logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Sungguh Beruntung Memiliki Cindy?

Bab 4: Sungguh Beruntung Memiliki Cindy?
Disaat kebingungan terjadi, Cindy pun datang menghampiri kami.
"Ada apa Mas?"
Wanita itu seolah tahu bahwa suamiku, saat ini tengah kebingungan. Tentu saja, wajah Mas Dika yang tampan, sangat kentara jika dirinya tengah merasakan ketegangan di dalam benaknya.
"Anu, itu ... "
Mas Dika sungkan mengutarakan apa yang terjadi, karena sebelumnya aku sudah mewanti-wanti agar kami tidak selalu melibatkan Cindy.
"Ngomong aja, jangan sungkan Mas, kalau aku bisa bantu, aku bantuin kok."
Wah, perhatian sekali wanita yang bernama Cindy itu, terhadap suamiku, aku merasa heran dengan sikapnya, yang begitu sigap dalam pasang badan untuk membantu Mas Dika.
"Ibunya Mas Dika nelpon, dan saat ini ibu mertuaku sedang ada di depan bekas rumah kami."
Aku menjawab pertanyaan dari Cindy, karena Mas Dika terlihat enggan untuk menjawab.
Cindy mengerutkan keningnya.
"Terus Mas Dika jawab apa?"
Selidiknya, seolah ingin tahu segala hal, yang terjadi dengan Mas Dika.
"Entahlah kami harus gimana. Tapi, barusan ibu bilang, ibu minta dijemput,"
Aku kembali menjawab, karena Mas Dika yang ditanyain terlihat hanya kebingungan. Pun patuh pada permintaanku agar ia tak terlalu dekat dengan Cindy. Ku pinta saat mandi tadi.
"Minta dijemput? ya udah, kita jemput aja,"
Cindy lagi-lagi bersikap antusias pada masalah yang tengah dihadapi oleh Mas Dika, aku sebagai istrinya merasa terlangkahi.
Andai wanita itu tahu, betapa tak mudahnya ibu mertuaku untuk dibawa damai.
Mas Dika pun menoleh ke arahku, seolah sadar bahwa aku tak nyaman dengan sikap terlalu peduli dari teman dekatnya tersebut.
"Euuu ... "
Suamiku salah tingkah.
Cindy bangkit dari duduknya.
"Ayo Mas, nanti kalau ibu kamu nungguin kamu, ntar dia marah lho, karena merasa diabaikan sama kamu!"
Tanpa bertanya padaku, Cindy pun meraih tangan suamiku dengan setengah menyeret tubuhnya meninggalkan diriku yang tengah duduk di kursi meja makan, sedangkan Mas Dika hanya menolehku kebingungan.
Aku menatap tajam keduanya, menyaksikan bagaimana sikap Cindy yang terlalu ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Hatiku dibuatnya benar-benar ....
Dadaku memanas, hatiku kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh Cindy pada suamiku.
Memangnya, dia siapa?
Apa harus seperhatian itu pada masalah yang dialami oleh keluarga kecilku?
Dengan perasaan kesal berkecamuk dalam dada, kupaksakan mulut ini mengunyah makanan, bukan karena aku serakah atas makanan yang tersedia di meja makan. Namun karena tubuhku membutuhkan asupan nutrisi dan gizi yang harus diproduksi oleh tubuh lalu diambil saripatinya untuk ASI eksklusif bayiku.
Aku bisa saja marah pada keadaan, tapi bukan berarti harus mengabaikan kepentingan buah hatiku. Aku tak seegois itu.
***
Usai makan, tak lupa ku bereskan meja makan dengan bersih. Itu adalah bentuk tanggung jawabku. Meski mood dihati ini masih saja hancur tak karuan.
Selesai dengan tanggung jawabku, ku langkahkan kaki menuju kamarku.
Mumpung si bungsu masih terlelap, ku putuskan untuk membersihkan tubuh si cikal yang saat ini anteng dengan mainannya.
Beres dengan si cikal, beralih menuju si bungsu. Setelah selesai semuanya, aku pun tanpa sadar ikut mengantuk bersama kedua buah hatiku. Menemani keduanya ke alam mimpi.
***
Mataku terbuka perlahan, kala kudengar suara mesin mobil yang kuyakin terparkir tepat dihalaman rumah Cindy.
Dengan pikiran yang belum sepenuhnya terkumpul, ku langkahkan kaki menuju balkon. Melihat apa yang terjadi.
Mengejutkan, dari atas sini, bisa kulihat bagaimana kedekatan ibu mertuaku dengan Cindy. Keduanya nampak akrab dan penuh kehangatan.
Mataku menyipit dengan pemandangan yang tak sedap dipandang mata tersebut. Namun, aku tak punya hak untuk merasa tersisihkan. Karena sedari awal, aku dan ibu mertuaku tak pernah dekat.
Dengan perlahan aku pun mendekati mereka bertiga.
"Assalamualaikum Bu,"
Aku menyapa penuh santun pada wanita yang melahirkan suamiku tersebut.
"Waalaikumsalam,"
Ibu mertuaku menjawab sapaanku dengan ekspresi yang datar. Sudah biasa sih.
"Ibu gimana kabarnya?"
Tanyaku basa-basi, meski tanpa dijawab pun, sudah ku ketahui bagaimana keadaan ibu mertuaku saat ini. Sehat dan bugar. Itu yang terlihat.
"Baik."
Irit sekali ibu mertuaku menjawab. Lucunya lagi, dia tidak bertanya balik bagaimana kabarku.
Meski tanpa dipersilahkan, aku pun ikut duduk bersama mereka bertiga. Sesungguhnya aku juga bingung tema apa yang harus ku bicarakan sama mereka, karena ibu mertuaku sepertinya bad mood begitu melihatku, dan aku begitu sungkan melihatnya.
"Ibu mau makan apa, biar nanti Cindy yang masakin atau ibu mau masakan restoran atau ada masakan yang ibu inginkan? biar Cindy pesankan dan delivery order," wanita itu menawarkan makanan pada mertuaku.
Mataku menyipit, menyimak bagaimana perlakuan Cindy terhadap ibu mertuaku, aku merasa dia memposisikan dirinya seolah-olah dialah menantunya.
"Emangnya ibu boleh minta masakan sama Cindy?"
Wajah mertuaku begitu sumringah dengan tawaran yang diberikan oleh Cindy padanya.
Aku tersenyum tipis, bagaimana keduanya memperlihatkan keakraban, padahal keduanya baru saja saling mengenal, bukankah begitu.
"Boleh dong Bu, aku seneng lah bisa bantuin ibu. Anggap aja ini di rumah sendiri ya, jangan sungkan."
Begitu lihai Cindy dalam meraih perasaan mertuaku. Aku salut.
"Duh, Cindy tuh baik banget ya, ibu suka deh sama anak muda yang baik kayak Cindy. Udah cantik, ramah dan pengertian, tahu banget cara memperlakukan orang tua."
Mertuaku spontan memuji bagaimana sikap Cindy padanya, padahal dulu aku juga sering berkata demikian, meskipun jawaban dari ibu mertuaku selalu saja dingin. Berbeda responnya terhadap Cindy.
Dan hal yang mendasari semua itu adalah satu, karena aku adalah menantu miskin. Menantu yang tak bisa dibanggakan oleh ibu mertuaku kepada teman-teman arisannya.
Sebelum menikah pun, aku pernah mendengar penuturan ibu agar menikah dengan wanita yang mampu diandalkan untuk Mas Dika. Jika seandainya sewaktu-waktu suamiku terjatuh, isterinya lah yang akan menopang keterjatuhan Mas Dika. Begitu kata ibu.
Aku sadar akan hal itu. Aku memang tak dapat diandalkan seperti yang ibu harapkan. Namun, apa lagi yang bisa kulakukan pada takdir ini, selain menerima nasibku.
Nyatanya, sebaik apapun aku dahulu pada ibu mertuaku, aku tak pernah dianggap sebagai anak muda yang memperlakukan orang tua dengan baik. Ibu mertuaku justru selalu menganggap bahwa aku adalah perebut anaknya. Meskipun aku selalu mengalah padanya, berusaha menghargai. Meskipun pada akhirnya, tetap saja, kenyataan pahit tak bisa dielakan. Bahwa ibu mertuaku tak pernah menginginkan aku menjadi menantunya.
Dan aku sadar siapa diriku, aku hanya terlahir dari seorang wanita yang tak memiliki harta. Kabar yang terdengar, ayahku bahkan lari dengan wanita lain dengan anak bosnya. Lebih memilih wanita itu karena kekayaannya. Aku dan ibuku dicampakkan olehnya karena ibuku tidak ingin di poligami oleh ayahku. Sehingga ayahku meninggalkan kami berdua. Tragis memang.
"Wafa memang gitu, selalu saja banyak melamun kalau diajak bicara!"
Aku mengerjap, ketika suara mertuaku dengan lantang menyunting kekuranganku.
"Ada apa Mas?" tanyaku gelagapan.
Aku yang tengah melamun, ternyata mereka mengajakku bicara.
"Gak papa! kamu kok diajak bicara sama orang tua itu, yang fokus, biar nggak malu-maluin Mas,"
Mas Dika terlihat kesal, mungkin karena pikirnya aku sengaja tak menyahut ucapan mertuaku. Padahal, aku sungguh tengah hanyut dalam lamunanku.
"Udah nggak apa-apa. Mbak, kalau Mbak nggak bersedia biar aku aja yang masak buat ibu," sahut Cindy.
Mungkinkah ibu minta dimasakin olehku?
"Maaf, Wafa tadi kurang fokus Bu, kira-kira Ibu barusan minta apa sama Wafa?"
Aku menanyai perihal kebutuhan ibu mertuaku.
"Enggak apa-apa, katanya Cindy yang bersedia melakukannya untuk ibu."
Ibu mertuaku menolak bantuanku. Tapi, memang salahku, yang barusan terlalu hanyut dalam lamunanku.
"Ya sudah, kalau kalian nggak ada urusan sama aku, aku mau ke kamar dulu, mau lihat keadaan dede bayi sama si cikal,"
Aku pergi dari hadapan mereka, dengan perasaan yang sungguh tak nyaman.
Dan pamitku tak digubris oleh mereka. Bahkan mereka bertiga justru asyik ngobrol, seolah kehadiranku tak dianggap ada, sungguh aku semakin tak nyaman.
Malas-malasan ku langkahkan kaki menuju kamarku yang berada di lantai dua.
"Oh ya Bu, mau enggak, aku ajak jalan-jalan ke mall? aku udah lama enggak belanja, sekalian ibu belanja baju ya!"
Cindy menawari mertuaku berbelanja, orang yang mana, yang akan menolak dibelanjai?
"Serius Cindy mau ngajak ibu belanja?"
Terdengar suara ibu mertuaku begitu antusias menyahut ajakan dari Cindy.
"Iya dong Bu, masa Cindy bohong, anggap aja ini itu kenang-kenangan dari Cindy buat ibu, kenang-kenangan pertemuan kita," balasnya.
"Wah, Cindy emang baik ya, pasti beruntung banget lho wanita yang jadi mertuanya kamu," puji ibu mertuaku.
Langkahku seketika terhenti dengan ucapan mertuaku, apa maksudnya kata-kata itu?
Hanya karena aku menantu yang miskin, bukan berarti dirinya tak beruntung karena memilikiku. Toh selama ini pun aku tak pernah menyusahkan dirinya. Juga tak pernah memesan takdir terlahir dari kedua orang tua yang miskin.
"Coba aja kalau ibu dapat menantu yang baik kayak Cindy,"
Deg!
Jantungku berpacu cepat dengan ucapan mertuaku. Kata-katanya sungguh menghantam perasaanku sebagai menantunya. Meskipun kenyataannya, aku adalah bukan menantu idaman. Tapi, haruskah ia berkata demikian?

Komento sa Aklat (275)

  • avatar
    waaphrr

    they say , if you lose something, it will be replaced with something better . however, I never interested with new people . I just want her back to be completely mine . It's sucks to realize the fact that you either gonna be the girl that i married to or the story that i tell my son when he get his first heartbreak . deeply inside i regret we cannot continue our story , im sorry it was all my fault , i will always wait for the last chance but i know it wont happen , i miss you . I miss us .

    30/08/2023

      0
  • avatar
    SetiadiWandi

    wahh kerennn kakkk 👍👍 penuh dengan cerita menarik dan pelajaran yang di petik.

    30/06/2022

      8
  • avatar
    SuhuWisnu

    iya

    7d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata