logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Mencari Pesan

Mencari Pesan

Setiawan Saputra


SATU

Sungguh itu perkataan yang tajam menusuk hati, egonya tidak terima, hatinya sakit, otak memaksanya berdiri, melangkah cepat menghampiri sahabatnya itu, dan langsung menarik bajunya yang membuat dia juga harus ikut berdiri.
Ia mendorong sahabatnya itu hingga bersandar ke tembok, kedua alis tebalnya bertaut, tatapannya menajam. Kini egonya telah menjadi monster yang mengamuk, siapapun yang telah berani mengganggu tidurnya, akan mendapatkan akibatnya.
"Jaga perkataanmu itu, Nis." Suara serak itu terdengar menyeramkan, tangan kirinya mencengkram kuat kerah baju sahabatnya, sedangkan tangan kanan mengepal siap menghantam, "Aku heran sama kamu, kenapa kamu selalu ngurusin kehidupanku, ha?"
"Apakah aku pernah mencampuri urusanmu, Nis? Kenapa kamu selalu mencampuri urusanku?" Kepalan tangan itu meremas kuat kerah bajunya, seraya menekan dagunya. Hingga sahabatnya itu dibuat kesulitan bernapas.
"Seakan-akan prinsipmu itulah yang paling benar. Kamu juga suka memusuhi orang yang tidak sepemikiran denganmu, Nis."
Dengan senyuman miring, kini monster egonya telah menemukan mangsa. Mengabaikan perasaan bahwa itu adalah sosok sahabatnya. Persetan yang namanya sahabat! Tangan kanannya yang mengepal telah terangkat.
"Sekali lagi, kau berani mencampuri urusanku."
Bummmmb.
Tangan kanan yang sudah mengepal kuat itu menghantam tembok, hingga terdengar suara detuman keras, tembok itu bergetar seketika. Sang sahabat hanya melirik sebuah tangan yang memukul tembok tepat samping wajahnya.
"Kamu akan menerimanya itu, Nis!"
Dia akhirnya melepaskan genggaman yang mencengkram kerah baju sahabatnya, lantas ia segera mengambil ranselnya di sofa. Sejenak menatap sang sahabat yang masih bersandar di tembok, mengatur napasnya. Dia tersenyum picik, kemudian pergi masuk ke kamarnya, membanting pintu, dan menguncinya.
***
Pengeroyokan Di Gang Serai Berujung Maut. Itulah salah satu berita yang terpampang di halaman headline news koran Jogja 24, yang saat ini berada di genggaman seorang pria beralis tebal, yang duduk di sofa, dengan ditemani dua potong roti tawar dioles selai kacang, dan secangkir teh tarik di meja hadapannya.
“Ada berita apa pagi ini, Badran.” Pria berkacamata bulat, yang biasa dipanggil Shahrul duduk di sofa sebelah Badran, dengan satu kaki dinaikan ke pahanya, dan satu tanganya merangkul sandaran sofa, tepat di belakang Badran.
“Seperti biasa, Rul. Berita kriminal. Berita-berita macam itulah yang jadi buruanku setiap hari.” Badran tersenyum, menoleh ke samping, menatap Shahrul. “Hari ini kamu nggak ngajar, Rul?”
“Jadwalnya nanti jam sebelas, Dran.”
Shahrul adalah salah satu teman kos Badran, berprofesi sebagai pengajar mapel Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta. Shahrul adalah penghuni lama di kosan ini, sejak ia masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya mengajar di sekolah, ia juga biasa mengajar di tempat les sebagai penghasilan tambahannya.
“Gaji guru kecil, Dran. Ini caraku untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Untuk bayar kosan, beli makan, dan nabung untuk lanjut S2 di Bandung.” Begitulah kata Shahrul, dan itulah impiannya.
“Pagi, Rul.” Denis datang membawakan sebungkus nasi kuning, yang ia beli di warung tak jauh dari kosan. Denis berprofesi sebagai staf desain grafis, di sebuah percetakan digital. Ia sudah 5 tahun berada di kosan ini, dan sudah 5 tahun pula, ia bekerja di percetakan itu.
“Ini udah hampir tiga kali lewat hari raya Idul Fitri lo, kalian masih gini-gini aja, kok betah banget sih? Heran aku,” kata Shahrul melihat sifat kedua temannya, yang saling mendiamkan diri.
“Kalian nggak punya niatan, untuk bicarakan masalah ini ya? ” Shahrul menatap Denis.
“Males,” jawab Denis singkat, ia lebih menyibukkan diri membuka bungkus nasi kuning, sesekali menyibakan rambut gondrongnya, yang menutupi mata. Shahrul berdecak, menggelengkan kepala, kemudian ia menoleh menatap Badran.
“Aku aja nggak tau, apa masalahnya,” jawab Badran dengan suara datar, ia langsung melipat koran, dan meletakkannya di atas meja, lantas segera menyantap rotinya.
Sejak Badran keluar dari pekerjaan lamanya, dan beralih jadi wartawan di Jogjapolitan. Badran mendapati sifat Denis yang berubah terhadapnya, tak seperti biasanya lebih dekat, sering bertukar cerita, dan bercanda. Kini hanya saling mendiamkan diri, menyapa pun tidak, apalagi bicara.
Awalnya Badran tidak merasa Denis mendiamkannya, ia pun juga sering mengajaknya bicara, basa-basi menanyakan kabar pekerjaan, dan bahkan sempat menawarkan makanan dan rokok untuknya. Tapi sering kali Denis memberi respon yang kurang mengenakan bagi Badran, hal itu membuat Badran sedikit membatasinya.
Badran tahu Denis mendiamkannya, tapi Badran tidak mau tahu apa penyebab Denis mendiamkan Badran. Bukannya itu seperti kita menjatuhkan diri sendiri? Menanyakan orang-orang yang membenci kita, soal apa salah kita. Pasti mereka akan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, dan aku nggak mau perkataan menjengkelkan tentang diriku, keluar dari mulut-mulut mereka. Begitulah pemikiran Badran.
Tak lama, pintu kamar dekat tangga terbuka, muncul seorang pria dengan wajahnya yang masih kusut baru bangun tidur, dialah Pieter salah satu teman kos Badran, berprofesi sebagai driver ojek online.
“Pagi teman-teman yang kusayangi, pagi yang begitu cerah!” Pieter berjalan ke sofa ruang tengah, dan bergabung dengan teman-temannya yang sibuk menyantap sarapannya.
“Kamu nggak narik, Pit?” tanya Denis setelah mengetahui kedatangan Pieter.
“Nanti aja, agak siangan,” jawab Pieter, dengan nada yang terdengar malas.
“Jangan begitu! Walau pengen kerja siang, tapi pagi harus tetap bangun dan mandi, biar lebih seger.”
“Nah tuh, Pit.” Denis setuju dengan perkataan Shahrul. “Nanti kalau kamu bangun siang-siang terus, rejekimu dipatok ayam lo!”
“Apaan sih, Mas Nis? Mana ada ayam makan duit?”
“Rejeki itu nggak cuma duit, bisa makanan. Nah, kalau makananmu dipatok ayam gimana?”
“Tapi mana mungkin ayam bisa masuk sini, Mas Nis?”
Tak lama, terdengar suara kokokan ayam dari arah tangga, disusul suara teriakan anak kecil dari bawah. “Paaak, ayamnya masuk kosan!” Seluruh mata di ruang tengah itu, tertuju ke arah tangga, kemudian suara kegaduhan pun datang.
Sofiyan, seorang anak laki-laki pemilik kos, berlari menaiki tangga mengejar ayam. Ayam itu pun berlari menghindari kejaran Sofiyan, hingga masuk ke ruang tengah, tempat anak-anak kos berkumpul. Hal itu pun, langsung menimbulkan keributan di ruang tengah.
“Ini kenapa ayam bisa masuk?”
“Ayamnya bapak lepas, Mas!”

Komento sa Aklat (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata