logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Accident Membawa Berkah

Accident Membawa Berkah

Mommy Dee


Chapter 1 Jam Kosong

Suara riuh terdengar jelas dari kelas 12 IPS 3. Hampir satu setengah jam mereka menunggu guru yang mengajar, tetapi tidak kunjung datang. Mungkin para guru merasa lelah karena mengajar di kelas yang muridnya berperilaku Alhamdulillah. Ya, Alhamdulillah membuat naik darah. Seperti halnya saat ini, bukannya belajar atau menghafal karena takada seorang guru. Mereka malah asyik bercanda, bernyanyi, dan mengadakan kuis. Bukan, bukan mereka yang memulai kebisingan itu, karena takada yang berani melakukannya kecuali kelima gadis remaja ini.
Siapa yang berani memarahi atau membentak mereka? Tidak ada. Karena salah satu dari kelima gadis itu merupakan anak kesayangan dari salah satu donatur di sekolah tersebut. Tidak ada yang boleh menyentuh ataupun menyakiti anak kesayangan sang donatur, karena kalian akan berhadapan langsung dengan keluarga besarnya.
Gadis itu adalah Dayina Alaya Baharsyah. Dia sedang duduk bersama ketiga temannya—Sundari Zein, Kimma Radan Al-Zhaemar, dan Renata Aurellia Hendarto—sambil menatap ke arah depan. Di sana, Rindi Asyari Melik—sahabat Dayina juga—tengah berteriak untuk mengajak teman-temannya bermain kuis dengan hadiah uang sebesar lima ribu rupiah.
“Woy, gue punya dua soal buat tebak-tebakan, yang bisa jawab gue kasih duit satu orang lima ribu!” teriak Rindi dengan suara yang menggelegar di dalam kelas.
“Misqueen banget, sih, lo. Masa ngasih duit goceng buat satu orang,” ejek Kimma sambil memakan keripik kentang yang tidak ada habisnya. Bagaimana tidak? Dia setiap hari menyetok di dalam tas punggung yang selalu dibawanya ke mana pun terutama sekolah.
“Ah, bacot kau, Ferguso!” sahut Rindi dengan sinis.
“Dasar sahabat lucknut!” balas Kimma dengan lantang.
“Untung gue bukan sahabatnya,” ucap Rindi tak mau kalah.
Sebelum Kimma membalas ucapannya, Rindi terlebih dulu mengalihkan pandangan. Dia langsung memulai acara kuis yang sempat tertunda.
“Artis, artis apa yang suka buangin duit?!" tanya Rindi dengan lantang,  membuat semua temannya langsung berpikir tentang jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Pasalnya, bagi mereka uang lima ribu rupiah itu sangat besar. Lumayan bisa untuk membeli cilok.
“Buset, itu artisnya baek banget, Rin. Kasih tahu gue siapa orangnya,” pinta seorang siswa bernama Cavin.
“Ah, Caplin. Kurang asem lo, diem!” pekik Rindi dengan kesal.
“Kalau kurang asem berarti gue manis dong, Rin?” tanya Cavin pada Rindi.
Rindi mendengkus sebal. “Iyain, aja dah.”
“Kuis pertama gugur karena ada kendala. Lanjut kuis kedua,” papar Rindi, “artis, artis apa yang nggak pernah sakit?”
Cavin bertepuk tangan, lalu berteriak, “Woah, keren banget tuh artis! Gue harus bagi resepnya, di mana alamat artis itu, Rin?!”
“Ah, dasar Caplang bego! Mati aja sana, anjim! Kesel gue!”
Rindi mengentak-entakkan kakinya tanda kesal, lalu kembali duduk di kursi kesayangannya. Mood-nya langsung turun drastis gara-gara orang lemot seperti Cavin. Renata menghampiri gadis itu, kemudian duduk di kursi sebelahnya.
“Ceritanya lo ngambek?” tanya Renata.
“Kagak, gue lagi adzan. Ya kali adzan, ya ngambeklah. Si Caplang sialan, nggak bermutu banget, sih, hidupnya. Udah tahu gue lagi kuis, kuis! Malah tanya soal artisnya. Ah, kesel! Lama-lama gue keluarin jurus kian santang biar nyaho.”
“Kian nyangsang kali,” celetuk Dayina.
Rindi menatap tajam ke arah Dayina yang sedang mengemut lollipop kesukaannya. “Diem lo gadis lemot, nggak usah ngomong. Orang lemot kayak lo nggak boleh ngomong walau cuma sebait.”
“Ya udah, ah. Mending Day ke kantin, bye,” ucap Dayina seraya beranjak dari duduknya meninggalkan keempat gadis yang terdiam di tempat duduk mereka.
Rindi langsung berdiri dan menghampiri Dayina, lalu merangkul bahu gadis itu. “Eh, Day. Lo lupa ya? Kita ‘kan sahabat, jangan ke kantin sendirian dong, mentang-mentang jomblo.”
“Alah, bilang aja pengen ditraktir.” Dayina memutar bola matanya dengan malas.
Rindi bersama Renata, Kimma, dan Sundari mengulas senyum semanis mungkin yang pasti membuat Dayina mengerti. Iya, mengerti tentang jiwa-jiwa miskin keempat sahabatnya itu.
***
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, membuat kelima gadis yang sudah dua jam berada di kantin langsung beranjak. Mereka merasa bosan dengan apa yang dilakukan sedari tadi, membuat ide di dalam otak Rindi seketika muncul.
Dia mengusulkan untuk bolos dan pergi refreshing ke tempat-tempat yang banyak cogan—cowok ganteng—membuat keempat gadis itu langsung menyetujui usul dari Rindi. Kelimanya bergegas masuk ke dalam kelas untuk mengambil tas mereka. Setelah itu, mereka berjalan perlahan-lahan sambil melihat ke arah kanan dan kiri, takut ada yang melihat.
“Kita naik taksi, Rin?” tanya Sundari.
Rindi mendengkus sebal mendengar pertanyaan yang menurutnya tidak masuk akal. “Ya iyalah, lo kira kita mau naik apa? Naik mobil? Mobil siapa coba?”
“Ya, kirain naik jet pribadi gituh,” sahut Sundari dengan santai.
Rindi menoyor kepala Sundari. “Halumu berlebihan, Nak.”
“Tahu, nih, Si Selat. Halu banget ke sekolah pakai jet pribadi, kalau bisa mah udah Day bawa jet pribadi punya Daddy.”
“Lo jangan suka ngomong soal kepunyaan Om Angkasa dong, soalnya jiwa-jiwa kismin gue tersentil," papar Rindi.
Renata berdecak sebal. “Berisik! Coba supir taksinya ditelpon biar cepet sampe.”
“Bego dipelihara. Kalau gue tahu itu nomor telpon supirnya, udah gue telpon dari tadi! Ya kali, gue simpen nomor supir taksi.” Rindi kesal dengan pernyataan bodoh Renata.
Saat sedang asyik berdebat dengan mempersoalkan nomor supir taksi, tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depan mereka. Kelima gadis itu langsung terdiam dan menatap bingung ke arah taksi tersebut, hingga akhirnya mereka tersadar dan buru-buru masuk ke dalam taksi itu.
***
Kelima gadis remaja itu turun dari taksi setelah membayar tarif perjalanan. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Tempat yang akan mereka jadikan sebagai refreshing sekaligus media bolos.
“Orang mah refresh otak tuh ke kafe, pantai, atau bioskop. Lah, ini? Malah ke rumah sakit,” gerutu Dayina.
Rindi berdecak sebal. “Ini juga termasuk refresh otak, Day. Gue bakalan ketemu dogan.”
“Hah? Kelapa?”
“Itu dugan, geulis. Dogan tuh artinya dokter ganteng,” sahut Rindi yang berusaha sabar menghadapi kelemotan Dayina.
“Ayo, ikut gue.”
Rindi mengajak keempat sahabatnya untuk masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Mereka menuju ke receptionist untuk bertanya. “Mbak, Papi ada di ruangannya nggak?” tanya Rindi, membuat receptionist tersebut mengerutkan dahi bingung.
Kimma yang mendengar pertanyaan bodoh dari Rindi langsung menoyor kepala gadis itu karena kesal. “Kira-kira dong, Rind. Salam dulu, abis itu baru tanya. Dan tanyanya yang bener, lo kira bokap lo orang penting plus terkenal? Ya kali, langsung nanya keberadaannya, mana si Mbak tahu Papi lo yang mana? Secara kan lo belum pernah ke sini sambil gandeng bokap lo.”
Rindi langsung cengengesan tidak jelas. “Ups, sorry. I am poho, hampura atuh, hampura.”
“Untung bukan sahabat gue,” celetuk Dayina, membuat Rindi mendengkus sebal.
“Sorry, Mbak. Maksud saya, apa Dokter Daven Julian Melik ada di ruangannya?” tanya Rindi dengan senyum manisnya.
“Oh, Dokter Daven. Dia ada di ruangannya, Dek. Ada perlu apa, ya?” tanya wanita yang menjadi receptionst.
Rindi masih menampilkan senyum manisnya, lalu menjawab, “Saya anaknya, Mbak.”
“Iya, Dek. Lalu ada keperluan apa?"
"Mau ketemu aja, Mbak," jawab Rindi.
"Oh kalau begitu, silakan langsung ke ruangannya saja, Dek. Ruangan Dokter Daven ada di lantai empat, paling pojok dekat dengan ruangan Dokter Riza Arhan." Rindi menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Makasih, Mbak yang cantik.” Ucapan Rindi membuat sang receptionist tersebut tersipu malu.
Saat akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam lift, tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkah mereka. "Kalian ada si sini ternyata?” tanya sebuah suara.

Komento sa Aklat (69)

  • avatar
    CHANRIORIOCHAN

    bagus banget

    07/07

      0
  • avatar
    Diva

    saya suka cerita ini

    16/06

      0
  • avatar
    GegeRayy

    bagus

    15/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata