logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Tentang Ursulanda

Tentang Ursulanda

alif Prasetyo


[ Bagian 1 : Distrik 2 ]

Sudah lebih dari 150 tahun sejak gelombang besar manusia menggempur kekuasaan lama, membakar panji-panji mereka yang terpancang di seluruh wilayah kolonial lalu memulai segalanya dari awal.
Sang Pahlawan telah membawa kedamaian dan kemerdekaan untuk jutaan warga yang tertindas, menghancurkan tali pengekang berupa hukum diskriminitas rasis yang memperbudak orang-orang pendatang dalam topeng wilayah suaka. Sudah sangat lama sejak perang kolonial baru pasca bencana gempa besar, negeri ini telah mencapai kedamaian, keteraturan dan kesejahteraan.
Hari ini, pertengahan bulan Agustus, tinggal beberapa hari lagi kami akan merayakan hari dimana pemerintahan baru bangkit, hari dimana para budak dibebaskan dan mendapat suaka yang sebenarnya.
Satu hari dimana aku menanyakan makna kehidupan ini di atas ranjang, sambil mendengarkan pekikan nyaring dari speaker-speaker besar yang terpajang di tiang-tiang listrik. Menusuk ke telinga setiap orang dan menjadi pemantik jiwa dan raga mereka segera bersiap.
Mungkin, sudah tidak ada lagi orang yang berharap pada masa yang mungkin, hanya sekedar utopis. Harapan itu yang memberi semangat, harapan itu yang dahulu mampu membangkitkanku dari tidur, harapan itu yang  aku sari dari hymne yang tidak pernah absen mengalun tiap pagi, mengingatkan siapapun akan janji kesejahteraan, akan rasa syukur pada dunia yang damai. Tanpa lagi perang, tanpa lagi bencana besar.
Mungkin, kami sedang ada di era kejayaan dan kesejahteraan itu. Kami mungkin sedang membangun seluruh tanah ini guna mencapai keadaan yang lebih baik. Setiap pagi, yah setiap pagi dalam lima kali seminggu, aku menyakinkan diri akan pemikiran ini. Bahwa apa yang sedang terjadi hari ini, adalah jalan untuk mencapai cita-cita kesejahteraan tersebut. Meski mungkin, akan dibutuhkan waktu hingga 150 tahun lagi untuk mencapainya, ini lebih baik daripada mengutuk keadaan dan mencoba melawan, atau akan membuat semuanya menjadi runyam dan terjadilah kekacauan. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu di negeri seberang, hanya akan menyisahkan kekacauan dan anarki tak berkesudahan.
Melawan hanya akan menciptakan kekacauan yang lain, maka menjalani apa yang ada sesuai dengan peran adalah jalan terbaik. Itu adalah kalimat dari seorang kawan lama yang selalu aku patrikan dalam ingatan sejak ia mengatakannya beberapa minggu lalu, yang memupuk rasa percayaku lagi pada pemerintah, Dewan Distrik, dan Dunia yang selalu melawan kehendakku.
Karenanya, berkat kalimat itu, perlahan-lahan arah pikiranku mulai berubah. Harapan akan masa yang dijanjikan itu semakin besar dan membesar. Itu akhirnya merubah pemikiranku akan dunia, akan masa depan negeri ini. Harapan itu pula yang membawaku ke sini, meninggalkan kehidupan lamaku di wilayah pemukiman tenggara. Kehidupan yang dulu selalu aku sesalkan. Bahkan sekarang aku tak lagi ingat dengan jelas bagaimana suasana disana meski baru beberapa bulan yang lalu kami pergi.
Dengan sedikit senyuman yang selalu aku paksa melengkung di bibir, aku akan siap menghadapai hari.
Pagi ini, satu hari di pertengahan Agustus, aku segera bersiap untuk menjalankan peranku. Buruh Pabrik Protein Padat di kawasan Industri Distrik 2 di negeri yang dibebaskan, Agni
***
Setiap pagi dalam lima hari setiap minggunya, ada siklus rutin yang jarang kami lewatkan. Akan ada pemandangan kumpulan laki-laki berseragam biru tua yang mengerumuni sebuah kedai kecil yang sekali pandang mata melihat, jelas sekali hanya menopang tak lebih sepuluh orang. Lagi pula kursi-kursi besi itu selalu dingin, jarang terlihat orang yang duduk untuk menghabiskan kopi mereka atau mengobrol hangat. Para pengunjung kebanyakan adalah Buruh pabrik protein padat yang mampir untuk membeli satu cangkir kopi, lalu  bergegas pergi menuju peron trem terdekat sambil membawa kopi sintetis mereka.
Meskipun secara rasa nyaris hambar dan aroma kopinya seakan-akan hanya pelengkap. Namun orang-orang di distrik 2, terutama para pekerja buruh selalu menyisihkan waktu untuk mampir ke kedai ini dan membeli kopi. Ini bukan ketidaksengajaan, agaknya semua orang setuju jika makan seonggok protein padat di pagi hari adalah permulaan yang buruk. Karena dipastikan lambungmu akan menolak makanan aneh itu. Mereka yang sering mengalami masalah karena protein padat, lebih memilik kopi ini sebagai alternatif. Sehingga munculah jargon yang cukup populer, Hal terbaik untuk memulai waktu pagimu adalah secangkir kopi pojok.
Sebagai salah satu dari mereka, mau tidak mau aku tergoda untuk melakukan hal yang sama. Seperti sekarang ini, aku sudah menenteng satu cangkir penuh kopi yang masih berasap dan agak hambar saat diminum. Sambil menyesapnya perlahan agar efek hangatnya meresap ke tubuh, aku berjalan agak cepat ke arah peron Trem terdekat, menunggu satu-satunya kendaraan umum yang menghubungkan kami dengan semua distrik.
Ada dua belokan yang harus aku lalui untuk bisa sampai kesana, akan tetapi perjalananku sedikit tersendat. Jalanan aspal lama yang biasa aku lewati mendadak ramai oleh kendaraan bongkar muat. Banyak orang berpakaian serba kuning berkeliaran disekitarnya, tampak sibuk membuyarkan isi truk dan menggeletakkannya di tepi jalan, lengkap dengan tumpukkan tongkat besi ramping yang bergemelontang ketika dijatuhkan.
Merasa ada sesuatu yang menarik, aku alihkan fokusku sejenak ke tumpukan itu. Saat mereka mulai menyusun silinder-silinder besi tersebut, aku segera sadar benda itu adalah tiang bendera. Tumpukan kain berwarna kuning yang menyertainya itu adalah bendera Agni, yang secara cepat segera berganti fungsi menjadi bendera parade. Para petugas ini segera memasangnya dan nampak menghiasi jalanan.
Jika saja tidak memperhatikan para pekerja itu, aku mungkin akan lupa bahwa besok adalah perayaan terpenting di Agni. Hari dimana seluruh penduduk distrik akan berkumpul seharian di pusat distrik, menyambut kedatangan presiden membacakan pidatonya. Hari yang secara resmi di sebut Hari Mada.
Mada, Sang Pahlawan Revolusi. Begitulah mereka menyebutnya. Itu terjadi hampir 130 tahun lalu. Masa-masa terkelam bagi tanah ini sebelum Agni berdiri dua tahun setelahnya. Itu adalah masa dimana Pemerintahan rasis digulingkan oleh orang-orang pemberani yang dikumpulkan Sang Mada. Itulah era kemenangan, dan kejadian itu diabadikan diseluruh distrik dalam bentuk alun-alun kota dan patung Mada yang menatap kelangit, sebagai salah satu cara untuk menghormatinya setiap satu tahun sekali akan perjuangannya memimpin kaum Revolusonis. Ia membawa harapan dan kesejahteraan, yang sekirnya masih diperjuangkan hingga hari ini. Atau aku boleh mengatakannya. Itu tidak pernah terasa.
Sistem distrik memaksa kami untuk hidup di bawah konsep Masyarakat Produktif, sebuah haluan dasar yang secara teoritikal memiliki makna bagus sebagai upaya untuk membangun Agni lebih baik. Itu adalah seperangkat ide,aturan dan motivasi bagi seluruh elemen masyarakat untuk berjuang bersama-sama membangun negeri ini lewat pengabdian dalam menyokong Industri untuk beroperasi. Demi tercapainya kesejahteraan Agni dan Semangat utopis mereka. Seribu tahun kejayaan Agni.
Ada satu hal yang harus kami patuhi dalam Konsep Masyarakat Produktif, satu garis besar dari semua poin-poin penting itu adalah : Kau tidak boleh terlihat malas, lemas dan selalu datang bekerja tepat waktu, atau dirimu akan tamat dan digantikan oleh orang lain. Tamat dalam artian ini, kau akan menerima surat Keputusan Pemecatan dan uang pesangon selama dua bulan. Setelah itu, hidupmu hanya akan di topang bantuan pemerintah berupa Protein Padat. Meski itu bentuk kemurahan Pemerintah dalam membantu masyarakat, Protein Padat adalah makanan pokok yang akan aku makan jika benar-benar tidak ada satupun yang bisa dimakan. Benda berbentuk kotak, bertekstur kenyal dan berwarna hitam kusam itu bagiku hanya cadangan disaat benar-benar tidak ada yang bisa dimakan. Aku lebih mengandalkan makanan sintetis yang bisa dibeli di waralaba berijin khusus, meskipun untuk bisa mendapatkannya mengandalkan keberuntungan.
Ancaman pemerintah akan pemecatan dan keterbuangan tidak hanya disampaikan secara tersurat dalam butir-butir Masyarakat Produktif. Tapi secara halus dengan munculnya rekrutan muda yang baru saja lulus dari Sekolah Distrik ( begitulah kami menyebutnya, meski nama sebenarnya adalah Sekolah Terintegrasi Distrik, tapi yah mari kita persingkat saja istilahnya ) menjadi peringatan bahwa akan ada karyawan lama yang diistirahatkan. Mungkin inilah alasan mengapa para senior pekerja yang sebagian besar rambutnya memutih tersungut-sungut wajahnya pagi ini. Tak terkecuali kawan baikku, Mochtar.
Sejak aku tiba di Peron Trem ini, wajahnya mendadak jadi sama buruknya dengan segala sesuatu yang ada di Peron ini. Wajahnya yang gelap dan bergelambir itu menatap ke arah lain, begitupun dengan beberapa golongan senior yang juga memfokus pandang ke arah yang sama. Setelah aku memastikan apa yang mereka lihat, bukan mengarah pada interior Peron yang bobrok, atau penunjuk hologram yang sudah tidak jelas lagi, atau kumpulan orang yang bercakap-cakap tentang sesuatu mengenai bola dan kehidupan sehari-hari, mereka yang duduk menyesap kopi dan tak pernah terlihat benar-benar menikmatinya, tapi menatap lurus pada sesosok berseragam biru lain yang duduk memisah dari yang lain, dengan wajah mulus nyaris tanpa baret maupun luka dan segar. Aku paham maksud tatapan itu, yah, itulah si ancaman tersirat.
" Ini penghinaan! Orang-orang ber-heli itu mulai memperkerjakan anak-anak?" Mochtar bermuka masam, dia remuk wadah kopi tersebut sebagai pelampiasan dan membuangnya ke belakang kursi.
Orang-orang yang dimaksud oleh Mochtar itu adalah para Supervisi Pabrik. Mereka tinggal di kawasan elit dan super mewah bernama Librium; ibukota dan pusat bisnis di Agni. Mereka adalah kaum paling berpengaruh di Agni, sekaligus paling mentereng dalam hal pakaian. Maka dari itu, muncullah istilah Kaum Perlente, begitulah kami menyebut mereka. orang-orang dengan kehidupan yang hanya bisa kami angankan. Mereka yang mempunyai seluruh pabrik di distrik, mereka yang mempunyai segala perkembangan teknologi, mereka juga yang memberi kami kesempatan untuk bisa tetap hidup di era yang disebut-sebut sebagai era damai. Mungkin, menuju damai.
Mata Mochtar sudah tidak mengekor ke arah anak tersebut. Namun, dilihat dari sorot netra kecoklatan itu, ada kekhawatiran dalam sanubari mereka. Di istirahatkan adalah mimpi buruk bagi siapapun, bahkan bagiku juga. Hidup tanpa penghasilan tetap dan hanya makan dari jatah pemerintah sama sekali bukan hidup yang diinginkan siapapun. Tapi ancaman itu terus menerus mengancam hidup kami, Prinsip Masyarakat Produktif membuat umur pensiun menjadi bias, dan standar untuk menetapkan seseorang di pecat atau tidak dilihat dari kinerjanya selama bekerja di Pabrik, yang tentu saja tidak memperhatikan kondisi fisik para pekerjanya. Ini mungkin terdengar tidak adil, namun sistem ini juga memberi kami peluang untuk bekerja sampai batas maksimal yang kami miliki. Seperti prinsip dasar ekonomi, semakin banyak yang kau keluarkan, akan semakin banyak yang kau dapatkan.
Lalu, keputusan itu ada di tangan para Supervisi. Merekalah yang memegang kendali, dengan kuasa jari mereka, siaapun dapat dengan mudah dipecat hanya dengan manuver jari diatas papan kerja akrilik berkomputer. Saat ada salah satu wajah dan nama kami yang terpampang di layar pengumuman, itulah saatnya untuk berkemas dan mengucap selamat tinggal selamanya dengan Pabrik. Lalu,dimulailah fase hidup paling menderita,  atau kau akan melakukan beberapa tindakan ilegal untuk menyelamatkan kantongmu. Jika saja berani, lakukan. Jika tidak, lebih baik menerima nasib daripada berakhir dengan penghapusan.
Mata Mochtar menatap ke arahku, jelas menunjukkan raut yang membuatku iba. " Kau beruntung nak, masih muda, gagah dan penuh gairah untuk terus bekerja. Lihatlah aku, aku rasa hanya tinggal menunggu hari akhirnya namaku terpampang di pengumuman. Setelah itu, hidupku tidak ada artinya lagi kecuali sebagai kakek duda tua yang hidup sendirian hingga akhir hayatnya."
Aku tidak bisa melakukan apapun, kecuali memberinya dukungan moral. Mau bagaimanapun peraturan tetaplah peraturan. Itu selalu digaungkan, di layar-layar besar di puncak gedung. Layar-layar videotron analog yang terus berdengung setiap hari, setiap malam. Semua itu demi kesejahteraan dan kesetaraan yang dicita-citakan. Semua itu demi mimpi seribu tahun kejayaan Agni. sebagai salah satu masyarakat distrik, aku tidak bisa melakukan apapun kecuali mempercayai dan mengamini mimpi tersebut. Percaya pada apaapun yang telah mereka atur, termasuk ancaman diistirahatkan.
Aku duduk disampingnya, memberinya sedikit usapan di punggungnya saat dia mulai terisak. Meskipun tidak membuatnya semakin tenang, namun untunglah dia mulai menumpahkan kesedihannya sekarang, dengan mulai mengucapkan segala yang dia gundahkan. " Kau tahu kawan, aku sudah kesepian selama belasan tahun  sejak istriku meninggal. Bekerja di Pabrik ini merupakan satu-satunya yang bisa menyembuhkanku dari perasaan kesedihan mendalam. Aku takut jika ketika pensiun nanti, aku akan berada lama di dalam rumah, dan itu membuatku semakin mengingatnya. Aku butuh tempat lain untuk menghabiskan sisa hidupku. tempat apapun asalkan bukan rumah itu."
Mendengar kegundahan hati Mochtar, aku teringat dengan sebuah pengumuman pemerintah yang disiarkan di layar Videotron kemarin, mereka bilang bahwa akan ada rumah jompo bagi para pensiunan pabrik yang hidup sendiri. Tempat itu dibangun di tepi distrik, mereka bilang akan di resmikan pada upacara Hari Mada nanti. Ini akan menjadi berita bagus yang bisa membuat hati Mochtar kembali baik.
" Mochtar, mungkin kau tidak melihat berita pagi ini. tapi jelas sekali bahwa orang-orang tua tidak akan terlantar mulai dari sekarang. Mereka bilang akan ada panti jompo yang tahun ini mulai dioperasikan, dan akan dibuka perdana bersamaan dengan Perayaan Hari Mada. Jadi berbahagialah."
Ekspresi Mochtar berubah total, ada raut bahagia. Dan sekejap setelah mendengar itu, dia tiba-tiba memelukku, bukan! Lebih tepatnya memerasku hingga rasanya seluruh tulangku menyatu. Aku tak enak hati mengatakannya berhenti, jadi sebaiknya biarkan dia lega. Rasanya ikut bahagia melihat Kakek tua ini tersenyum dalam wajah keriputnya.
Tak hanya itu, setelah memberiku kejutan yang mneyakitkan itu. Dia tiba-tiba menyambar sisa kopi yang hendak aku minum. " Thanks, untuk kopinya, hehehe."
Percayalah, bukan sekali ini dia melakukan hal tersebut.
Kotak bergandeng yang kami tunggu itu akhirnya tiba. Seseorang duduk di depan, menjadi supir, seorang lelaki tua dengan janggut yang dipilin-pilin mirip tali pramuka, memasang wajah kegemukannya dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
" Semua masuk!" Teriaknya jauh dari ramah.
Berduyun-duyun, kami masuk ke dua gerbong terakhir, beberapa saling berdesak-desakan agar bisa mendapatkan tempat untuk duduk, aku cukup beruntung karena memiliki postur tubuh yang agak ramping sehingga bisa mudah menyesak diantara orang-orang. Gerbong-gerbong yang lain sudah dipenuhi oleh orang-orang dari kawasan distrik yang lain, sebagian besar mereka bekerja di zona distrik yang lain, sebagian besar dari distrik terdekat seperti distrik 3 maupun 4, yang mana keduanya merupakan wilayah untuk pabrik pengolahan tekstil, bahan daur ulang dan produk-produk dari bahan organik serta plastik daur ulang.
Jika saja ada kendaraan lain, maka aku dengan sepenuh hati aku akan menanggalkan Trem antar distrik sebagai daftar kendaraan.  Sayangnya, benda yang sudah cukup uzur ini satu-satunya kendaraan yang mampu membawa kami pergi kesetiap distrik dan juga pusat industri. Satu hal minus yang ada dalam kendaraan ini adalah, kursi yang keras dan kadang penuh dengan permen karet murahan dibawahnya, juga pahatan-pahatan jahil dari tangan-tangan kreatif yang membentuk tulisan di dinding dalam trem ini yang tidak dicat dengan baik. Bau jamur dan bensin serta keringat yang menjijikan menjadi suasana umum di dalam kendaraan ini.
Namun, satu hal yang membuatku sudi menaiki benda ini adalah—selain keterpaksaan karena tidak ada yang lain—pemandangan jalanan yang dihadirkan. Melalui kendaraan ini, dari balik kacanya yang kotor, aku bisa melihat sisa-sisa dari bangunan kuno yang berjajar rapi di sisi luar distrik, menunggu keruntuhannya, sisa-sisa dari bencana besar dan perang satu setengah abad silam, menjadi batas antara distrik dengan lingkungan pembuangan di sisi lainnya.
Terkadang, saat Trem melewati wilayah yang lebih tinggi, nampak dengan jelas dinding besar setinggi 75 meter yang membatasi Librium dengan distrik-distrik yang lain, gedung-gedung besar yang berkelip-kelip dan juga asap pagi hari dari corong-corong pabrik yang tersapu angin.
Hal yang cukup dikenal dari Librium adalah keterhamburan, keduniaan dan kecanggihan dan kemajuan teknologi, serta papan-papan Videotron holo yang menampilkan slogan-slogan pemerintahan Agni, ketercapaian poduksi bulan ini dan motivasi untuk terus bekerja dan menjadi produktif. Serta terkadang video singkat dari presiden yang memberikan pidato semangat, keberuntungan politik, dan hal-hal formal lainnya. Mengumbar ratusan kalimat penuh retorika dan kepalsuan. Yup, siapa yang dapat mempercayai senyuman orang Librium kecuali kau sedang dimanfaatkan? Begitulah, orang dahulu menyebut ini Sistem kapitalis.

Komento sa Aklat (32)

  • avatar
    Mikey Tauman

    well baguss

    11/08

      0
  • avatar
    YuniYunita

    bagus

    24/05

      0
  • avatar
    SahatiOlot

    senang

    12/10

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata