logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

6. Fitnah Kejam

Keesokan harinya, sesampainya di toko aku menyampaikan amanah Bu Dahlia. Tetapi karena sudah prosedur toko demikian, permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi. Penarikan barang Bu Dahlia akan tetap dilaksanakan sesuai hari yang disepakati pada saat akad kridit.
Pulang dari toko, aku mampir ke rumah Bu Dahlia untuk mengantar surat peringatan terakhir sebelum penyitaan barang dilakukan. Tampak rumah sedang ramai, sepertinya sedang arisan. Terdengar suara gaduh membicarakan arisan bulan depan yang merupakan giliran Bu Erni, tetangga sebelah rumahku.
Baru selangkah kakiku menginjak teras, tanduk sudah muncul di kepalaku. Apa-apaan ini? Jadi, ini yang dilakukan Ibu-Ibu kalau sedang arisan. Ghibah.
Kupelankan langkahku lalu duduk di kursi teras arah pintu masuk, mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
Entah bermula dari mana, tiba-tiba namaku dan Mama disebut-sebut.
"Si Hilma?" Terdengar suara seseorang memastikan pada teman bicaranya, entah suara siapa, aku tidak kenal.
"Iya. Kan, anaknya cuma satu itu." Nah, ini suara Bu Dahlia.
"Jangan fitnah, Bu. Kalau nggak punya bukti, bisa-bisa masuk penjara," sahut suara lainnya.
"Sekarang coba Ibu-Ibu bayangkan, semenjak pindah ke sini, apa pernah suami Ratna ada di rumah? Nggak, kan? Seorang istri simpanan aja, suaminya pasti sesekali ada. Nah, ini? Artinya, kan, dia itu nggak punya suami. Dia punya anak tapi nggak punya suami." Kembali terdengar suara Bu Dahlia menebar umpan ghibah.
"Tapi, Neti pernah liat Hilma posting foto buku nikah Bu Ratna sama akta lahirnya kok, Bu." Oh, jadi lawan bicara Bu Dahlia itu Mbak Neti. 
"Halah! Zaman sekarang apa yang nggak bisa diada-adain, asal punya duit semua bisa." Sewot Bu Dahlia menjawab.
"Ngomong-ngomong Bu Dahlia kenapa, sih? Kayaknya benci banget sama Bu Ratna dan anaknya. Padahal saya lihat mereka nggak pernah usil sama Bu Dahlia." Seseorang terdengar kontra dengan aksi tebar umpan Bu Dahlia.
"Heh, Bu Erni! Saya itu bukan benci, hanya nggak suka. Asal Ibu tahu, mereka itu sok. Itu si Ratna mentang-mentang bisa senam, dia ambil lapak saya. Modal bahenol aja dia itu, atau jangan-jangan memang bener ada main sama Pak Lurah, makanya setiap ada acara dia terus yang dipanggil." Sungut Bu Dahlia tak terima ada yang membela rivalnya.
"Iya juga, ya. Semenjak Bu Ratna terima orderan kue, pesanan ke saya juga jadi sepi. Apalagi hari-hari biasa gini, nggak ada pesanan sama sekali. Padahal dulu, kalau mau lebaran atau hari besar lainnya, saya sampai kewalahan melayani pesanan aneka kue." Bik Marni. Iya, itu suara Bik Marni, tukang nasi uduk di ujung jalan. Jadi, dia juga jualan kue, aku baru tahu.
"Nah, kan. Memang sok dia itu, semua lapak orang mau diambil. Padahal kue bikinan dia itu biasa aja, kemarin pas saya makan kacang bawang buatannya, weekkk … Biasa banget, nggak asin, keras, nggak enak sama sekali." Aku mengepalkan tangan dengan kesal, nggak enak tapi satu toples habis dimakan sendiri. Munafik!
"Nggak boleh gitu. Rezeki sudah ada yang ngatur Bu-Ibu, nggak akan salah nemuin tuannya itu duit." Bu Erni menengahi.
"Bu Erni bisa bilang gitu karena nggak ngerasain jadi kita. Ya, kan, Bu Dahlia?" Bik Marni meminta persetujuan teman sekutunya.
"Iya. Apalagi tetanggaan, pasti belain, lah!" Protes Bu Dahlia.
"Bukan gitu, saya ngomong apa adanya. Sebagai tetangga mereka juga baik, Hilma apa lagi, ramah sama orangtua, sayang sama anak kecil. Saya sering lihat dia bagi-bagi jajanan sama anak-anak kalau pulang kerja." Bela Bu Erni.
"Udahlah! Bu Erni nggak asyik," sungut Bik Marni. "Jadi dulu itu gimana ceritanya pas mereka datang ke kampung Gaduh ini, Bu?" Kata Bik Marni dengan suara teredam makanan di mulutnya.
"Dulu, rumah yang mereka huni itu milik seorang karyawan bank. Lama merk 'dijual' tertempel di depan rumah itu, nggak laku-laku, konon karena harganya yang lumayan mahal. Nah, suatu hari seorang laki-laki datang membuka rumah itu, kabarnya sudah laku. Selang beberapa hari mulailah renovasi dilakukan, padahal itu rumah sudah bagus, songong emang itu si Ratna dari awal. Setelah selesai direnovasi, sebuah keluarga pindah. Tetapi, tak pernah nampak laki-laki di rumah itu. Dari awal pindah sampai sekarang. Nah, wajar kalau tetangga di sini menganggap Hilma itu anak di luar nikah, kan? Kalau di luar nikah, anak apa namanya?" Gemuruh suara gumaman dan bisik-bisik menyambut berakhirnya bualan Bu Dahlia. 
"Bener juga, ya." 
"Iihh! Nggak nyangka Bu Ratna begitu ternyata."
"Hati-hati kita, nanti suami kita digodain sama dia."
"Dari mana bisa beli dan bikin rumah sebagus itu? Jangan-jangan dia simpanan Om-Om ya, kan."
Begitulah di antaranya sambutan demi sambutan terhadap bualan Bu Dahlia, mereka menjadi sibuk berasumsi tanpa konfirmasi terlebih dahulu. 
"Dan kalian tahu? Sekarang Hilma sedang dekat dengan Jonas, anak juragan kontrakan. Diam-diam matre juga itu anak. Padahal Jonas itu sukanya sama Hesti, tapi dipepet terus sama dia. Ya, namanya laki-laki, mana bisa nolak kalau dipepet terus ya, kan. Heran saya sama pola didik si Ratna, anak begitu dibiarkan saja." Kali ini omong kosong Bu Dahlia merembet kepadaku.
"Bukannya Jonas memang udah lama suka Hilma, ya? Dia itu kan suka nongkrong di warung Mpok Iyah. Suka kepo juga sama Mpok Iyah soal Hilma, kan, Hilma sering jajanin bocah-bocah di sana." Suara cempreng ini milik Mbak Ina, nggak salah lagi. Tetangga Mpok Iyah, yang anaknya sering aku jajanin kalau lagi ke sana.
"Iseng aja keless … Hilma aja yang ngelunjak, cuma basa-basi doang, eh langsung mau aja dianter kerja. Ckckck … Gadis zaman sekarang tu kenapa murahan banget, sih? Liat Hesti, tuh, jual mahal, dong. Saya ajarin gitu memang, biar nggak murahan sama laki-laki. Nggak Ibu, nggak anak, sama aja. Heran saya." Kukuku patah karena kepalan tanganku, sangat geram.
Brakk! Kutendang kursi teras dengan kencang hingga terpelanting ke luar. Sontak semua kaget dan berlarian ke luar rumah. Mereka yang tadi ikut menghujatku dan Mama seketika menampakkan raut tak enak, serba salah, dan takut, mungkin.
"Hilma, dari kapan kamu di sini?" Sambil memegang kedua sisi bajunya Bu Dahlia bertanya.
"Dari lama. Sampai saya hafal siapa saja yang tadi ikut ngatain saya dan Mama," sungutku. "Kenapa, sih, Bu? Nggak ada capeknya cari masalah sama kami? Kami ini sebenarnya salah apa? Saya sering diam bukan berarti takut, atau membenarkan tuduhan-tuduhan yang Ibu buat. Saya hanya nggak mau ikutan jadi kurang seons gara-gara ngeladenin Ibu." Kubuang nafas dengan kasar. Kalau dilihat dari jauh aku seperti anak tak diajar sopan-santun, marah-marah pada orang yang lebih tua. Diam pun, akan membuat mereka semakin leluasa.
Bu Dahlia seperti ingin membantah, tapi mulutnya hanya terbuka dan tertutup tanpa suara.
"Sabar, Hil. Istighfar …." Bu Erni menghampiriku, memudian mengelus-ngelus pundak dengan lembut.
"Sudah, Bu. Saya sudah berusaha sabar atas semua fitnahan mereka. Saya sampai bingung salah saya dan Mama itu di mana." Kuseka air mata yang perlahan mengalir dengan punggung tanganku.
"Bu Dahlia, sifat Ibu yang begini yang bikin saya males bantu Ibu. Udah mau dibantu aja masih dijelek-jelekin saya, nggak saya bantu nanti Ibu jelek-jelekin saya juga. Bingung saya ngadepin Ibu. Apa perlu saya bilang di sini, anak kesayangan Ibu itu di luaran seperti apa? Buka mata Ibu lebar-lebar, sekali-sekali ke luar rumah, ikutin kemana perginya anak Ibu. Jangan cuma bisanya ngomentarin anak orang." Bu Dahlia mendelik tak suka, jika sudah menyangkut anaknya aura galaknya ke luar.
"Ngomong apa kamu?! Jangan sembarangan kalau ngomong, Hesti itu anak baik-baik. Nggak mungkin macam-macam." Sungut Bu Dahlia.
"Saya bukan tipe orang asal ngomong kayak Ibu, kalau saya kasih liat buktinya di sini, saya nggak jamin Ibu masih bisa berdiri tegap di depan saya begini," cibirku dengan kesal.
"Sok kayak gini yang bikin saya nggak suka sama kamu, Hilma. Sok merasa benar, sok lebih hebat." Masih dengan bersungut-sungut Bu Dahlia mengambil kursi yang tadi kutendang.
"Saya bisa sok di depan Ibu karena saya memang benar, Bu. Kalau nggak percaya abis ini telepon anak Ibu, tanya ada di mana. Kalau dia bilang ada di kampus, fix Ibu udah dikadalin sama anak sendiri. Asal Ibu tahu, semenjak pandemi kampus meniadakan kuliah tatap muka, perkuliahan dilakukan secara daring, secara online, dari rumah. Catet itu." Aku cukup puas melihat perubahan pada wajah Bu Dahlia, karena aku tahu Hesti selalu berpamitan pergi kuliah setiap ke luar rumah. Sudah berkali-kali kukatakan, jangan cari masalah denganku, karena aku pun tak pernah ganggu orang lain lebih dulu.
"Sudahlah, mending kamu pulang sana! Ngapain juga mampir ke sini," usir Bu Dahlia.
"Nggak perlu ngusir, saya juga males ke sini kalau bukan karena nganter surat ini." Kukeluarkan surat dari toko, lalu kuletakkan di atas meja. "Tadinya saya berniat membujuk Bos saya, tapi tidak setelah melihat Ibu seperti ini. Semua tunggakan Ibu silahkan segera lunasi sebelum pukul 15:00 WIB besok, kalau nggak mau semua perabotan mewah Ibu besok sore ditarik. Nggak bisa bayangin, kan, Hesti tidur tanpa ranjang, pakaiannya berserakan, tamu-tamu lesehan." Skak! 
Wajah Bu Dahlia merah padam lantaran marah juga malu karena kedoknya kubongkar di depan orang banyak. Bisik-bisik anggota arisan pun mulai terdengar berisik.
"Oh iya, Ibu-Ibu yang tadi ikut ngata-ngatain saya dan Mama, silahkan lunasi hutang kue lebarannya nanti malam, ya. Kue udah lama abis, tapi duitnya belum keliatan hilalnya." Beberapa orang tampak saling sikut dengan wajah panik.
"Bu Dahlia, lain kali kalau suami Ibu bilang lagi ada proyek di pedalaman jangan langsung percaya. Masa saya yang cuma satu kampung bisa lebih tau dari Ibu selaku istrinya. Tadi, suami Ibu ke toko, belanja banyak banget. Tebak sama siapa? Sama istri barunya." Bola mata Bu Dahlia siap melompat mendengar bisikanku, perlahan ia berjalan mundur dan terduduk lemas di kursi terasnya.
"Saya pulang dulu ya, Bu-Ibu. Ingat nanti malam saya tagih hutangnya." Kukedipkan mata pada mereka yang diam-diam mencari masalah denganku.

Komento sa Aklat (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    3h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    5d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata