logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

7. Hari Penyitaan

Setelah kejadian tadi sore, malam ini aku bersiap menagih hutang kue pada orang-orang yang tadi ikut memojokkanku dan Mama. Iya, aku tidak main-main dengan perkataanku. Sebenarnya Mama sudah melarang, tapi pantang bagiku hanya gertak sambal. Biarkan mereka tahu bagaimana seorang Hilma jika sudah bertindak.
"Hil, jangan pakai kekerasan, Mama nggak suka," pesan Mama.
"Oke, Ma. Kecuali terpaksa," sahutku nyengir sambil berlalu.
Setelah dihitung total hampir delapan rumah yang kudatangi. Ada banyak drama, ada yang marah-marah ada juga yang memasang tampang memelas minta dikasihani. Tapi akhirnya semua berhasil, bagaimana tidak, kalau aku mengancam akan menyita barang kesayangan mereka jika tidak bayar malam ini juga. Ha ha ha …. 
Sambil bersenandung riang, aku mampir ke warung Mpok Iyah. Akhir-akhir ini aku sudah jarang mampir. 
"Kak Hilma!" Sorak anak-anak dengan kompak begitu melihatku menghentikan motor di depan warung. 
"Halo … Yok, kita jajan. Bebas mau jajan apa aja, tapi tertib ya, nggak rebutan," pesanku pada mereka yang sontak menyerbu warung Mpok Iyah.
"Udah lama nggak mampir, Hil?" sapa Mpok Iyah, sambil meladeni pesanan para bocah.
"Iya, Mpok. Biasalah, akhir bulan, kerjaan numpuk he he …." kekehku, mencomot tahu bunting kesukaanku.
"Beneran jadian sama Jonas, Hil?" tanyanya menggoda.
Uhuuk! Kuraih satu cup air mineral dan menyesapnya hingga separuh. "Apaan sih, Mpok. Siapa bilang?" 
"Jonas. Seneng banget tuh dia, Hil," Mpok Iyah tergelak melihat aku yang salah tingkah.
"Ember banget itu laki. Nih duit jajan mereka, Mpok. Kalau ada kembalian simpen aja dulu, kalau kurang berarti  ngutang," aku terkikik meninggalkan Mpok Iyah yang masih dikerumuni anak-anak.
***
Sesampainya di toko aku dikagetkan dengan sekotak bubur ayam di meja kerjaku. Tak ada nama pengirim.
"Bang, punya siapa ini?" tanyaku pada Bang Jaya sambil menunjuk box bubur ayam.
"Punya kamu, dari ayang bebeb. Tadi dia nganter ke sini." Bang Jaya tergelak saat mengatakan ayang bebeb.
"Haaiissh! Tuh orang kenapa pakai acara ginian, sih? Kayak bocah aja." Meski demikian tetap kubuka tutup box bubur ayam, aromanya sungguh menggoda. 
"Itu namanya dia care, Hilma. Kelamaan jomblo, sih, jadi sudah bedain romantis apa childish," ejek Bang Jaya. Hanya kubalas dengan cengiran.
"Oh iya, Hilma, tetangga kamu yang nunggak itu belum bayar sampai jam segini. Kalau sampai jam 15:00 WIB masih belum bayar, penyitaan kila lakukan sore ini juga. Gimana? Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Bang. Lanjut aja, kita juga sudah kirim SP, kan," jawabku.
"Oke, lanjut kerjanya kalau gitu. Bubur ayamnya jangan cuma ditonton, kalau nggak mau buat Abang aja." Bang Jaya tergelak sambil berlari kecil meninggalkanku.
Jonas. Kuambil ponsel, lalu mengirim pesan padanya.
[Thanks bubur ayamnya 😊]
Send. 
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, aku melempar Lia dengan tutup pena.
"Apa?" tanyanya dengan pandangan fokus pada layar komputer.
"Gimana tetanggaku? Udah bayar?" 
"Belum, nih. Kayaknya memang harus disita, mau gimana lagi." Lia mengedikkan bahunya.
"Ya udah, kita juga udah kirim SP. Aku hanya nggak bisa bayangin gimana malunya mereka kalau dilihat warga kampung Gaduh. Sebenarnya kasihan, tapi mereka itu nyebelin banget. Bikin ilfil." Kusandarkan tubuhku pada sandaran kursi, menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti.
"Hilma, Lia. Kalian ikut Roni ke lapangan, ya. Nanti ditemenin sama yang lain juga. Mengingat barangnya besar dan berat." Titah Bang Jaya pada kami.
"Oke, Bang." Kompak aku dan Lia menjawab.
Aku dan Lia mengendarai motor masing-masing, sedangkan Roni dan yang lain menaiki mobil bak milik toko. Sepertinya alam memang sedang tidak berpihak pada Bu Dahlia dan Hesti, tak jauh dari muka rumahnya terdapat segerombolan Ibu-ibu kampung Gaduh yang sedang menikmati somay keliling. Begitu rombongan kami berhenti di depan rumah Bu Dahlia, spontan semua menoleh. Beberapa di antaranya membawa piring somay mendekati kami.
"Kenapa, Hil?" Mulutnya penuh somay ketika bertanya.
"Nggak apa-apa, Bu. Hilma cuma nemenin temen-temen ke sini," jawabku nyengir melihat serpihan cabe terselip diantara gigi si Ibu.
"Kok rame-rame? Ada apa?" tanya Ibu satunya lagi.
"He he … Nggak apa-apa, kami masuk dulu ya, Bu-ibu," pamitku dengan langkah seribu memasuki halaman rumah Bu Dahlia yang gerbangnya memang tak pernah dikunci kalau siang hari.
"Assalamu'alaikum …." Tok! Tok! Tok!
Tak ada jawaban, hanya ada suara bisik-bisik tak jelas dari dalam.
"Permisi." Lia kembali mengetok-ngetok pintu rumah Bu Dahlia.
Hening. Sekilas aku melihat gorden ruang tamu sedikit tersingkap. Kuberi kode pada Lia.
"Ron, nggak ada orang kayaknya. Sayang banget, ya, padahal kita mau kasih hadiah. Berarti hadiahnya kita kasih ke customer lain aja." Lia menimang-nimang amplop coklat di tangannya.
"Eh, jangan!" Tiba-tiba Bu Dahlia dengan secepat kilat membuka pintu dan menyambar amplop di tangan Lia.
"Oh, ada orangnya, kirain nggak ada," cibir Roni kesal.
"Ada kalau buat hadiah. Ini isinya apa? Cek, ya?" Dengan tergesa Bu Dahlia merobek sudut amplop, lalu membaca isi surat jalan tim di dalamnya.
"Kurang ajar! Kalian ngerjain saya, hah?" Bu Dahlia meremas surat tersebut lalu melemparnya pada Roni hingga membuatnya sedikit oleng karena terkejut. "Kalian denger, ya, nggak ada yang boleh ambil barang di rumah saya meski sebiji sendok pun. Paham?!" Bola mata Bu Dahlia laksana mau lepas dari tempurungnya, sambil berkacak pinggang ia menunjuk-nunjuk tim dengan suara menggelegar. Sontak saja suaranya itu mengundang kumpulan Ibu-ibu di depan ikut masuk ke halaman rumahnya. Dan dia semakin gelagapan dengan situasi tersebut.
"Bu, tenang. Kami tidak ada niat mau mengambil barang Ibu, apa lagi sendok Ibu. Kami cuma mau ngambil barang-barang kriditan Ibu yang nunggak sudah dua bulan." Penjelasan Lia mengundang kasak-kusuk dari Ibu-ibu yang ternyata sudah merangsek hingga di belakangku.
Wajah Bu Dahlia memerah mendengar penjelasan Lia yang detail itu, entah karena marah atau malu, bisa jadi juga karena keduanya. "Kan, saya sudah bilang, bulan depan saya bayar langsung tiga bulan?" Masih dengan berkacak pinggang ia mengacungkan tiga jarinya yang dipenuhi cincin-cincin yang kali ini warnanya sudah kembali kuning cerah.
"Tidak bisa, Bu. Sudah aturannya begitu, kami juga sudah memperingati Ibu sampai dua kali sebelum ini. Kami hanya menjalankan perintah dari atasan, mohon kerjasamanya, Bu." Roni angkat suara.
"Nggak bisa! Kalau kalian nekad, saya bakalan panggil polisi ke sini. Adik saya pejabat polisi, jangan macam-macam kalian!" Tunjuknya pada kami semua.
"Bukannya adik Ibu itu Mang Kahar yang jualan somay itu ya, Bu? Ibu cuma dua saudara, kan?" Ups! Aku keceplosan. Wahh, alamat ini.
"Heh, bocah si*lan! Jangan banyak bacot kalau nggak bisa bantu. Kamu suka, kan, liar saya begini? Licik kamu, Hilma!" Rautnya semakin beringas, hendak menarik rambutku.
Spontan Roni menangkap tangan Bu Dahlia. "Jangan pakai kekerasan, Bu! Kami sudah mencoba bersabar dari pertama kami ke sini. Kalau Ibu masih bersikeras menolak, artinya Ibu melawan hukum dan harus siap dengan konsekuensinya. Ibu sudah tandatangan di atas materai, artinya jika Ibu melanggar Ibu siap masuk penjara." 
Sambil menarik tanggannya, Bu Dahlia kembali mencoba bernego. Tetapi, ini sudah ketentuan toko, mau tidak mau, suka tidak suka, barang harus ditarik, kecuali Bu Dahlia membayar tunggakannya saat ini juga. Perlahan ia mundur dan terduduk pasrah di kursi terasnya.
"Bro, ayo! Sudah sore ini, takut kemalaman." Roni mulai melepaskan sepatunya, begitupun yang lain. "Silahkan kosongkan isi lemari dan ranjangnya, Bu. Kalau kami yang kosongkan pasti berantakan." Bu Dahlia bergeming.
Roni dan tim memasuki rumah Bu Dahlia, selang beberapa saat terdengar suara cempreng Hesti.
"Apa-apaan ini? Ibu! Apa ini? Kenapa barangnya bisa disita? Ibu masih belum bayar tunggakannya?" Hesti berlari ke luar rumah, menghampiri sang Ibu yang sedang memijit pelipisnya.
"Ibu nggak punya duit buat bayar cicilannya, udah nggak usah cerewet. Pakai aja yang lama di kamar belakang," sahut sang Ibu.
"Nggak! Aku nngak mau! Hei, Mas, stop di situ, jangan berani masuk kamar saya." Hesti menunjuk tim yang sepertinya hendak memasuki kamarnya. "Berapa tunggakan Ibu saya?" Dengan pongah Hesti bertanya pada Lia.
"Ini, Mbak," sahut Lia menyodorkan surat tunggakan Ibunya.
"Tunggu. Saya yang akan bayar, saya ambil ponsel dulu." Bu Dahlia bergegas menyusul Hesti masuk ke dalam rumah, tim yang tadi sudah masuk pun ke luar.
"Hesti. Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Nak? Ibu aja nggak punya, gimana kamu bisa punya?" cecar Bu Dahlia yang suaranya terdengar sampai ke depan. 
"Aduh! Nggak usah cerewet deh, Bu, yang penting barang kita nggak disita. Ibu nggak perlu tau duitnya dari mana, atau Ibu mau jadi bahan gunjingan warga kampung Gaduh karena barang-barang Ibu disita sebab nggak bisa bayar?" Hesti menjawab dengan ketus. Lalu mengutak-atik ponselnya.
Bu Dahlia terdiam, memang akan jadi petaka jika barang-barangnya benar-benar disita. Seseorang yang katanya kaya dan istri dari pemegang proyek-proyek besar (katanya) nunggak bayar cicilan kridit. Duh!
"Sudah, ya. Sekarang silahkan pulang." Hesti menunjukkan bukti transfer di ponselnya sembari mengusir kami.
"Baik. Lain kali jangan telat lagi, biar kejadian ini tidak terulang. Permisi." Kami berbalik meninggalkan rumah Bu Dahlia.
Aku terkejut melihat warga yang ternyata sudah semakin banyak. Memang luar biasa warga kampung Gaduh ini, di mana ada kehebohan di sana mereka berkumpul.
"Heh, kalian! Bubar sana! Tontonannya udah kelar, sana-sana, huusstt!" Hesti mengusir warga yang menonton dengan tangannya, persis seperti Mama kalau mengusir ayam yang kadang eek di teras rumah.
"Huuuuu …." Koor warga kompak.
"Hilma! Tunggu!" Hesti memanggilku, aku berbalik. "Kamu pasti kecewa karena usaha untuk mempermalukan kami gatot, gagal total. Iya, kan?" ejeknya bersedekap.
"Hah? Kok, mikirnya sampe sejauh itu," jawabku tak terima.
"Halah! Udahlah, Hil. Kamu pasti sengaja, kan, nggak mau bantu kasih tenggang waktu? Biar barangnya beneran kena sita." 
Aku memutar bola mata dengan malas. "Terserah kamu, deh. Di sini tu aku cuma kerja sesuai SOP toko. Lama-lama jadi males berurusan sama orang yang bawaannya suudzon kayak kamu. Bye." Kutinggalkan Hesti yang terdengar menghentakkan kakinya dengan kesal.
Blaamm! Suara pintu dibanting dengan keras.
"Hestiiii! Sekali lagi kamu banting pintu, Ibu hajar kamu!" Terdengar lengkingan Bu Dahlia dari dalam rumahnya.

Komento sa Aklat (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    1h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    5d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    16d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata