logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Masih Gagal …

Lautan manusia berebutan antrian, berdesakan mencapai gerbang utama dari sebuah audisi pencaharian bakat tarik suara yang sudah sangat melekat namanya di kalangan warga ibu kota. Semua orang berjubal datang pagi, bahkan ada yang tidur di jalanan guna mendapatkan nomor urut kepesertaan paling pertama, sebelum berhadapan langsung dengan para juri. Penilaian baru akan dimulai di sini, dari lima suara bulat baru dinyatakan lolos, empat suara pun lolos, tiga dan dua harap audisi di tahun berikutnya. Namun, masih ada harapan lainnya bagi sebagian orang, keberadaan silver tiket yang artinya lolos dengan syarat akan diaudisi kembali dengan para silver tiket lainnya, dan yang utama adalah golden tiket jalan utama menuju studio langsung, yang banyak diharapkan para peserta yang ada, terutama Januari.
Empat baris antiran sepanjang lima ratusan orang masing-masing, total dua ribu peserta yang hadir mengelilingi Januari yang berada di baris kedua. Sejak pukul empat pagi, Januari berdiri tegak tidak goyah. Meski panitia ajang bergengsi tersebut baru membuka penomoran pada pukul delapan. Januari merasakan dahaga yang luar biasa menggoyak kerongkongannya. Sebotol air isotonik membasahi rasa haus dan gerah di seluruh tubuhnya. Januari menyapukan pandangannya. Dari berbagai ras, suku dan kota para peserta datang bahkan ada yang jauh-jauh dari Banda Aceh sampai Jayapura semua berkumpul dalam satu baris. Januari akui suara mereka benar-benar bagus, kecil hatinya saat mendengar seorang peserta—kontestan laki-laki menyanyikan lagu dari musisi ibu kota terkenal tahun 90'an menyanyi dengan aduhai merdunya. Januari merasa insecure abis.
Januari mengembuskan napasnya dengan parau, ia menatap para kontestan perempuan yang sudah berdandan elok, yang sayangnya dandanan mereka harus luntur lagi karena panas terik semakin menyengat. Suara dari sebuah spiker membuat para peserta bergemuruh, ricuh suasana yang ada saat panas terik membuat para kontestan berdesakan, silih dorong dan sebagainya. Sementara itu, Januari hanya bisa mengembuskan napasnya. Ia terjebak di antara lautan manusia dengan suara begitu menarik dan bervariasi. Januari mengamati langit yang semakin biru sebab panas semakin menyengat. Terdengar suara teriakan lagi yang semakin bergemuruh saat beberapa kontestan perempuan satu per satu tumbang karena kepanasan dan dehidrasi. Sedangkan waktu terus berjalan meninggalkan mereka yang harus ditandu keluar dari barisan dan mungkin akan jadi peserta terakhir di audisi ini.
***
1089
Angka itu menghiasi dada Januari setelah laki-laki itu menyerahkan kertas pertanyaan data diri serupa yang diberikan di website resmi mereka. Dengan gitarnya serta langkah penuh percaya diri, Januari memasuki studio tempat para juri duduk menunggu para kontestan untuk menunjukkan suara terbaik mereka. Tampak lima juri yang terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan.
“Siang, dengan siapa?” tanya juri perempuan yang tak lain adalah Ahrimbi Yumi, sang diva yang sudah mendapatkan berbagai award di kategori penyanyi solo wanita terfavorit sepanjang masa selama tiga puluh dua tahun karir musik. Perempuan lima puluh dua tahun itu tersenyum pada Januari yang tampak grogi.
“Santai saja,” katanya lagi.
“Nama, umur, asal, dan lagu yang akan dinyanyikan, Mas!” timpal juri yang mengenakan bennie hitam lengkap kacamata hitam bulat yang tak lain adalah Ian Riyawan. Seorang produser musik aliran pop. Menyamber beberapa award sebagai songwriter terpopuler juga.
“Nama saya Januari El-gi, umur dua puluh dua tahun, asal Jakarta. Saya mau bawakan lagu Cinta.”
Anelis Qotrun, juri perempuan yang tampak memerhatikan kertas data diri Januari mengernyit dengan lembut, lalu menoleh pada Januari. Perempuan penerima penghargaan penyanyi soprano terbaik tahun 2000'an itu berucap, “Kamu yang tahun lalu bawakan lagu ini juga, 'kan? Kamu sempat ditolak Mas Ian tapi akhirnya diberi kesempatan nyanyi pakai lagu Kasih, ‘kan?”
Januari tampak malu-malu, kepalanya pun mengangguk ringkas.
“Coba saya minta kamu nyanyi lalu yang lain, coba nyanyi lagu dari band yang tipe vokalnya kuat,” titah Anelis sambil tersenyum penuh makna.
“Lagu Rindu karya solosi Arja Arespati, boleh?” tanya Januari tersenyum semakin gugup.
“Boleh, mau lagu barat juga boleh. Coba dulu saja,” celetuk Titur Muchlis. Juri laki-laki yang khas dengan rambut jabrik berwarna putih uban itu menolehkan kedua bola matanya pada Januari. Laki-laki yang dikenal sebagai pengisi berbagai soundtrack film-film layar lebar Indonesia itu menganggukan kepalanya untuk mempersilakan Januari.
Senar gitar dipetiknya, lantunan musik akustik mengiringi suara Januari yang melodius. Para juri pun tampak menikmati, dan seorang Anelis juga terlihat antusias bahkan bibirnya komat-kamit ikut menyanyi. Setengah lagu dibawakan oleh Januari dengan begitu santai dan para juri pun ikut terhanyut bagaimana melodiusnya suara laki-laki dua puluh dua tahun tersebut. Getar-getar suara seraknya benar-benar membuat seorang Anelis dan Ahrimbi tersenyum puas.
“Mas Titur duluan, soalnya kelihatan sekali sudah tidak sabar mengomentari, silakan Mas,” tunjuk Anelis pada Titur.
“Suara oke, penampilan oke, pokoknya oke.” Titur berkomentar dengan ringkas.
Anelis mempersilakan Ahrimbi untuk memulai. Ahrimbi pun berucap, “Suaramu ini punya getaran yang tidak semua kontestan punya. Itu bagus, tapi ada yang kurang. Entah karena suaramu ini tipikal yang susah untuk menemukan titik temu yang pas sama lagunya. Entah karena husky-nya suaramu terlalu dominan. Coba kamu nyanyi lagu lain.”
“Lagu apa, ya?” Januari mengulum bibirnya dengan gugup.
Atriko Menior, juri yang sejak awal tidak bersuara, menepuk-nepuk permukaan meja. Sontak saja membuat Januari menjadi ciut, juri yang kental dengan sikap sedikit galak nan lugas itu menatap tajam. “Coba jangan pakai iringan gitar, lagunya bebas aja,” titahnya.
Januari pun tanpa berpikir panjang mulai membuka mulutnya. Melantunkan sebuah lagu yang begitu hits di pertengahan tahun 2006'an milik salah satu band pop Indonesia. Mendengar suara lantang Januari, Atriko menjentikkan jemarinya sambil tersenyum.
“Nah, kalau gini jadi kelihatan, kan, bentuk dan warna vokalmu.“ Atriko mengacungkan jempolnya. “Dari saya yes.”
“Kenapa 'yes', Mas?” lontar Ahrimbi mengerutkan dahinya.
“Suaranya Mas Januari ini sebetulnya penuh sekali dengan power. Salahnya adalah kurang jeli memilih lagu.”
Ian kontak memicingkan bola matanya sambil tersenyum kecut. “Kalau aku pribadi, no, seraknya, powernya, artikulasinya, irama dan melodiusnya udah oke. Tapi, justru Mas Januari ini masih belum bisa menemukan pecahan dari suaranya.”
“Wong suaranya tidak pecah, Mas.” Anelis menimpali. “Menyambung itu, urusan milah milih lagu bisa diselaraskan nanti.”
“Begini, sebagai penyanyi harus tahu dan paham mengenai suara kita. Mas, sadar berapa kali slip di nada tinggi?” Titur menimpali. “Gitu barangkali, maksudnya.”
“Sadar, Mas. Waktu head voice napasnya tidak sampai.” Januari tersenyum canggung. “Agak—”
“Nyanyinya jangan mikir, Mas. Ngalir saja,” pangkas Ian sewot. “Belajar lagi, cari uniknya suaramu. Belajar ngenakin lagu. Gali lagi potensial dari husky-nya suaramu, temukan pecahan dari suaramu yang kalau bisa ditemukan, saya yakin suaramu diiringi musik atau tidak akan sangat bagus dan berkarakter.” Ian mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Saya tunggu di audisi berikutnya. Saya harap sudah bisa memilih lagu yang cocok agar suaranya keluar dengan sempurna.” Ian menyambung ucapannya.
Januari merasa kecewa, pasalnya ini sudah kesekian kalinya ia gagal. Sejak sekolah dulu kegagalannya karena umur, sekarang karena tidak bisa memilih lagu, tidak ini dan itu. Okelah, penjelasannya masuk akal. Januari juga sadari suaranya beberapa kali slip, napasnya beberapa kali lost karena gugup. Walau sebetulnya gugup tidak bisa dijadikan alasan jeleknya suatu penampilan. Toh, sebagai seorang profesional hal itu harusnya tidak boleh menjadi menghalang.
Januari keluar dari tempat para juri. Ia lantas berpapasan dengan sang pembawa acara. Seorang host acara musik terkenal yang kerap disapa Atlas Ellebarack. Laki-laki berparas Indonesia kebulean itu merangkul tubuh Januari yang merosot. Sedih hatinya benar-benar membuat Januari tidak bergairah.
“Belum lolos kali ini, tahun depan masih terbuka.” Atlas memandang penuh semangat. “Ikut lagi tahun depan, ya?”
“Siap, Mas. Saya pasti ikut.” Januari berseru dengan berapi-api sampai membuat seorang Atlas terkagum-kagum. Kendati itu, roman wajahnya ratap kusut.
“Wih, semangat bener. Kalau boleh saya tahu alasan Mas ikut acara ini apa?” tanya Atlas kemudian.
“Saya ingin menghibur orang-orang dengan apa yang saya punya. Bukan hanya orang-orang yang saya jumpai di dalam angkot. Tapi, juga orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya.”
Baik Januari dan Atlas sama-sama tersenyum dengan penuh semangat. Meskipun Januari sedikit murung.
“Semangat, ya, Mas. Semoga tahun depan mujur. Good luck!” ucap Atlas sedikitnya membuat Januari lebih merasa baikan.

Komento sa Aklat (206)

  • avatar
    AprilliaDinda

    terimakasih

    17d

      0
  • avatar
    Jellaevandaboimau

    luar biasa

    22/08

      0
  • avatar
    Afandi RahmanDani

    bukuny sangat bagus

    22/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata