logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Taxi atau Becak

Matahari mulai mengintip dari sela-sela jendela. Mengusik tidur seorang gadis cantik yang perlahan mengusap matanya karena retinanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan muka bantalnya yang masih terlihat cantik, ia lalu menggeliat. Meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
Bangkit dari tidurnya, Celine melangkah membuka jendela. Menarik napas panjang, gadis itu kemudian tersenyum. Ini yang dia suka dari Papua. Udaranya masih sangat bersih. Memang sih, di Sumatra masih ada beberapa tempat yang hampir sama, tapi di kotanya? Jangankan udara bersih, pohon pun sudah jarang. Makanya saat ibunya bilang akan berlibur ke Papua bertemu sahabatnya dan kemudian berangkat ke Raja Ampat, dia langsung menyetujuinya, mengabaikan opsi perjodohan yang ibunya katakan. Karena inilah yang Celine cari, udara segar dengan pohon-pohon tinggi. Ah, menyegarkan sekali.
Pandangan Celine perlahan mengabur ditutupi air yang memberontak untuk keluar dari mata cantiknya. Ingatannya tiba-tiba jatuh pada ibu dan ayahnya yang beberapa hari lalu meninggalkan dirinya. Mungkin sore nanti ia akan minta Leon untuk mengantarnya ziarah ke makam mereka.
Pikiran Celine merangkak jauh ke masa depan. Bagaimana hidupnya nanti tanpa orang tuanya? Kalau dia rindu, bagaimana dia akan mengunjungi makam mereka? Apa Celine sanggup hidup sendiri? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang memenuhu kepalanya dan ia tidak tahu apa jawabannya.
"Hoi! Ngelamun mulu." Leon diam-diam masuk ke kamar Celine yang pintunya memang sudah dibuka.
"Ih! Aku kaget tau," rengek Celine saat tiba-tiba bahunya ditepuk pelan oleh musuh bebuyutannya. Siapa lagi kalau bukan Leon?
"Siapa suruh ngelamun pagi-pagi?"
Celine berdecak kesal. Kembali berbalik menatap pemandangan, hamparan tanah Papua di balik jendela kamarnya.
"Ya terserah aku lah. Mau ngelamun kek, mau kesurupan, mau guling-guling, suka-suka aku. Kamu siapa yang suruh masuk ke kamarku sembarangan? Kamu punya niat jelek ya? Tan—"
Leon bergegas menutup mulut cerewet itu sebelum dia menjerit dan mengadu yang tidak-tidak pada Naya, mama Leon.
"Siapa juga yang mau ngapa-ngapain kamu? Gak napsu!"
Mata Celine terbelalak mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya pria itu dengan gampang mengatakan bahwa ia tidak punya napsu pada gadis cantik paripurna seperti dirinya, tapi sudahlah. Tak mau berdebat, Celine hanya menarik kuat tangan Leon yang menutupi mulutnya.
"Udahlah, aku gak mau ribut. Kamu mana paham rasanya jadi aku."
Leon tercekat, ia merasa bersalah kemudian. Jujur saja, ia mencari topik perkelahian dengan gadis di depannya ini hanya untuk mengalihkannya dari rasa sedihnya. Siapa anak yang tidak depresi saat ditinggal kedua orang tua sekaligus? Tentu saja tidak ada. Leon menghela napas panjang.
"Emang rasanya gimana? cerita aja, gini-gini aku pendengar yang baik loh."
Celine menyandarkan dua sikunya di jendela, menangkup wajah mungilnya dan kembali melamun. Bagaimana ya rasanya? Apa kata sakit sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya? Rasanya kurang.
"Gak tau. Kalau aku bilang sakit, kayanya kurang tepat. Soalnya rasanya lebih dari sakit."
Celine menggigit bibir dalamnya, berusaha menahan isak tangis yang akan keluar dari mulutnya. Gadis itu tercekat saat tiba-tiba tubuhnya dibalik dan kepalanya ditarik untuk bersandar di dada tegap milik Leon.
"Nangis aja." Leon berbisik lirih pada Celine.
Isakan itu langsung keluar begitu saja dari bibir Celine. Ia bahkan berceloteh seolah protes kenapa orang tuanya yang harus dipanggil lebih dulu. Leon hanya diam, sesekali mengusap rambut lembut milik gadis itu.
"Nangis aja sepuasnya, ngeluh, marah, apapun yang buat hati kamu lebih tenang. Kalau bahasa Medannya apa ya ... Oh, tenang dek ada bahu abang tempat bersandar," ucap Leon antara serius dan berusaha ngelawak untuk menghibur Celine.
Celine langsung tertawa keras mendengar kalimat itu. Ia menepuk kuat bahu Leon yang juga ikut tertawa. Tanpa sadar bahwa di depan pintu seorang wanita paruh baya tersenyum sendu, bersyukur atas kedekatan mereka.
***
"Leon, anterin aku yuk!"
Leon yang sedang asik bermain game di ponselnya mengangguk pelan.
"Boleh."
Celine tersenyum lebar mendengar jawaban pria itu.
"Kalau gitu—"
"Ada syaratnya! Pake ongkos ya."
Senyum Celine langsung menghilang. Ia menatap datar pria yang terlihat berusaha menahan tawa di depannya.
"Oke-oke, ayok. Emang mau kemana sih?" tanya Leon sembari bergegas mengambil kunci saat gadis yang berdiri di depan pintu kamarnya itu mengambil ancang-ancang untuk mencakarnya.
"Mau ke makam, buruan!"
Leon terpaku. Rasa bersalah terbit di hatinya. Setelah menghela napas pelan, ia kemudian melangkah menyusul Celine yang sudah bergerak lebih dulu. Sepertinya butuh usaha keras agar gadis itu bisa move on dari rasa sedihnya atau ia ajak jalan-jalan lagi? Ah, nanti dia marah-marah lagi seperti kemarin. Pria memang selalu salah.
Baru saja Leon berniat mengeluarkan motornya, ia langsung berdecak kesal saat melihat ban sepeda motornya ternyata bocor.
"Duh, ban-nya bocor."
Celine merungut mendengar itu. Baru saja ia ingin mengeluh, perkataan Leon menenangkan hatinya.
"Udah tenang, kita naik taxi aja."
Celine tersenyum riang, tapi tak lama senyum itu berganti menjadi raut kebingungan.
"Emang di sini ada taxi?"
"Ya ada lah," jawab Leon cepat. Celine hanya mengangguk.
Mereka bergegas melangkah menuju arah jalan unum, 5 menit menunggu, Leon kemudian menarik tangannya, mengatakan kalau ia sudah menghentikan taxi, tapi Celine terbelalak dengan mulut menganga saat melihat yang ada di depannya adalah sebuah mobil angkutan pedesaan. Iya, mobil bemo! Bukan taxi seperti yang ia bayangkan.
"Ini mah becak, Leooon!"
"Ya ini di sini namanya taxi," ujar Leon mengulum bibir menahan tawanya. Sengaja membuat gadis itu kesal.
"Tapi di Medan namanya becak."
"Ya itu di Medan, di sini namanya taxi."
"Ahh pele.. Su cape menunggu baru, ini kalian jadi naik ka ti?" keluh pria paruh baya yang mengendarai sesuatu yang sekarang mereka debatkan namanya itu.
"Jadi pace, sebentar.m," jawab Leon.
Leon menarik tangan Celine agar segera naik, tapi tunggu dulu, Celine tidak mau kalah semudah itu.
"Tunggu dulu, Pak. Ini namanya becak apa taxi? Becak kan?"
Pria paruh baya itu menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal dengan bingung.
"Kasih tinggal saja dong, Pace. Dong memang su gila, ini memang namanya taxi baru, iyo to?"
"Bemo kan pak?"
"Taxi to?"
"Ahh sudah lah. Sa pi saja. Su gila ini ..." Sopir angkutan umum itu bergegas pergi meninggalkan keduanya.
Leon dan Celine tercengang saat pria itu pergi begitu saja.
"Kan, bapaknya jadi pergi kan! Kamu sih."
"Lah, aku udah narik kamu ya tadi supaya naik. Kamu aja yang ngajak debat."
"Tapi itu namanya emang becak!"
"Uukh! Ya udah becak. Terserah kamu."
Bibir Celine tersenyum senang setelah ia merasa menang dari Leon, tapi senyumnya seketika hilang saat sadar ia dan pria itu tak bisa pergi karena tidak ada kendaraan.
"Huwaa ... Leon kita naik apa dong ke sana'nya?"
Leon yang sudah melangkah memasuki rumah berdecih pelan, ada perasaan kesal di dirinya.
"Ya gak naik apa-apa. Gak jadi pergi. Kalau mau panggil aja becak dari Medan!" jawab Leon tanpa menoleh Celine.

Komento sa Aklat (130)

  • avatar
    RahmatianiNaila

    sangat baguss👍

    20d

      0
  • avatar
    KmuuuSayang

    asli

    27d

      0
  • avatar
    CeesRa

    sangat seru

    19/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata