logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kembali Luluh

Aku hanya diam di sepanjang perjalanan. Tidak ku perdulikan percakapan mereka. Apapun yang mereka bahas meski aku penasaran sekalipun, aku tetap tidak menghiraukannya.
Amarahku belum lagi reda sejak tadi. Mereka juga tidak meminta maaf dengan benar. Di dalam kepalaku bertanya-tanya mengapa?
Apa aku harus terus memaafkan mereka dan mereka juga akan terus mengulangi hal yang sama? Apa yang sebenarnya sudah aku lewatkan?
“Put, kok diem aja? Dari tadi kita panggil-panggil, loh,” ucap Sinta.
“Eng..enggak apa-apa, kok. Cuma lagi males aja,” balasku.
“Lo masih marah sama kita?” tanya Banyu.
“Udahlah. Jangan marah lagi dong. Kita kan mau ke rumah Sinta, mau ngumpul senang-senang. Kalau lo marah kita semua jadi canggung,” ucap Ilda yang duduk di sampingku.
Kenapa aku seperti jadi pusat permasalahan? Apa aku tidak boleh marah?
“Iya tuh,” sahut Deri.
Aku hanya tersenyum tidak enak. Apa aku harus memaklumi perilaku mereka lagi seperti biasanya? Haruskah seperti itu?
Aku bingung, aku yang terlalu ego atau mereka yang tidak pengertian. Sepertinya aku butuh waktu untuk sendiri.
“Gue gak jadi ikut, ya? Sepertinya, gue harus sendiri dulu deh,” ucapku.
Banyu yang sedang menyetir langsung menepi. Aku pikir mereka benar-benar membiarkanku untuk pergi.
“Lo kenapa, sih?” tanya Banyu dengan nada kesal.
“Lo gak mikir?” tanyaku balik. Emosiku membara setelah Banyu kesal kepadaku.
“Oh, gara-gara tadi. Cuma karena Valdi?” Banyu tampak marah.
“Cuma karena?” Aku pun membalasnya dengan nada yang tidak kalah tinggi.
“Sudahlah guys, tolong jangan ribut lagi. Kita kan mau ke rumah gue. Kalau gini gue jadi gak enak, kan,” ucap Sinta menengahi adu mulut antara aku dan Banyu.
“Oke gini deh. Kita minta maaf mungkin sikap kita udah sangat keterlaluan. Kita janji tadi itu adalah terakhir kalinya,” sahut Deri.
“Bener, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya. Sekarang senyum dong.” Deri menyenggol lengan Banyu.
“Iya, iya. Ini yang terakhir kalinya,” ucap Banyu malas. Dia seperti terpaksa mengatakannya.
Deri memandangiku dengan tersenyum. Aku pun membalas senyuman itu dengan terpaksa
“Jadi, kita lanjut ke rumah Sinta gak, nih?” tanya Banyu.

Semua menatapku terkecuali Banyu. Mereka mengisyaratkan agar aku yang menjawabnya untuk memperbaiki hubungan diantara aku dan Banyu karena kami sudah seperti saudara.
“Iya, jadi,” ucapku setelah menjadi objek fokus mereka.
Diperjalanan aku kembali ceria sedikit demi sedikit. Kejadian tadi seperti biasa terlupakan olehku, dengan mudahnya aku tidak lagi mengungkitnya. Aku pun lupa mengabari Valdi yang langsung pergi tadi. Sejujurnya, aku pun sedikit kesal dengan Valdi.
(Di rumah Sinta)
"Valdi kenapa ya akhir-akhir ini jarang banget ikut sama kita? Kan seru kalo rame-rame. Ah kesel aku, kalian juga sih ngapain harus nongol setiap aku sama dia,” keluhku.
Aku tidak menyangka akan mengungkit masalah tadi tanpa amarah.
"Uluh tayang, jangan cemberut dong. Kan kita juga gak sengaja, mana tahu kalau kamu sama Valdi lagi ada di sana juga,” balas Siska yang sebenarnya aku pun tahu kalau mereka sengaja.
"Tapi Put, Ayah lo masih gak suka ya sama Valdi?" tanya Deri.
"Bukan gak suka, cuma Ayah memang menentang aku buat pacaran aja. Maunya aku tuh ta'aruf kalo cocok ya nikah, kalo gak ya udah. Tapi kalian tahu kan aku tuh gak percaya sama hal yang seperti itu. Bagiku, mengenal itu butuh waktu yang lama."
"Sabar ya Put. Tapi kita yakin Ayah kamu pasti punya alasan yang bagus. Gak ada orang tua yang mau anaknya sengsara,” ucap Ilda
"Tuh dengerin nasihat dari Ustadzah Ilda Anita,” ucap Banyu dengan penuh percaya diri. Meskipun masih sedikit canggung tapi aku dan Banyu sudah saling membalas ucapan.
"Banyu, kamu diam deh. Mending beliin kita makanan aja, kan dari semua orang di sini kamu yang udah gajian."
"Wei jangan gua aja, Deri juga dong." Banyu menarik tangan Deri tanpa persetujuan.
Mereka berdua akhirnya pergi membeli makanan. Biasanya, di akhir kami akan membayar tetapi selalu di tolak oleh Banyu dan Deri.
"Emang dasar ya Deri sama Banyu bisa aja bikin ketawa. Liat gak muka Deri yang pengen marah tapi gak bisa. Ngakak banget deh sumpah." Siska tertawa geli melihat sahabat laki-lakinya.
Ilda duduk di sampingku dan bertanya, "Jadi gimana kelanjutan hubungan kamu Put? Masih mau diem-dieman? Valdi gimana, ada tanggapan gak?"
Aku menghela nafas, "Hah, Valdi sih belum ada komentar apa-apa. Kalau aku sendiri masih pengen lanjutin dan ngeyakinin Ayah kalau Valdi bisa jadi imam yang baik buat aku nanti. Walau sekarang aku memang belum ada pikiran buat ke arah 'sana' sih."
"Aku bingung deh sama Ayah, kalau dengan Deri dan Banyu Ayah bersikap baik, tapi kenapa dengan Valdi jadi dingin banget. Padahal kan mereka laki-laki juga. Ayah gak pernah tuh ngelarang aku bergaul sama duo tiang itu, tapi Ayah marah banget kalau aku ketahuan jalan sama Valdi,” lanjutku.
"Udah ah gak usah dipikirin lagi. Kita puas-puasin main dulu aja sekarang,” ucap Siska. Aku hanya mengangguk.
"Tapi, kalian gimana sama Banyu dan Deri? Kan mereka ada rasa sama kalian."
"Put, tolong deh. Kita kan temen aja,” ucap Sinta.
"Iya Put, jangan godain kita lagi deh,” timpal Ilda.
Melihat pipi mereka yang memerah aku semakin yakin mendukung kapal Ilda Deri dan kapal Siska Banyu. Aku menantikan kapan bisa melihat kapal ini berlayar.
Setelah tertawa dan bercanda bersama mereka, aku merasa ada yang kurang. Ada seseorang yang tidak bicara dengan tajam yang kadang membuat kami sadar mulutnya lebih pedas dari cabe. Pikiranku tiba-tiba teralihkan karena sejak tadi tidak melihat Anggi. Terakhir aku melihat Anggi di mobil tadi dan dia kelihatan pucat. Akupun bertanya kepada mereka.
"Guys, Anggi kemana, sih?" tanyaku.
"Tadi katanya ke toilet. Tunggu aja,” jawab Sinta.
“Toilet? Lama amat. Rasa dari tadi yang gak ada komentar apapun itu Anggi, ya. Dia kenapa? Lagi PMS, kah? Atau lagi sakit? Tadi, pucat banget sih wajahnya,” tanyaku. Pantas saja aku merasa ada yang kurang. ‘Si mulut cabe’ tidak ikut nimbrung bersama kami. He he, itu gelar untuk Anggi dari kami.
Aneh bukan jika seseorang yang begitu ceria tiba-tiba menjadi sosok yang sangat pendiam dan hampir tidak pernah terlibat percakapan? Aku berpikir, mungkinkah Anggi punya masalah? Atau bisa saja di sedang tidak enak badan.
Terdengar suara teriakan dari luar, "Pesanan datang."
Seketika lamunanku terbuyarkan.
"Yuhuuuu, masuk mas,” jawab Sinta.
Terlihat duo tiang masuk membawa makanan. Duo tiang sebutan kami untuk Banyu dan Deri karena mereka sangat tinggi. Aku saja yang sudah setinggi 167 cm masih setinggi bahu mereka.
“Sepertinya orang gila tadi lebih tinggi daripada Banyu dan Deri,” batinku.
Astaga! Apa yang aku pikirkan. Aku harus membuang jauh-jauh pikiran mengenai orang itu.
"Wah kebetulan Anggi udah selesai. Sini!” ucap Ilda.
"Guys, aku pulang dulu ya. Lagi sibuk nih di resto,” ucap Anggi .
Kami juga tidak bisa melarang. Anggi adalah anak seorang pengusaha dibidang kuliner. Mereka mempunyai restoran yang sangat terkenal. Jadi, wajar jika kadang mereka kewalahan saat banyak pembeli. Anggi juga sering kali izin pulang seperti ini kepada kami. Kami pun memaklumi itu.
"Ya udah deh, hati-hati ya. Salam sama om dan tante."
"Apa hanya aku yang merasa Anggi sedikit berbeda. Ada hal yang seperti dia sembunyikan, ah semoga cuma perasaan aku aja. Akan tetapi, beberapa hari ini dia kok menghindar ya dari kami terutama dari aku. Hari ini bahkan dia tidak pernah menatapku. Astaga! Jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk. Gak baik putri,” batinku.
Aku berusaha untuk berpikiran positif tapi tadi sepertinya aku melihat sesuatu.
“Hei, jangan melamun entar kesambet!” ucap Ilda.
Aku tersenyum dan akhirnya satu mangkuk bakso berada tepat di hadapanku dan meminta untuk segera disantap. Kami saling menatap dengan garpu dan sendok di tangan.
"Are you ready guys?"
"Ready."
"Go!!!"
Satu mangkuk bakso selesai dilahap.
Bersambung...

Komento sa Aklat (176)

  • avatar
    Wulann1Lintang

    sip

    30/07

      0
  • avatar
    ZaidiAinaa

    BESTTTTTT!!!

    11/07

      0
  • avatar
    NyllNyl

    konyol

    10/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata