logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

jejak rasa Mas Galih

Seminggu hidup sendiri di rumah ini membuatku berpikir tentang masa depanku, juga anak di dalam kandunganku.
Masihkah harus kupertahankan pernikahan ini jika memang nantinya Mas Galih nggak mau menceraikan Selly?
Terlebih, besok pagi Mas Galih mau membawa Selly ke rumah ini. Entah bagaimana aku harus menjalani kehidupan baru dengan madu di sisiku.
Aku jadi teringat ucapan ibu saat hendak berpulang keharibaan-Nya.
“Ret, ingat-ingat pesan ibu! Andai bakti pada suami tiada berarti lagi karena orang lain, bukan berarti kamu harus menyerah dan kalah. Perjuangankan hidupmu! Jika besok kamu ditaqdirkan punya anak, jagalah amanah dari Tuhanmu itu! Dia anak yang suci, tak ada alasan menyia-nyiakan kehadirannya.”
“Iya Buk, akan kuingat selalu pesan ibuk.”
Aku tak tahu mengapa ibu sampai berpesan seperti itu. Barangkali ibu tidak mau aku juga mengalami hal yang sama seperti ibu. Ya, ibu ditinggal ayah yang memilih istri muda yang lebih cantik dan kaya dari ibu.
Tin …tin !
Kudengar klakson mobil membuyarkan kenanganku pada ibu. Aku bergegas keluar. Aku terkejut ketika melihat mobil Mas Galih berada di depan gerbang. Ada juga satu mobil di belakangnya.
Aku bergegas membuka pintu gerbang yang kukunci sejak tadi malam.Tak lama kemudian dua mobil itu masuk ke teras depan rumah.
Pak Giman turun dari pintu depan. Lalu mengambil tiga kopor besar dari bagasi mobil sport besar warna silver itu. Aku menunggu Mas Galih keluar dari mobil sedan.
Hatiku berdebar ketika kulihat Selly bergelayutan manja di lengan Mas Galih.
Hatiku panas, tapi aku harus bisa tetap menahan rasa. Aku harus bisa menunjukkan kepada mereka aku tidak apa-apa. Aku juga punya sesuatu yang akan membuat mereka berdua berpikir ulang untuk pamer kemesraan di depan mataku.
“Assalamu’alaikum Mas. Katanya baru mau pulang besok?”
Aku langsung mencium punggung tangan kanannya. Selly langsung melepas gelayutan dari lengan Mas Galih.
“Kok diem aja mas?”
“Napa sih tanya-tanya, sesuka kami dong mau pulang kapan.”
Aku tetap diam tidak menanggapi omongan Selly yang mulai memancing emosi. Aku bergegas ingin masuk kamar saja. Namun, Mas Galih menahanku dengan ucapannya.
“E … Bentar Ret! Mas pikir kalian berdua harus saling mengenal dan beradaptasi satu dengan yang lain. Biar nanti kalo Mas tinggal kerja tak ada masalah atau salah paham.”
“Aku dah tahu namanya. Cukup kan?” ucapku dengan nada tinggi.
“ Tuh kan Mas? Apa Selly bilang. Mending kita tinggal di rumah mama aja.”
“Ret, rumah ini adalah rumah kita. Selly berhak tinggal di sini juga karena sekarang telah jadi istri Mas. Jadi Selly juga anggota keluarga kita. Mas harap, sebagai istri tua, kamu bisa lebih bijak dalam memahami Selly yang lebih muda.”
Jujur, kata-kata yang keluar dari mulut Mas Galih seperti pisau tajam, perih menyayat-nyayat perasaanku. Sepertinya bijak dan berdiri di tengah, tapi tetap saja itu menyinggung perasaanku. Istri tua? Bukankah Selly lebih tua dariku? Tanpa sepengetahuan Mas Galih aku sempat membaca blangko formulir pernikahan di mejanya.
“Udah, ya? Nggak usah diributkan hanya karena masalah belum terbiasa dan belum mengenal karakter satu dengan yang lain. Sekarang Mas lapar, siapa yang mau masak nasi goreng buat Mas?”
“Selly masih capek. Mas tahu sendiri kan kita tadi malam--?”
“Akan kubuatkan Mas.”
“Makasih, Ret.”
Aku bergegas ke dapur. Masih kudengar Selly berteriak-teriak kepada Pak Giman agar hati-hati membawa kado pernikahannya.
Memasak adalah kegemaranku. Namun, aku seakan tak rela harus masak untuk orang yang telah mulai menyakiti perasaanku. Aku harus bisa menjaga diri agar tidak mudah emosi. Jika aku terlalu agresif merespon sikap Selly, Mas Galih tentu akan menganggap akulah yang tidak mau menerima Selly.
Aku putuskan masak seperti biasa. Tak sedikit pun kukurangi atau kutambahi bumbunya. Usai matang, kusajikan di atas meja makan. Lalu aku pamit ke Mas Galih yang kebetulan hendak mandi ke kamar mandi.
“Uangnya masih ada kan, Ret?”
“Masih Mas. Masih cukup untuk belanja seminggu ke depan.”
‘Oh, ya udah. Belilah sayur kesukaan Mas ya?”
Aku hanya mengangguk pelan.
Aku keluar belanja jalan kaki. Pikirku sekalian untuk olahraga demi kesehatan janinku. Aku tidak malu pergi kemana-mana jalan meskipun tetangga sekompleks tahu Mas Galih adalah seorang direktur perusahaan perakitan mobil internasional.
Justru dengan sikapku, banyak ibu-ibu kompleks yang memuji kalau aku orang yang suka bersahaja. Memang dari kecil, aku dididik oleh ibu lebih mandiri daripada anak-anak yang lain. Itu karena ibu sendirian membesarkanku tanpa seorang ayah. Aku harus bisa mandiri berdiri di atas kaki sendiri.
Aku belanja di lapak milik tetangga kampung sebelah. Lapaknya berada di seberang jalan depan pintu gerbang kompleks.
“Mau belanja Buk? “ sapa Pak Kirno kepala keamanan kompleks yang sedang tugas jaga di depan gerbang.
“Iya, Pak. Mari?”
“Iya Buk. Bentar saya seberangkan.”
“Udah Pak, nggak usah! Jalannya masih sepi kok Pak.”
“Oh, ya Buk.”
Kompleks perumahan ini dijaga satpam 24 jam. Semua satpam di kompleks ini kebetulan dekat denganku. Tiap ada rejeki lebih yang diberikan oleh Mas Galih, tak lupa kuberikan juga kepada mereka. Saat usai belanja pun aku sering ngajak ngobrol dan memberi sedikit makanan ringan atau snack jajanan pasar.
Usai aku belanja, tak lupa kuberikan jajanan pasar ke pos keamanan. Kebetulan yang sedang duduk adalah Mas Doni.
“Makasih ya, Buk?”
“Iya, Mas.”
‘Pak Galih baru ada tamu ya?”
“E … iya Mas.”
“Tamu siapa?” tanya Pak Kirno yang baru datang setelah membuang sampah.
“Itu, adiknya yang dari luar negeri datang ke sini.”
“Siapa Mas Doni?” tanyaku penasaran.
“Adik iparnya Pak Galih, kan Buk?”
“Oh iya. Ya udah, mari Mas!”
Aku bergegas meninggalkan pos keamanan kompleks perumahan. Jadi selama ini Mas Galih mengenalkan Selly sebagai adik iparnya?
Aneh, kamu Mas.
*****
Ingin rasanya aku minta penjelasan ke Mas Galih. Tapi buat apa? Toh sekarang Selly telah resmi menjadi istrinya. Jujur hatiku tidak terima telah terjadi hubungan gelap antara Mas Galih dan Selly sebelum pernikahan itu terjadi. Rasanya sakit sekali dikhianati suami sendiri.
Mungkin suatu hari kamu akan merasakan apa yang kurasakan saat ini Mas. Hanya janin yang kukandung sekarang inilah yang menguatkan aku untuk terus mendampingiku bersama madu barumu.
Aku sengaja masuk rumah lewat pintu belakang. Aku sengaja menghindari ketemu Mas Galih dan Selly yang masih sibuk membuka kado pernikahan yang tidak begitu banyak. Kado itu mungkin berasal dari kerabat terdekat Mas Galih dan Selly. Setelah acara resepsi di gelar, mungkin ruang tamu akan penuh dengan kado-kado yang lain.
Aku masak sayur kangkung tumis kesukaan Mas Galih. Sebagai lauknya, kubelikan udang dan nugget ayam. Saat aku sedang menumis bumbu Mas Galih datang dan memelukku dari belakang. Bibirnya terus menjelajahi leherku yang jenjang.
Aku hanya diam tak merespon ungkapan sayang Mas Galih itu. Aku berusaha menepis gejolak dalam dada. Semakin kudiamkan, Mas Galih semakin meningkatkan aksinya.
“Mas, hentikan! Bisa gosong nanti bumbunya.”
Tetiba Mas Galih mematikan kompornya. Lalu dia membopongku. Aku pasrah ketika Mas Galih meminta jatahnya pagi ini. Di kamar lain, aku menuntaskan hasrat Mas Galih yang telah memuncak itu.
Ada perasaan damai dan lega usai permainan itu. Aku ingin tahu mengapa Mas Galih melakukannya padaku pagi ini. Bukankah tadi saat datang ke rumah katanya masih capek?
Aku membuang prasangka itu jauh-jauh. Aku nggak mau terbawa halusinasi terlalu jauh. Aku harus jadi istri yang tangguh, bukan istri yang lemah atau rapuh. Bukankah sekarang ada anak yang harus diperjuangkan?
Aku memakai bajuku yang terserak di lantai. Saat hendak keluar ke kamar. Tetiba tangan Mas Galih menahanku. Entah sejak kapan dia telah bangun dari tidurnya sesaat usai menafkahi batin.
“Makasih ya Ret,” ucap Mas Galih sambil terus memelukku erat dari belakang.
“Iya, Mas. Tolong lepaskan, aku mau masak buat makan siang nanti.”
“Oh, ya? Bagaimana kalo selesai masak Mas antar kamu ke dokter kandungan?”
Jujur mas. Aku terharu. Setelah pernikahan yang menyakitiku itu, kamu masih tetap perhatian padaku. Jangan buat hatiku terombang-ambing mas. Aku ingin membencimu, tapi nggak bisa.
“Loh kok diam?”
“E … nggak usah Mas. Kemarin aku udah periksa.”
“Terus hasilnya gimana?”
“Aku positif Mas. Kandunganku udah menginjak minggu keenam.”
“Alhamdulillah. Semoga nanti bayinya laki-laki. Biar ibuk nggak punya alasan lagi memaksaku punya keturunan dari rahim Selly. Aku lebih suka memiliki anak darimu, Ret.”
Aku agak terkejut dengan ucapan Mas Galih. Mungkinkah Mas Galih benar-benar menikahi Selly bukan atas dasar cinta?
Dia melakukan pernihakan itu hanya sebatas memenuhi permintaan ibunya? Ataukah itu hanya cara Mas Galih berusaha menghiburku saja?
“Nanti kalo dah mateng, Mas dibangunkan ya Ret? Mas mau lanjutin tidurnya.”
“Sebaiknya Mas tidur di kamarnya Selly. Nanti kalo dia nyari Mas gimana? Aku nggak mau ada keributan lagi dengannya.”
Kudengar Mas Galih mendesah panjang. Seakan berat dirinya untuk meninggalkan kamar ini. Kamar yang menjadi saksi perjalanan cinta kita berdua.
Mas Galih merapikan pakaiannya. Aku tak tega melihat baju kerahnya tidak rapi. Tanganku refleks merapikannya. Lalu sebuah ciuman mendarat hangat di keningku.
Aku segera menepisnya agar tidak berlanjut lagi. Mas Galih meninggalkanku jejak rasa yang sulit kumengerti.
*****

Komento sa Aklat (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata