logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bagian 2

DUA
“Ma, haus.” Jay melempar ranselnya asal. Menghempaskan tubuh ke sofa dengan menyandarkan kepala.
Sang Mama—Aera—datang membawa secangkir susu yang jelas bukan susu sapi. Cowok itu mengambil dan segera mendekatkan cangkir ke bibir. Baru mencecap di lidah, dia langsung melempar susu itu ke lantai sambil melepeh.
“Jangan ngasal dong, Ma! Kalau Jay sakit, gimana?!” tukasnya dengan alis tertekuk.
“Itu masih seger, gadis usia dua puluh tahun yang baru melahirkan. Harus dimana lagi Mama cari yang sesuai lidah kamu?”
“Pokoknya Jay nggak mau tau, Jay kehausan. Laper! Kalau gini terus, Jay bisa mati!” Dia menatap Aera nyalang.
“Semuanya kamu tolak, Mama harus gimana lagi, sayang?”
Cowok itu mengusap wajah gusar.
Sejak lahir hanya mengonsumsi asi, itulah dirinya. Tidak bisa menerima makanan normal seperti manusia biasanya.
“Mama bakal cari lagi. Tapi sekarang sebagai gantinya, kamu minum jus buah dulu, ya?” Aera memberikan jus wortel yang langsung dibuang Jay.
“Nggak bisa! Jay nggak mau makan selain asi!” Tanpa berkata-kata lagi, cowok berperawakan tinggi itu beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan Aera yang dibuat pusing harus mencari kemana lagi. Selama 17 tahun dia bertahan memberi makan putra tunggalnya itu. Masih lebih baik memberi nasi, malangnya dia harus menyediakan hal yang sulit untuk dicari.
°°°
Bel istirahat berbunyi nyaring. Hana menjambak rambutnya frustasi. Sejak pelajaran mulai, dia tidak pernah fokus. Pikirannya terus tertuju pada keadaannya yang benar-benar aneh. Dia terus memikirkannya sampai kepalanya hampir meledak. Di satu sisi dia merasa khawatir, di sisi lain dia tidak ingin memberitahu siapa pun. Apa benar hal yang dia alami termasuk lumrah? Apa dia harus mengambil langkah serius?
Tapi—tidak. Hana tidak setuju dengan opsi kedua. Dari penjelasan di google, itu tidak berakibat fatal untuknya. Mungkin sekarang, Hana harus mulai terbiasa, hingga cairan putih itu berhenti dengan sendirinya.
“Hana, nonton basket, yuk!” Rona berlari menghampirinya dari pintu kelas. Senyumnya mengembang lebar sambil mengayunkan lengan Hana.
Hana langsung menggeleng sebagai penolakan. Di situasinya yang sekarang, dia tidak ingin melakukan apa pun. Naas. Temannya yang satu itu tidak mengerti kondisi yang sedang dia alami. Tanpa coba memahami, Rona menarik Hana pergi.
“Ron, gue nggak mau. Perut gue lagi sakit,” tolak Hana di perjalanan. Berharap dengan begitu temannya itu paham. Sekali lagi, Rona sama sekali bukan orang seperti itu. Dia tidak mendengarkan Hana, terus menariknya penuh semangat menuju lapangan basket outdoor.
Merasa percuma menjelaskan, Hana menghela napas. Memilih mengikuti arah tarikannya. Di sana, sudah ada Jeslyn dan teman sekelasnya yang lain. Hana duduk di sebelah Jeslyn penuh kekesalan. Dia paling tidak suka berada di antara keramaian. Apalagi mood-nya sedang tidak baik.
“Kak Jay!” teriakan para siswi di sekitarnya membuatnya lebih tersiksa. Dia menahan diri mati-matian dengan pura-pura menonton pertandingan basket di depannya walau dia sama sekali tidak sungguh-sungguh menonton.
“Na, dia Kak Jay! Cowok yang kemarin gue ceritain! Ganteng banget, kan?”
Hana mengikuti saja arah tunjuk Rona. Matanya menyipit karena terik matahari sedikit menyilau. Sebenarnya dia sudah tahu, seperti yang dikatakan kemarin, Jeslyn lebih dulu mengatakan padanya tentang Jay. Tapi, Hana sama sekali tidak tertarik.
Pertandingan antar kelas itu terus berlanjut, hingga entah mengapa, tiba-tiba maniknya bertemu dengan manik cowok itu. Hana sangat yakin cowok itu sengaja meliriknya.
Bahkan karena itu juga, para gadis di sekitarnya memekik heboh, menganggap Jay baru menatap mereka. Padahal yang sebenarnya cowok itu menatap ke arah Hana.
Tidak peduli, Hana lanjut menyaksikan pertandingan walau tidak terlalu fokus. Sampai bola basket tiba-tiba melambung ke arahnya dan mendarat tepat di bawah kakinya. Gadis itu menatap ke bawah, tepatnya ke bola orange itu. Saat mendongak, seorang cowok berpakaian basket berdiri dua meter di hadapannya.
Iris tajamnya menyapa iris legam milik Hana. Rambutnya bercucuran keringat. Aromanya menguar jelas di indra penciuman Hana. Aroma lavender yang baru Hana cium dari tubuh seorang cowok.
“Boleh ambilin?” Suaranya terdengar, merebut atensi Hana sepenuhnya.
°°°
“Hana Arcelia.”
Baru saja namanya disebut, dengan senyum tawar dia berjalan ke depan mengambil surat ulangannya.
“Seperti biasa, kamu yang tertinggi,” ujar Bu Rose, guru biologi yang terkenal paling tegas.
Hana menerbitkan senyum tipis, berbalik ke kursinya lagi.
Kertas ulangan dibagikan ke setiap murid. Hingga selesai, dan pelajaran kembali dimulai.
“Na, susu lo kok tambah gede, sih?”
“Eh!” Dengan melotot Hana membekap bibir Jeslyn rapat-rapat. Temannya itu berceletuk di tengah keheningan, murid sekitar pasti dapat mendengar. Rona yang duduk di belakang berpindah ke depan, menelisik yang dikatakan Jeslyn, membuat Hana menutupi bagian dadanya menggunakan ransel. “Kalian apaan, sih!”
“Bener, tambah gede, Na,” ucap Rona.
“Ish!” Hana berdelik tajam, melirik ke papan tulis dimana Bu Rose sedang menggambar susunan sel.
“Cerita ke kita! Ada apa?” Jeslyn bertanya usai menepis lengan Hana yang membekap bibirnya.
“Nggak ada apa-apa.”
“Pasti ada sesuatu. Tuh, telinga lo merah.”
Sontak Hana menutup kedua telinganya. Ketika sedang gelisah, daun telinganya sangat tau bereaksi, memerah.
“Ayo cerita, Na! Lo nyembunyiin sesuatu, kan? Apa? Ayo, cerita!” Rona terus mendesak, membuat Hana kelabakan, spontan dia bangkit dan meminta ijin ke toilet.
Dia berlari terbirit-birit, dadanya kembali terasa berat. Sebelum koridor ramai karena bel istirahat baru berbunyi, lekas dia berlari menuju toilet. Sangat disayangkan, setiba di toilet, tidak ada bilik yang kosong. Menunggu sejenak, namun yang ditunggu belum juga keluar, kedengarannya mereka anak cheers yang sedang mandi. Tidak ada waktu untuk menunggu lagi. Oleh sebab itu Hana memilih keluar mencari toilet lain.
Selama lima belas menit berkelintaran mencari toilet, selalu saja ada perkara, misalnya toilet rusak sehingga dikunci, penuh, atau keramaian. Yang membuat Hana panik karena dadanya menjadi lebih berat. Merasa tidak kuasa menahan sesak, dia berlari ke gudang ujung yang jarang dilalui orang.
Di sana dia melepaskan seragam, membuka kaos dan menurunkan bra. Untungnya dia membawa tisu, dia gunakan untuk mengusap dan membersihkan setiap tetes susunya yang berlinang.
Tak!
Hana melotot ketika pintu gudang dibuka. Buru-buru dia bersembunyi di balik tumpukan kursi bekas. Bagaimana bisa ada orang?! Setahunya gudang itu adalah tempat paling jarang dikunjungi. Dalam hati dia berteriak saking tidak mau ketahuan. Betapa tidak? Dia tidak mengenakan baju. Hanya berandalkan seragam dan tanktop dia menutupi bagian dadanya sambil terus merapalkan doa.
“Ngapain lo di situ?”
Deg
Jantung Hana layaknya bom bunuh diri yang siap meledak. Pacuannya sangat kencang, seluruh indranya juga melemas yang membuatnya tidak kuat menopang tubuh.
Hana tambah melotot saat cowok itu mendekat dan melihat kondisinya secara langsung! Cowok itu mematung saat melihat Hana, begitu juga Hana yang mematung memikirkan seorang cowok sedang menatapnya yang setengah bugil.
Derap kaki dari luar terdengar mendekati gudang. Lagi dan lagi Hana melotot tambah lebar. Tanpa aba-aba lengan Hana ditarik, dipepetkan ke tembok di sebelah pintu. Yang menjadi masalah, cowok itu ikut mengimpitnya.
“Tahan napas,” bisik Jay, membekap bibir Hana menggunakan telapak tangannya.
Tak!
Pintu gudang dibuka. Memang agak rusak sehingga ketika knopnya dibuka menimbulkan bunyi gaung.
“Nggak ada, kemana sih bos kabur.”
“Cari ke lobi coba.”
Pintu gudang kembali ditutup, derap kaki itu pun semakin menjauh.
Hana mendorong Jay dengan tubuh bergetar, wajahnya pucat pasi seperti ikan mati.
“Bego! Ganti baju di gudang,” tukas cowok berpakaian basket itu. Tak sengaja dia melihat banyak tisu berceceran. Tidak banyak bicara dia mengambil salah satunya. Mata Hana membulat, sontak merebut tisu dari tangan Jay dan mengumpulkan tisu-tisu lain dengan gelagapan.
Namun sangat disayangkan, Jay sudah lebih dulu memegang tisu itu. Jarinya sudah menyentuh tekstur basah dari tisu tersebut. Dan tentu saja dia mengenalnya.
“Lo....” Tatapan mata Jay menajam. Sedangkan Hana semakin memucat, dia mengeratkan kain yang menutupi dadanya agar tidak terjatuh.
Mereka saling tatap menatap dalam beberapa detik, sampai Hana merasa cukup lelah dengan situasi. Dengan wajah penuh permohonan Hana melontarkan satu kalimat.
“Gue mau pake baju, gue mohon lo keluar, ya?”
“Berapa bulan?” Dia malah bertanya hal tak masuk akal.
“B-berapa bulan apanya?”
“Anak lo, usianya berapa bulan?”
Hana membatu, menjadi gagap, sesak napas lalu membatu lagi. Terlalu membuatnya kaget luar biasa.
Perhatian Hana tercuri pada seragam di lengannya. Basah lagi! Itu artinya air susunya keluar lagi!
“Netes.”
Lagi dan lagi Hana dibuat sesak napas. Pasalnya cowok itu dengan sangat gampang menunjuk lantai dimana asi Hana bercucuran. Benar-benar memalukan! Bahkan Hana tidak tahu mau diletak dimana lagi wajahnya.
“G-gue mohon, lo keluar dari sini.”
Dia bergeming, fokus menatap lantai yang meneteskan banyak air. Kemudian bergumam lirih. “Haus.”
H-haus?
Harusnya dia keluar untuk membeli minum, nyatanya dia masih berdiri di pijakan tanpa bergerak sedikit pun. Hana kalang kabut, dia tidak bisa keluar dengan kondisi tidak memakai baju, dia juga tidak bisa mengenakannya di sini. Lantas, apa yang bisa dia lakukan?!
“Haus,” katanya lagi, kali ini berjalan mendekati Hana.
Pupil Hana membesar. “L-lo mau ngapain?”
“Gue laper,” tegas cowok itu.
“K-kalau laper ke kantin! Ngapain deket-deket, ha!” Hana berniat kabur, namun tangannya lebih dulu dicegat dan tubuhnya dihempaskan ke dinding. Ada rasa ngilu karena pinggangnya menubruk besi baja, tapi perhatiannya kembali tertuju pada cowok berwajah tajam di hadapannya. Hana mengeratkan seragam yang menutupi dadanya. “G-gue mohon jangan.” Perlahan Hana menangis. Seluruh tubuhnya berguncang hebat.
Pada saat itu Jay menghentikan langkah untuk mendekat.
“Jangan apa-apain gue, gue nggak bersalah apa pun.” Hana meringkuk jatuh, menangis terisak dengan bahu bergetar.
Perlu beberapa menit gudang diisi oleh tangisan Hana, sampai Jay menghela napas berat kemudian pergi begitu saja meninggalkan dirinya.
Di saat itulah Hana menghentikan tangis. Mendengar derap kaki mulai menjauh, buru-buru Hana memakai bra, tanktop dan juga seragamnya yang sudah basah total. Tidak apa, yang penting dia sudah menggunakan pakaian lagi.
°°°

Komento sa Aklat (208)

  • avatar
    Herman

    memang terbaik

    8d

      0
  • avatar
    PaysaIbrahim

    mantap

    12d

      0
  • avatar
    MuchayyaKinasti

    bagus banget ceritanya

    23/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata