekati bangunan, Badran tidak peduli, karena menurutnya Badran hanya mendekat sedikit, dan ia merasa posisinya aman.
“Kebetulan lewat sini, Mas. Terus melihat api itu udah besar,” kata seorang pria paruh baya, yang saat ini diwawancarai Badran.
“Aap benar saat kejadian, jalan ini sepi, Pak?”
“Iya benar, Mas. Jalan ini tadinya sepi, terus saat tau ada kebakaran, orang-orang langsung keluar dari gang. Ada juga yang kebetulan lewat, terus langsung berhenti.”
“Oke, terima kasih, Pak.” Badran langsung mencatat penjelasan yang disampaikan warga itu.
Sehabis mewawancarai warga, Badran segera mencari petugas pemadam kebakaran untuk dimintai keterangan. “Apakah ada korban, Pak?”
“Saya pastikan tidak ada korban, kebetulan di dalam gudang tidak ada orang, karena jam segini para pegewai sudah pulang. Tadi petugas kami kesulitan memadamkan api, karena pintunya dikunci. Terpaksa, kami harus mendobrak pintu itu,” jelas seorang pria berseragam pemadam kebakaran, yang saat ini diwawancarai Badran.
Badran segera mencatat apa yang dikatakan petugas. “Kira-kira apa penyebab kebakarannya, Pak? Apakah dari korsleting listrik?”
“Saya kira tidak.” Petugas itu menggeleng. “Tadi petugas sudah cek, bukan dari korsleting listrik!”
“Terus penyebabnya apa, Pak?”
“Saya kurang tau, Mas. Mungkin itu bisa saya serahkan ke petugas kepolisian untuk mencari tahu penyebab kebakarannya.”
Badran mengangguk, lantas mencatat apa yang sudah dijelaskan. Dari sekian jawaban-jawaban narasumber, Badran masih belum puas dengan jawaban itu. Masih ada pertanyaan yang belum terjawab dengan jelas, yaitu penyebab kebakaran.
“Besok saya akan turunkan tim penyidik, untuk memeriksa gudang itu.” Kini petugas berseragam kepolisian menjawab pertanyaan Badran.
***
Kantor megah berwarna kombinasi putih-biru berlantai tiga di daerah pusat kota itu sudah terlihat ramai, satpam sudah berjaga di area pintu masuk kantor. Tempat parkir sudah terisi empat buah mobil, dan puluhan motor. Salah satunya, mobil ekspedisi koran Jogjapolitan, yang bertugas menjemput dan mengantarkan koran dari percetakan, hingga ke agen-agen koran. Badran menaruh motor matic-nya di tempat parkir sepeda motor, agak masuk ke dalam untuk menghindari terik sinar matahari.
Di lantai dua inilah tempatnya orang-orang redaksi, satu lantai terdapat meja-meja panjang, yang terbagi menjadi lima komputer. Masing-masing dihuni oleh empat wartawan, dan satu lagi redaktur.
Namun itu hanya sementara, selepas jam sembilan nanti, meja-meja itu akan kosong ditinggal oleh penghuninya, kecuali meja redaktur. Begitulah wartawan, ia menempati meja kerjanya hanya di pagi hari dan sore hari sebelum pulang, selebihnya mereka berada di lapangan.
Seorang wartawan tak perlu kantor, begitu teorinya. Sebab ruang kerjanya seluas dunia ini. Meskipun demikian, biasanya para wartawan berada di kantor hanya untuk beristirahat, membaca, menulis berita, dan membuat rencana liputan dengan seorang redaktur.
Badran berjalan melewati meja-meja itu, sesekali membalas dan memberi sapa kepada orang-orang yang ia lewati. Salah satunya Dalila, seorang wartawati ekonomi, yang masih tiga bulan bekerja di Jogjapolitan. Ia adalah salah satunya pegawai, yang sering menyapa Badran ketika tidak sengaja bertemu dengannya, juga ketika melintas di meja kerjanya.
Dalila memutar kursinya, ia tahu Badran akan melintas. “Pagi, Mas Badran.” Dengan menarik senyuman, membuat lengkuk di kedua pipinya yang tirus.
Badran hanya tersenyum dan menjawab, “Pagi.” Lantas langkah Badran tidak berhenti, ia masih terus melanjutkan langkahnya menuju meja kerja. Hal itu sering dilakukan Dalila, saat melihat Badran melintas. Hanya melintas! Tak pernah sekalipun Badran berhenti, atapun duduk di dekat meja kerjanya.
“Sarapan dulu, Dran!” Dwi menyapa Badran, ketika mengetahui kedatangannya.
“Silakan.” Badran tersenyum, seraya duduk di meja kerjanya, sekalian menyalakan komputer.
Di sebelah Badran ada Dwi, seorang wartawan pemerintahaan, yang tugasnya mengunjungi kantor-kantor dinas, balai kota, hingga kantor Gubernur. Tak heran, jika Dwi memiliki banyak kenalan pejabat kota.
Sedangkan yang duduk di hadapan meja Badran, ada Pipah, seorang wartawati yang bertugas meliput berita pendidikan.
Badran menatap Dwi, yang sedang sibuk melahap nasi campur dengan lauk telur dadar, tempe, dan juga peyek ikan teri. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, Dwi selalu sarapan di kantor, entah kenapa ia tak begitu sempat sarapan di kontrakannya sendiri.
“Eh, Dran. Kemarin kamu yang ngeliput kebakaran gudang batik itu ya?” Dwi menoleh, menatap Badran, sejenak ia menghentikan kegiatan sarapannya.
“Iya, kenapa, Wi?”
“Udah ada perkembangan apa aja, Dran?”
“Belum ada sih, Wi. Pasti nanti Mas Chilmi nyuruh aku datang ke lokasi itu lagi, buat ngembangin kasus kebakaran kemarin malam. Penyembab kebakaran belum terungkap jelas, karena kemarin aku wawancara setiap narasumber, tidak ada yang bisa menjawab penyebab kebakaran itu.”
“Berarti kebakaran itu masih jadi misteri ya, Mas Badran?” Pipah tampak tertarik dengan pembicaraan itu.
“Iya, Pah. Penyebab kebakarannya juga aneh,” jawab Badran.
“Jangan-jangan kebakaran itu memang disengaja, Dran?” sahut Dwi dengan mulut masih banyak nasi yang belum sempat ia telan.
“Kemungkinan sih gitu, Wi. Tapi lebih baik tunggu informasi dari pihak yang berwajib.”
Dwi hanya mengangguk-anggukan kepala, setelah mendapat jawaban Badran, kemudian ia kembali meneruskan sarapannya. Badran sejenak memperhatikan porsi makanan Dwi yang begitu banyak. Ia sering dibuat heran dengan Dwi, yang suka sekali makan dengan porsi banyak, namun badannya tak pernah gemuk.
“Aduuhhh!”
Badran dan Dwi langsung menatap Pipah, setelah mendengar suara rintihannya. “Kenapa, Pah?” Dwi bertanya.
Pipah menekan perutnya, kedua pipinya memerah, “Perutku lagi ngeselin, Mas, bentar ya.” Pipah segera berdiri dari tempat duduk, niatnya ingin segera ke kamar mandi, namun tak sengaja Pipah menabrak Andika, seorang wartawan politik yang sedang membawa pisang goreng.
Pisang goreng itu jatuh. “Paahh, kalau jalan hati-hati dong!”
“Maaf, Mas Dika, maaf!” Pipah langsung berlari meninggalkan meja redaksi kota.
Sementara Andika hanya mematung di tempat, menatap pisang goreng satu-satunya itu jatuh.
“Yaah, pisang goreng tinggal satu.” Badran berkata datar.
“Jatuh lagi.” Dwi menyahutnya, seraya berdecak sambil menggelengkan kepala.
Andika menatap kedua temannya itu dengan ekspresi masam, lantas ia langsung mengambil pisang gorengnya yang tergeletak di lantai. “Masih belum lima menit, nggak papalah.” Andika segera menyatapnya.
“Awas, nanti sakit perut lo!” Badran berkata lagi, membuat Andika tidak jadi menyatap pisang goreng itu.
“Ya, nanti kalau sakit perut, nggak bisa liputan, kapok!” Dwi menyahutnya lagi.
Andika berdecih kesal, ia segera membanting pisang goreng itu ke tong sampah.
“Yeee, anak politik suka marah-marah.” Kali ini Dwi berkata, dengan nada meledek Andika.
“Berisik!” Andika sudah terlihat emosi dengan temannya itu, lantas ia segera duduk dan menyalakan komputernya.
Selang berapa lama, akhirnya Chilmi seorang redaktur kota baru saja keluar dari ruangan, setelah melakukan rapat redaksi pagi bersama para redaktur lainnya, dan pemimpin redaksi. Ia segera mengumpulkan para wartawannya, untuk menyampaikan hasil-hasil dari rapat pagi ini.
Salah satunya Badran, ia diberikan tugas untuk mengejar berita kebakaran gudang batik kemarin, Redaktur Chilmi menginginkan Badran untuk meng¬-update berita itu lagi.

Komento sa Aklat (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata