logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Aku Pulang, Julian

Pulang, Julian
Januari meratapi langit, ia menengadah dengan senyum iba, miris pandangan matanya. Langit biru berbaur dengan awan putih. Januari tidak mau menangisi kepergian kedua orang tuanya yang baru saja dimandikan oleh ia dan adiknya juga beberapa warga setempat. Januari tidak mau sebagai seorang kakak, dirinya terlihat lemah oleh Julian, adik semata wayangnya. Meskipun Januari sakit dan sedih bukan main, keberadaan Julian setidaknya mampu membuat Januari tegar.
Sementara itu, Julian masih meratapi kepergian Ayah dan Ibu, remaja laki-laki empat belas tahun itu menangis di depan rumahnya. Julian tidak percaya jika kedua orang tuanya berpulang dalam waktu yang tidak jauh berbeda, hanya berselang enam jam dari kepergian sang ayah, sang ibu menyusul sebab serangan jantung. Julian meringkuk, duduk memeluk lututnya sambil menangis.
“Kita akan ke Jakarta, bersama.” Januari membelai rambut galing Julian yang kecokelatan. Perlahan pandangan mata Julian terangkat, remaja laki-laki itu menatap sendu.
Julian tercenung beberapa jenak. Ia belum sanggup meninggalkan tempat yang membesarkannya. Ia juga belum sanggup memikirkan dan membayangkan bagaimana ia di ibu kota kelak, menghadapi para tetangga baru, teman, dan hal-hal baru di sisinya. Julian kembali menundukkan kepalanya.
“Nanti aku carikan sekolah yang ada ekstrakurikuler gambarnya. Nanti aku carikan tempat latihan sepak takraw juga untukmu. Jangan khawatir, aku janji.”
“Aku takut, Mas.” Julian berujar dengan lirih.
“Takut apa? Kenapa takut? Kan, aku ada di sisimu. Sudah janji pula, kamu tahu sendiri, kan, kalau kakakmu ini tidak pernah ingkar janji?” tanya Januari dengan lembut sembari membelai rambut galing Julian.
“Aku takut nanti kalau pindah sekolah, dan bertemu teman baru. Aku takut di-bully,” rintih Julian sambil menatap gamang wajah Januari.
“Kamu tidak akan di-bully siapa pun. Kamu akan disanjung dan dikagumi oleh orang-orang sebab bakat gambar dan kemampuan juga keterampilan bermain sepak takrawmu.”
Julian memeluk tubuh Januari. Sejujurnya, Julian bukan hanya takut memikirkan calon teman-temannya kelak. Julian takut hidup di ibu kota yang katanya lebih kejam dari sosok ibu tiri. Iya, Julian percaya buktinya meski sudah bertahun lamanya Januari mengadu nasib di ibu kota, ia masih belum menemukan suksesnya. Malah banyak cerita tentang kegagalannya. Julian takut, ia takut Januari justru terbebani dengan kehadirannya. Apalagi biaya hidup dan makan di ibu kota terbilang mahal dan tinggi, sementara Januari hanya seorang pengamen. Berapalah penghasilan seorang pengamen sepertinya. Julian takut menyusahkan kakaknya sepanjang waktu dengan segala hal selalu ia ingin miliki. Julian takut jikalau Januari tidak sanggup.
***
Hari berlalu, prosesi pemakaman sore lalu cukup mengharukan. Tak disangka banyak orang yang turut datang membagikan perasaan bela sungkawa dan duka mereka pada Januari dan Julian. Tak sedikit yang memberi mereka santunan dan sebagainya. Suatu perasaan yang asing awalnya, tetapi ini jadi lekat dalam hati Januari. Sakit sekali rasanya kehilangan.
Malam ini, Januari dan Julian berkemas. Januari meminta Adam—sahabat karibnya saat jaman pendaftaran masuk perguruan tinggi dulu—untuk menjemput dari Purbalingga kembali ke Jakarta. Adam adalah salah satu sahabat terbaik Januari. Sama-sama merantau, memutuskan berhenti kuliah karena desakan kebutuhan yang harus terbagi-bagi dan sebagainya. Bedanya, Januari mengadu nasib lewat suara, Adam sendiri mengadu nasib lewat kemampuannya dalam mengolah kayu. Adam bekerja di sebuah industri mebel berbahan dasar kayu.
Januari merapikan seluruh isi rumahnya yang sudah tua, nyaris lapuk-lapuk dinding dan atapnya. Walaupun masih kokoh, sih.
“Mas, rumah ini mau dijual?” tanya Julian saat Januari tengah menatap lekat-lekat sertifikat tanah dari rumah yang ditinggalinya tersebut.
“Tidak. Akan dititipkan di tempat yang aman. Biar nanti saat aku punya uang, rumahnya bisa direnovasi lagi dan bisa kamu tinggali bersama anak dan istrimu kelak,” jawab Januari dengan santun.
“Mas, kapan Mas jadi bintang? Ayah sama Ibu tidak keburu menyaksikan kesuksesannya Mas. Nanti, apa Julian bisa menyaksikan Mas jadi bintang?”
Januari ditampar sana-sini oleh pertanyaan sekaligus pernyataan menohok seorang Julian. Iya, Januari ingat ia pamit pada orang-orang rumah adalah untuk kuliah. Sayangnya, ia tidak mendapat predikat cumlaude sebab tidak terus kuliah. Lalu, pamit lagi untuk ikut audisi ajang pencaharian bakat menyanyi. Sayangnya, ia tidak dapat panggung dan mikrofon sebab tidak terus lolos dari meja juri. Januari ingat betul bagaimana kedua orang tuanya juga Julian berharap betul pada nasibnya. Memiliki paras tampan nan rupawan, harusnya membuat Januari dapat jatah masuk TV lebih banyak dari orang-orang yang hanya modal cuap-cuap tidak karuan. Toh, bakatnya juga tidak bisa dianggap remeh. Januari kerap menang kompetisi nyanyi di sekolah, saat menjadi pengamen kerap menang festival musik jalanan. Hanya kurang satu, penilaian juri masih menjadi intisari yang harus digali lebih dalam lagi.
“Suatu saat nanti, saat Tuhan mengizinkan dengan segala jalannya. Aku pasti membahagiakanmu,” balas Januari ringkas.
Keduanya beristirahat, berbaring di atas ranjang berkaki kayu berselimutkan sisa kesedihan. Tampak Julian terlelap lebih dahulu. Januari diam-diam turun dari ranjang, ia berkeliling ke belakang rumah. Ia dulu sempat mengubur sesuatu di belakang dekat sumur. Januari ingin memastikan, apakah benda itu masih ada ataukah ada yang iseng menggalinya.
Berjalan Januari ke dekat sumur, laki-laki itu berjongkok lalu menggali tanah dengan arit kecil di tangannya. Terasa ujung arit bersentuhan dengan benda nyaring yang membuat bibir Januari terangkat. Tenyata botol kaca miliknya masih terkubur di bawah tanah. Januari lekas menggali lebih dalam dengan tangannya setelah menggemburkan tanah dengan arit tersebut. Tangan Januari menggapai botol kaca di bawah tangan dengan sekuat tenaga. Beberapa saat setelah berkutat dengan galiannya, botol hijau berisi sejumlah kertas berhasil dirinya angkat dari tanah.
Januari menitikan air matanya.
“Harusnya, aku tidak perlu kubur uang ini, Bu. Harusnya dulu langsung saja aku berikan pada Ibu untuk membeli apa yang Ibu mau,” ucap Januari sembari menangis tersedu-sedu.
Januari ingat hari itu saat di sekolah saat SMP dulu, tepatnya saat Januari kelas 3, digelar acara kontes nyanyi lagu nasional di acara peringatan Kemerdekaan 17 Agustus. Menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka”, Januari mendapat hadiah juara utama kategori pemenang laki-laki terbaik satu sekolah, berdampingan dengan Seloka, kategori pemenang perempuan, siswi paling cantik di sekolah, ia juga dikenal sebagai soprano tim paduan suara. Meraih uang tunai sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah.
Januari berniat menabung uangnya dahulu sebelum dibelikan kalung emas untuk Ibu seharga tiga ratus enam puluh ribuan per gram saat itu, juga membelikan sepeda ontel untuk Ayah sebagai alat transportasi dari rumah ke pabrik tahu dan tempe milik Pak Antoro Wiguna. Sayangnya, sampai saat ini, Januari tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan. Bukan tidak ingat, Januari sibuk belajar juga sibuk membantu kekurangan tenaga yang ada. Bukan tak sempat menabung, untuk makan saja kadang susah.
“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku Ayah. Andai saja saat itu aku berpikir lebih kritis, berpikir lebih realistis. Bukan mengedepankan nafsu ingin terlihat keren di hadapan kalian.” Tangis Januari semakin menjadi-jadi. Laki-laki itu terduduk di tanah sambil memegangi botol kaca tersebut.
Julian yang lelap tidak menyadari kepergian sang kakak dari ranjang. Remaja itu mendengkur keras, nyaris seperti tidak ada kesedihan di wajahnya bahkan ketika tidur pun ia baik-baik saja.
Januari berpesan pada Julian di pemakaman siang lalu.
“Jul, kamu jangan sedih, ya? Ibu sama Ayah bisa ikutan sedih nanti. Kepergiannya bisa terasa berat kalau kamu tidak ikhlas. Yuk, kita do'akan supaya Ibu sama Ayah selalu dalam lindungan-Nya. Ibu sama Ayah dulu berpesankan, kalau anak-anaknya tumbuh dewasa, sesedih, sesakit, dan seterluka apa pun jiwa dan hati kita harus tetap bersyukur, bersabar, dan berusaha lagi juga menerima dengan lapang ….”
“Dada,” timpal Julian sembari menyeka air matanya.
“Harus legowo, kata Ayah dulu. Biar jalan yang kita pijaki seindah rute pendakian ke puncaknya gunung. Walau terjal, pemandangan setelah sampai di puncak, indah, toh?”
“Iya, Mas.” Julian tersenyum dengan tegar.

Komento sa Aklat (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    17d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    29d

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata