logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Lomba

"Coba lihat nanti sore, semoga ibu kamu kesini. Memang kalau sama Mbah kung tidak boleh?"
"Iya Mbah, semoga ibu datang. Aku juga rindu dengan ibu, beliau sudah seminggu kan Mbah nggak kesini,"
"Iya, ayah kamu kan kerja ibu juga kerja mungkin mereka capek makanya tidak ke sini, Mbah mau keluar dulu!" Hanya anggukan yang aku beri sebagai jawaban.
Terdengar bunyi suara motor berhenti di depan rumah. Segera aku lihat dan pastikan orang itu. Alhamdulillah terimakasih ya Allah yang datang benar ibu dan ayah. Setelah mereka duduk segera aku bersalaman dan mencium tangan mereka dengan takzim.
"Ibu aku kangen..." ucapku seraya ingin memeluk beliau.
"Apaan sih," jawab ibu dan mendorong tubuhku sampai aku hampir terjatuh. "Buatke minum buat ibu sama ayah!" perintah beliau dan segera aku berlalu untuk membuatkan mereka minuman.
"Silahkan Yah, Bu..." Ku letakkan dia gelas kopi dan teh beserta cemilan di meja.
"Makasih Rin," sahut Ayah Yogi mengambil gelas tadi dan meminumnya. "Wih... enak Rin, pas tidak manis dan tidak pahit. Pas di lidahku," tambah beliau.
"Halah... paling juga kopi sachetan mana bisa dia bikin kopi enak," sungut ibu tidak terima aku mendapat pujian.
"Jangan begitu sayang... kasihan Rina, sudah capek capek buat tapi kamu bilang gitu,"
Aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataan mereka. Ayah selalu terlihat manis dan baik kalau di rumah simbah tapi tidak jika di rumahnya. Sebenarnya hatiku seperti diiris belati saat ibu tidak menghargai usahaku. Entah harus bagaimana aku bisa membuat beliau senang dan bangga.
"Ibu.. besok di sekolahku ada lomba antara anak dan ayah. Boleh tidak besok aku ikut, dan ngajak ayah Yogi untuk menemaniku?" Aku bertanya pada ibu terlebih dahulu sebelum meminta langsung ke ayah sambungku.
"Pergi sama mbah kung kenapa? Ayah besok kerja, nggak ada waktu buat datang ke acara tidak penting seperti itu. Lagian Ayah Yogi kan bukan ayah kamu?"
Deg...
Tanpa berkata sepatah kata aku meninggalkan ibu dan pergi ke kamar. Ya, aku tak sanggup lagi menahan sakit dan sesak di dada. Air mata yang sedari tadi aku tahan kini mengalir tanpa henti.
Selama ayah dan ibu masih disini, aku mengunci diri di kamar. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi hatiku masih sakit. Sambil berlinang air mata aku mencoba untuk belajar dan mengerjakan tugas yang tadi di berikan oleh guru.
"Rin, mbah mau ke mushola dulu. Nanti kalau makan cari saja di tempat biasa!" pamit mbah Putri sebelum jamaah di mushola. Menjelang magrib ayah dan ibu baru pulang. Tentunya setelah mereka selesai makan.
Ku langkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil nasi dan juga lauk, setelah selesai shalat magrib.
"Yah, ikannya tinggal satu sayur juga tinggal sedikit. Nanti makan apa kalau ini aku makan?" ucap ku lirih setelah melihat sisa lauk setelah ayah dan ibu makan.
"Kenapa kok bengong?" tanyan mbah kung saat melihat aku hanya berdiri mematung, beliau juga sepertinya ingin makan.
"Tidak mbah, aku baru ambil nasi nanti makannya biar nasinya dingin dulu. Silahkan mbah kalau mau makan!"
Ku tinggalkan nasi yang baru saja aku ambil dan kembali ke kamar. Aku lanjutkan untuk belajar lagi. Setelah aku kira mbah kung selesai makan baru aku kembali ke dapur. Benar saja semua sudah habis, mbah Putri sepertinya juga sudah makan.
Ku siramkan sisa sayur, dan mengambil kerupuk sebagai teman untuk aku makan. Walau rasanya nafsu makanku hilang, tapi tetap aku memakannya. Ku bersih akan semua cucian piring kotor setelah selesai makan.
"Rin.. bagaimana tadi? Sudah bilang ke ibumu? Ayahmu bisa?"
"Ayah sibuk Mbah, tidak apa-apa besok aku tidak usah ikut. Aku tidak ingin merepotkan beliau,"
"Memang ada apa?" tanya Mbah kung, sambil fokus nonton TV.
"Besok ada lomba di sekolah mbah, tapi harus sama ayah," jawab mbah Putri.
"Sama mbah kung saja! Mau?"
"Tidak apa-apa mbah, nanti mbah capek lagi. Aku tidak usah ikut saja," Ku tolak tawaran mbah kung.
Selesai menonton TV, aku kembali ke kamar untuk istirahat. Selain waktu sudah larut aku juga sudah sangat mengantuk.
***
Kukuruyuk.... Kukuruyuk.... Kukuruyuk....
Suara kokok ayam terdengar bersahut sahutan, suara adzan subuh juga sudah terdengar dari tadi. Lekas aku bangun sebelum mbah kung berteriak sebagai alarm.
"Pagi mbah..." sapaku pada mbah Putri yang sedang memasak.
"Cucu mbah sudah bangun, gimana tidurnya sayang? Nyeyak?"
"Nyeyak mbah, aku subuhan dulu ya mbah..." Beliau mengangguk sebagai jawaban.
Selesai shalat subuh, lekas aku membersihkan rumah. Dan belajar sebentar sebelum mandi dan bersiap sekolah. Melihat aku yang sudah bangun Mbah kung tidak berkomentar.
"Mbah aku pamit ke sekolah dulu, assalamualaikum," pamit ku ke mbah kung dan mba Putri seraya mencium tangan mereka dengan takzim.
"Iya hati-hati. Waalaikumsalam," jawab mereka bersama.
Ku ambil sepeda dan mulai menggoes sepeda menuju sekolah. Setelah menempuh perjalan sekitar 15menit kini aku sudah sampai di gerbang sekolah. Di sana sudah banyak orang, terlihat mereka sedang asyik bercanda sama ayah mereka sambil menunggu acara di mulai.
"Mana ayahmu Rin?" tanya Keano cowok yang kemarin menghinaku.
"Ada,"
"Mana? Aku penasaran pengen lihat ayah mu. Paling juga kamu menghalu kan? Bilang punya ayah tapi aslinya tidak punya. Hahahahaha..."
"Terserah kamu!" ucap ku dan berlalu meninggalkan dia.
Kini semua peserta sudah siap, aku bersyukur karena tidak hanya aku yang tidak ikut. Ya, walaupun aku tidak mengikuti perlombaan itu tapi aku cukup terhibur dan menghilangkan sedikit luka hatiku.
Setelah lomba selesai aku segera pulang. Aku tak ingin dihina dan dicemooh sama Keano dan yang lainnya.
"Ayah, adakah sedikit rindu untukku? Ayah, aku kangen... Kapan engkau datang ke rumah nenek?" ucap ku dalam batin.
Tin... tin... tin....
"Woy... kalau naik sepeda itu jangan meleng. Sayang motorku kalau harus nabrak kamu!" ujar Keano yang mengagetkan ku. Hampir saja aku tertabrak motornya karena aku tidak fokus.
Greng... Greng... Greng...
Dia dengan sengaja memblayer motornya. Entah kenapa dia selalu saja mencari gara-gara dan mengejekku. Andai aku bisa memilih aku juga tidak mau dihina seperti ini.
"Aku kok motor kamu bagus, tapi tidak seperti itu juga kali," jawabku dan segera ku kayuh sepedaku meninggalkan dia.
"Nggak punya ayah... Nggak punya ayah... Nggak punya ayah..." ejek dia sepanjang jalan. Dia baru berhenti menghinaku ketik aku sudah membelokkan sepeda menuju jalan desa.
"Astaghfirullah... kuatkan aku ya Allah,"
Sesak di dada tak mampu aku tahan. Di tengah jalan aku berhenti dan menangis sampai puas. Baru setelah hati ini terasa lega baru aku lanjutkan untuk pulang.
"Jam segini baru pulang, darimana saja kamu?"

Komento sa Aklat (118)

  • avatar
    JoniWar

    bacaanya mantap

    7d

      0
  • avatar
    fikriansyah anggaraAngga

    cerita nya bagus

    21d

      0
  • avatar
    AmaliaYamizatul

    Bagus ceritanya kak

    23d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata