logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Accepted

Sebenarnya Juwi tidak ingin menangis. Ayolah, itu terdengar lemah sekali. Sejak tadi Juwi berusaha menahannya mati-matian. Namun ketika mengingat kembali perkataan Wan Fenty barusan, kepalanya terasa berputar, ada sengatan listrik yang menyerang, Juwi tidak mampu lagi menahan hujan yang turun dari matanya.
Selepas wanita itu pergi, meninggalkan semua barang bawaan berkedok seserahan itu, Juwi jatuh terduduk dan menangis sambil memeluk lutut. Jeritannya tertahan di sana. Kenyataan yang dia dengar itu amat menyakitkan sekaligus mengejutkan.
“Anak saya penyuka sesama jenis....”
Kalimat itu terngiang-ngiang. Juwi ingin berlari dan menatap wajah Arvin yang enak dilihat itu, untuk kemudian memberinya pelukan atau sekadar usapan. Pasti sulit hidup seperti itu selama ini, menjadi berbeda dari orang pada umumnya.
Namun sisi egoisnya menyeruak jauh lebih banyak. Juwi sangat menyesalkan kenapa orang setampan Arvin memiliki kelainan itu? Sayang sekali, bukan? Arvin mungkin yang tertampan di dunia, tapi Juwi mengenalnya sejak lama, sejak masih SMP kalau tidak salah ingat. Dulu Arvin adalah remaja dengan tubuh mungil dan kurus, mata seperti orang mengantuk, warna kulit maskulin, hidung mancung, berwajah kecil, dan senyum super menawan. Singkatnya, dia menggemaskan.
Dan bertahun setelahnya, Arvin tumbuh dewasa. Dia bertransformasi sebagai laki-laki dengan perawakan luar biasa, mengagumkan. Rahangnya terbentuk lebih tegas dan tajam, tubuhnya lebih berisi, tatapan matanya bisa sangat polos dan mematikan di saat bersamaan, tapi senyumnya belum berubah. Tetap mengagumkan. Memesona, menawan.
Tapi dia suka pada sesama jenisnya...
Kenyataan itu begitu menampar, dan sumber informasi yang menyampaikan kabar tersebut sangat dipercaya. Wan Fenty adalah ibu kandungnya, tidak mungkin wanita itu memberi kabar yang tidak benar.
“Neng...” Atalia mendekati sang putri yang masih menangis dengan wajah tertutup rapat. “Maafin mamah, ya?”
Mana bisa keluarga mereka menolak permintaan itu. Permintaan dari seorang ibu yang putus asa, yang rela berlutut demi anaknya, demi memperjuangkan perasaannya, hingga membongkar rahasia paling kelam dalam hidup mereka.
Membeberkan orientasi seksual Arvin pasti sangat berat bagi Fenty. Bagaimanapun, dia hanya seorang ibu biasa yang ingin anaknya hidup normal. Dan ketertarikan Arvin pada Juwi tentu bagai angin segar, Fenty akan melakukan apa pun. Apa pun. Demi anaknya.
“Aku gimana, Mah?” Juwi tersedu dan meracau tak tentu arah. “Masa aku—”
Menikah dengan orang yang tidak suka perempuan? Apa jadinya hidup Juwi di masa depan? Saingannya di dunia ini bukan lagi wanita-wanita cantik, seksi, rupawan atau penggoda kelas kakap. Tapi... deretan laki-laki tampan, bahkan mungkin teman Arvin sendiri. Teman dekatnya.
Danish?
Juwi mengangkat wajah dengan mulut menganga. Kenapa dia tidak terpikir ke sana sejak awal? Danish adalah teman yang paling sering ditempeli Arvin sejak SMA, bahkan... sampai detik ini. Demi apa pun, mereka satu kampus, satu kelas sampai sekarang. Danish adalah satu yang paling berbahaya di antara laki-laki manapun di dunia ini bagi Juwi.
“Neng,” ucap Jiwan sambil menempatkan diri di dekat sang putri. Mereka tidak punya pilihan, terlalu banyak utang budi pada Wan Fenty dan suaminya membuat Maharaja langsung menerima lamaran Arvin. “Bang Pipin tuh bisa sembuh, hampir sembuh, atau malah udah sembuh. Buktinya Makcik bilang kalau dia suka sama Neng, kan? Kalau belum sembuh, dia nggak akan punya rasa tertarik sama sekali.”
Benar juga. Juwi belum kepikiran ke sana. Orang yang tidak punya perasaan pada lawan jenis, tiba-tiba merasa tertarik secara fisik, bukankah menunjukkan perubahan yang baik?
“Mamah juga setuju, pasti ada harapan, Neng.” Atalia ikut menimbrung anak dan suaminya. “Kalian selama ini nggak dekat, tapi Pipin bisa suka sama kamu. Gimana kalau nanti coba pendekatan, kan? Pasti bisa berdampak lebih baik lagi.”
Ibu dan ayahnya terlihat sangat percaya diri. Bahkan... yakin sekali. Seolah mereka yang akan menjalaninya, mereka yang akan membantu Arvin, mereka yang bisa membuat pemuda itu normal, bukannya Juwi. Dia masih pesimis. Dirinya bukan apa-apa, bukan panti rehab yang bisa memperbaiki laki-laki rusak. Juwi tidak berdaya.
“Eh, Dede kenapa?” Atalia terperanjat melihat bungsunya terkapar di lantai dengan tatapan kosong menatap langit-langit rumah. “De—”
“Aku syok, Mah...” Juan berbisik lemah. “Jangan-jangan selama ini... Bang Arvin ngincer aku. Dia baik pisan ke aku, kan?”
Juwi harus tertampar untuk ke sekian kalinya. Arvin sangat dekat dengan Juan. Sangat dekat. Sangat akrab. Bahkan Wan Fenty dan suaminya pun menyukai Juan hingga meminta bocah ingusan itu ikut tinggal dengan mereka usai keluarga ini dilanda kebangkrutan.
Benar, bisa jadi selama ini Juan adalah yang diincar oleh Arvin dan keluarganya. Uh, itu mengerikan sekali. Juwi merinding sendiri.
“Aku harus balikin PS 5 yang dia beliin waktu itu.” Juan bangkit dari posisinya dan berlari ke kamar tergesa-gesa. Pasti dia akan segera merealisasikan rencananya.
Sial. Bukan hanya Danish, Juwi juga harus bersaing dengan adiknya sendiri. Juan Maharaja. Bocah SMA dekil yang bahkan tidak tahu fungsi deodoran. Apa iya selera Arvin serendah Juan?
“Pipin nggak mungkin mengincar Juan.” Atalia mengumumkan pendapatnya. “Kalau benar, seleranya terlalu rendahan, kan?”
Juwi tidak ingin tertawa, tapi ledakan dari ayah dan ibunya yang spontan membuat dia terkikik meski wajahnya masih basah karena air mata. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga. Juan masih anak-anak, dia tidak menarik sama sekali, bahkan di mata perempuan, apalagi di mata Arvin, kan?
Arvin jelas punya sosok idaman lain. Juwi yakin 100% kalau Danish Adiswara—kakak kelasnya dulu di SMA, adalah idola yang sangat Arvin puja. Danish tampan—yang tertampan pada masanya, dia juga jago olahraga, kuat, tubuhnya sehat, tegap, maskulin, keren. Dibandingkan Juan, Danish jelas menang ke mana-mana sebagai pasangan gay idaman.
“Neng,” panggil Jiwan pada putrinya sambil mengelus kepala gadis malang itu. “Meskipun di jeleknya Pipin sering main cuma karena Juan, tapi sekarang semuanya udah nggak sama. Neng Juwi anak Mamah dan Papah yang paling cantik se-tanah Sunda, ngalahin mendiang Nyi Diah Pitaloka. Makanya tuh, Pipin yang tadinya suka sesama jenis aja bisa sembuh, oleng gara-gara Neng. Udah, ya? Diterima tawaran baiknya, dibantu calon suaminya, kalau Pipin sembuh kan Neng juga yang bahagia.”
Apa bahkan orangtuanya pernah bertanya perasaan Juwi seperti apa? Memangnya dijodohkan terdengar sangat sepele bagi mereka? Apa tidak ada yang mau tahu, Juwi menyukai Arvin atau tidak?
“Mamah setuju sama Papah, sok lah Neng, dikuatin lagi hatinya. Mamah mah percaya kamu bisa. Neng Juwi pasti bisa mengatasi Arpin ya, Pah? Pasti seneng atuh kalau orang yang disuka lama-lama jadi balik suka juga ke kita.”
“Hah?” Juwi memotong perkataan ibunya. “Suka?” Siapa yang suka?
“Iya.” Atalia mengangguk ceria. “Neng suka sama Pipin, kan? Hehe. Mamah tahu loh, suka diem-diem ngeliatin gitu.” Wanita itu cengar-cengir menggodainya.
Demi Dewa, Juwi tidak menyangka jika pergerakannya tercium semudah itu oleh sang ibu. Juwi suka pada Arvin Wijaya? Atalia tahu dari mana?
Ya, itu benar. Tapi... tapi Juwi punya alasannya, jangan asal menggoda dulu.
Iya, dia suka pada Arvin. Hanya suka, tidak lebih. Bukankah itu perasaan yang manusiawi saat melihat pemuda tampan di sekitar kita? Hanya suka biasa, tidak ada hasrat untuk—oke, Juwi menyukainya. Mari mengaku saja.
Juwi suka pada Arvin sejak lama. Juwi menyimpan nomornya. Juwi mengikuti akun sosial medianya karena Arvin cukup aktif di sana. Juwi... jatuh pada pesonanya sejak dulu sekali. Sejak keluarga mereka mulai dekat dan Arvin sering main dengan Juan. Sejak mendengar suara tawa dan leluconnya yang kadang tidak lucu bergema di rumah mereka.
Sejak... lama sekali. Sudah lama ternyata Juwi memelihara kejatuhan ini. Hanya saja dia memilih memegang hatinya erat-erat. Juwi menahan diri, sebab keberadaannya tidak pernah dianggap. Arvin tidak pernah menyebut namanya sama sekali.
“Kakaknya Juan...”
“Kakaknya Juan jurusan apa?”
Juwi pernah mendengar Arvin bertanya, tapi bukan kepadanya. Arvin tidak pernah memanggil Juwi dengan cara yang benar. Mereka bahkan saling menghindar saat momen bersalaman di hari lebaran. Arvin akan berkelit dan melakukan berbagai cara untuk menjauh darinya.
Ternyata karena itu, ya? Karena dia memang tidak suka pada perempuan.
Satu-satunya momen yang Juwi tunggu saat Arvin berkunjung adalah... ketika dia harus pulang dan menyetir mobilnya sendiri.
Itu pemandangan yang indah sekaligus berkesan. Dadanya selalu berdebar, tapi kemudian Juwi menahan debar itu mati-matian. Arvin akan duduk di belakang kemudi dan membuka kaca mobilnya sampai habis, sejenak dia fokus menyetir, memutar arah untuk parkir kemudian menyalakan klakson dan tersenyum sambil melambaikan tangan untuk pamitan.
Di momen itu, Juwi bisa ikut tersenyum dan membalas lambaiannya. Hanya itu momen milik mereka yang Juwi rekam diam-diam di kepala. Selebihnya tidak ada yang istimewa.
Arvin Wijaya Pradipta: Hai, selamat malam.
Berminggu-minggu yang lalu, Arvin pernah mengiriminya pesan, tapi Juwi pikir itu mungkin salah kirim atau bahkan pesan acak yang dikirim ke semua nomor di kontak. Jadi dia tidak membalasnya. Lagi pula itu tidak berguna, tidak ada gunanya mereka mengobrol untuk lebih dekat dan saling mengenal. Juwi sudah tahu bahwa dirinya akan dimiliki seseorang terpilih sebagai suami di masa depan.
Jadi, melakukan pendekatan dengan orang yang dia suka hanya buang-buang waktu saja.
**
Tidak ada yang bisa dilakukan keluarga Maharaja saat Wan Fenty jelas-jelas menyerang mereka secara emosional. Dia jelas tahu dari segi materi keluarganya tidak mumpuni untuk menggeser posisi 3 kandidat yang lolos seleksi tahap satu. Jadi menggunakan taktik yang memengaruhi emosi dan psikologis sahabatnya memang cara terbaik. Cara paling tepat dan tentu paling cepat.
Seluruh rencana B dan C yang sudah disusun rapi dan alamat serta berbagai testimoni dukun pelet sudah tidak dibutuhkan lagi. Fenty berhasil mendapatkan Juwi untuk Arvin. Tujuannya tercapai dengan sempurna, sisanya biarkan saja Arvin yang selesaikan sendiri. Dia akan berusaha kalau memang benar-benar menyukai gadis itu, kan?
“Ibuuuuu!” Arvin sudah berteriak untuk yang ke sekian kali, tapi Wan Fenty pura-pura tidak mendengarnya. Sibuk sendiri. “Ibu! Ibu! Ibu! Lama-lama aku nyanyi lagunya Sulis nih!” ancamnya.
“Lagu yang mana?” tanya Fenty santai, tak mempan dengan ancaman. “Oh, lagu Ummi itu, ya? Nah, coba nyanyi. Dulu kau suka betul sama lagu Sulis dan Hadad Alwi itu pas kau masih kecil.”
“Ih, Ibu!” Arvin merengek sambil menghentak-hentakkan kaki.
“Eh, panjang bibirmu itu nanti. Bising betul pun anak ini.”
“Bu, aku ini mau bahas hal penting!” pekiknya tak terima pada reaksi sang ibu. “Ibu serius bilang aku homo di depan keluarga Juwi?”
“Iya.” Fenty mengangguk santai dengan wajah datar. “Kenapa rupanya? Kau bilang dengan cara apa pun, kan?”
“Ya nggak gitu juga!”
“Lah, terus mau bagaimana?” Fenty menaikkan kedua alis tinggi-tinngi. “Kau tak tahu diuntung memang, dah bagus mamakmu ini mau bantu masalah perjodohan entah apalah itu namanya. Kuno betul! Ini bukan lagi era Siti Marpuah tahu kau?”
“Siti Nurbaya!” Arvin buru-buru mengoreksi ibunya. “Terus mereka percaya? Juwi mau aja sama aku meski tahu aku nggak normal kayak gitu?”
Fenty mengangguk lagi dengan wajah polosnya. “Misi selesai, kan?” Dia berucap enteng.
Arvin lupa bahwa ibunya agak ekstrem. Wan Fenty bukan lagi nyentrik dan unik, tapi juga nekat. Tujuan akhir mereka memang tercapai, tapi prosesnya. Ini salah. Kenapa tidak jujur saja, kan?
“Bu,” panggil Arvin pada sang ibu dengan suara lebih pelan. “Kalau Ibu nggak pakai cara itu, apa lamaran kita bakal ditolak?”
“Oh, jelas.” Fenty tidak repot-repot menyembunyikan fakta itu. “Kau pikir kita sehebat apa dibandingkan calon suaminya Juwi yang asli? Ini semua karena nepotisme, ibu dekat sama mamak bapaknya, pakai sedikit drama, kun fayakun! Terjadilah! Sudah takdir Tuhan pula rupanya, semoga memang berjodoh lah kalian berdua.”
“Aamiin!” Arvin sesaat teralihkan lalu menggelengkan kepalanya buru-buru. “Tapi, Bu, itu kan bohong namanya. Ibu menipu mereka, Ibu berdosa!”
“Kau pikir siapa penyebab mamakmu ini nekat berbuat dosa yang disengaja, hah?” Fenty meradang. “Demi kau, kuhalalkan segala cara. Tahu kau, Intan?”
Bagaimana bisa ibu-ibu ini memanggil anaknya dengan sebutan manja sambil melotot dan menggeram seperti singa? Apa Arvin berdosa kalau diam-diam menyebut ibunya gila?
“Aku nggak ikhlas disebut homo, Bu. Aku ini normal, aku suka Juwi—”
“Udah kubilang ya, kau suka sama anak mereka makanya kita langsung lamaran. Nah, meskipun kau dulu homo, kalau kau suka dengan Juwi sekarang, itu tandanya kau sembuh, bujang!”
Arvin mengangguk-anggukkan kepala. Benar juga. Tapi kenapa tetap ada sisi tidak rela dalam dirinya? Arvin tidak suka Juwi melihatnya seperti itu, itu berarti mereka pun menerima lamaran darinya karena rasa iba, kan?
“Terus aku harus gimana sekarang?”
“Nah, pergilah sana. Kau dekati itu anak gadisnya dengan jentelmen. Agak-agak takut sikitlah, biar nampak homonya dulu. Baru lama-lama kau sembuh karena dekat dengan dia.”
“Ohh...” Arvin tersenyum lebar, ide ibunya terdengar cukup brilian.
“Mantap rencana ibu, kan?”
Tidak juga. Arvin langsung menggeleng tanpa pikir panjang, membuat senyum di wajah mereka menghilang. Pura-pura jadi homo itu bagaimana? Arvin harus bertanya pada siapa? Apa dia bisa?
“Duh, harga diriku...” keluhnya pelan sambil memegangi dada dengan wajah menderita.
“Macam punya aja.”
“Ada, Bu, meskipun nggak banyak.” Pemuda itu membela diri. “Aku bukan homo, aku nggak pernah suka sesama jenis, rasanya aneh kalau harus ngaku-ngaku.”
“Bisa lah itu, kau pasti bisa.”
“Susah, Bu. Burungku masih ada, bisa berdiri pula.”
“Oi, minta dihantam kau rupanya?” Fenty emosi mendengar ucapan Arvin yang tidak sopan itu. “Kau kira homo-homo di luar sana itu nggak punya burung? Nggak bisa berdiri burung mereka?”
“Ya, bisa! Tapi kan itu kalau dekat yang mereka suka. Aku sukanya Juwi, kalau berdiri dekat Juwi gimana?”
“Ya, kau bilang lah berarti kau sembuh berkat dia!” Wan Fenty mencak-mencak di depan anaknya. “Eh, tapi kenapa pula burungmu harus berdiri di depan Juwi? Kalian ada apa rupanya? Memang bisa berdiri tiba-tiba? Punya ayah kau nggak kayak gitu ya, Vin! Sopan sikit kau punya burung!”
Arvin tertawa, kadang-kadang menggodai ibunya asyik juga meski setelah itu punggungnya harus rela dijadikan samsak tinju. Wan Fenty adalah lulusan sekolah tinggi angkatan laut saat muda dulu. Tenaganya luar biasa, staminanya bagus, tubuhnya prima untuk ukuran ibu-ibu.
“Ada apa ini? Begadoh lagi kalian berdua?”
Moeis Sidiq adalah seorang petinggi di perusahaan bonafid asal Amerika yang kerap kali keluar kota untuk urusan pekerjaannya. Selain itu beliau juga menggeluti olahraga mewah untuk membangun relasi dan bersenang-senang. Jarang di rumah, tidak punya banyak waktu untuk keluarga.
“Ini, Yah, anak Ayah udah dibantu tapi masih protes terus!” Fenty mengadu pada suaminya.
“Apa? Yang lamaran itu, Bu?” Wan Fenty mengangguk sebagai jawaban dan pria itu tertawa renyah. “Sudah nak meminang anak gadis orang rupanya anak ayah? Kenapa tak bilang dan tunggu ayah pulang?”
“Ayah bahkan nggak bilang waktu menikah lagi. Ini cuma lamaran, nggak perlu dibesar-besarkan,” jawab Arvin sambil tersenyum simpul dan melipat tangannya di depan tubuh.
Dia bisa melihat air muka ibunya langsung berubah, tapi Moeis lebih piawai memainkan peran, pria itu justru tertawa keras sambil menepuk-nepuk bahunya seolah tidak mendengar apa-apa.
“Jadi apa masalahnya? Ibu dapat ide dari mana soal orientasi seksual Arvin yang menyimpang demi diterima sama mereka?”
Fenty membuka jawaban dengan tawa sambil menepuk dada. “Ide yang terlintas begitu aja, Yah. Hebat kan, ibu?”
“Mereka percaya?”
“Percayalah!” jawab wanita itu buru-buru. “Memangnya keputusan yang ibu ambil itu tanpa pertimbangan? Kalau dilihat kayak mana perangai Arvin selama ini di depan anak gadis mereka, pasti semua orang percaya kalau Arvin homo. Juwi itu cantik, tapi sama sekali nggak pernah dilirik. Cuma Arvin yang nggak tertarik, dia sibuk main dengan Juan.”
Moeis mengangguk dengan sebelah tangan mengelus janggutnya. Analisis yang cukup masuk akal. “Ayah kaget juga pas dengar Arvin merengek minta dijodohkan, karena nggak pernah ada indikasi naksir Juwi, kan? Hebat memang anak ayah ini memendam perasaan.”
Tentu saja, memangnya semua itu terjadi tanpa alasan?
“Hebat apanya? Merepotkan yang ada.” Fenty langsung tak setuju pada pendapat suaminya.
Arvin jengkel dihina habis-habisan di depan hidungnya sendiri sejak tadi. Padahal dia juga sudah berusaha sedikit untuk dekat dengan Juwi. Mengirimi gadis itu pesan yang sampai sekarang tidak dibalas sama sekali. Sungguh sebuah kenyataan yang menyakitkan. “Udah ya, Tuan dan Nyonya, sekarang kasih aku saran. Harus gimana memulai dan menjalaninya? Aku harus pura-pura dulu di depan Juwi, kan?”
“Kau atur-aturlah sendiri, Vin.” Wan Fenty mengibaskan tangannya malas. “Semua harus kami yang urus. Kau mau disuapi terus? Bahkan cara becewek aja kau bertanya sama ayah dan ibu. Kasihan betul Juwi punya calon macam ini.”
“Ibu!”
“Eh, sudah sudah!” Moeis tergelak dan melerai anak dengan istrinya yang memang sering baku hantam. “Vin, coba dengarkan pejantan senior ini dulu,” ucapnya sambil berisyarat agar Arvin mendekat. “Sebenarnya memang kurang baik, tapi ya sudah terjadi jadi sudahlah. Kau tinggal jalani, pendekatan, pelan-pelan. Dengan begini kita justru tahu Juwi sebenarnya bagaimana menyikapi kekurangan Arvin. Apa dia akan menerima apa adanya? Apa Juwi akan cari cara untuk membantu?”
Kenapa juga Juwi harus repot-repot melakukan itu?
“Sebab bukan hanya Juwi yang cari masa depan, Arvin juga. Nggak ada salahnya kita sedikit menguji dan memilih yang sungguh-sungguh menerima.”
“Kalau aku ketahuan gimana, Yah?”
“Ish! Udah ibu bilang, kau tinggal mengaku penyakitmu itu sembuh, Vin!”
Arvin menggeleng, bukan itu maksudnya. “Kalau suatu hari ketahuan dan aku mengakui semuanya, Juwi bakal gimana?”
“Ya, nggak tahu.” Orang yang dipanggil ayah oleh Arvin itu mengangkat bahu. “Kan kita belum sampai di sana, belum ada yang coba.”
“Buat apa kau mengaku pula? Cari perkara aja.”
Dua orang itu meninggalkan putranya sendirian di ruang keluarga. Pasti mereka akan melepas rindu setelah berhari-hari tak bertemu. Arvin juga butuh sesuatu untuk menyegarkan pikirannya yang semrawut saat ini, dia tidak akan tidur di rumah. Mungkin menginap di tempat seseorang terdengar bagus.
Tapi... di mana?
Di rumah Hamam? Ah, Arvin trauma pada kunci di kamar mandinya yang masih memakai tali diikat ke paku, dia pernah lupa mengaitkannya lalu ibu Hamam muncul tiba-tiba sambil membuka pintu sangat lebar sementara Arvin sedang buang air besar.
Di tempat Danish? Ah, manusia macam apa yang diinapinya itu? Danish selalu bangun pukul 5 pagi setiap hari dan membuat Arvin sungkan untuk tidur lebih lama di ranjangnya. Tidak enak melihat si empunya rumah sudah sibuk berbenah sementara dia masih ingin memejamkan mata. Itu tamu tidak tahu diri namanya.
Jadi, Arvin ke mana sekarang? Jangan ke hotel, itu bukan tempat untuk merenung yang tepat. Arvin harus mencari cara dan taktik untuk mendekati Juwi dengan baik dan benar kali ini. Jangan keliru lagi, jangan membuang waktu dan kesempatan lebih banyak lagi.
“Aku harus bikin Juwi suka sama aku,” gumamnya pelan sambil menjalankan kemudi menuju tol yang akan membawanya keluar dari area Jakarta. “Halo, Nish?”
“Hm...”
“Gue nggak masuk besok, titip absen, ya.”
“Ke mana lo?” tanya Danish yang tadinya terdengar mengantuk langsung segar bugar.
“Ke luar kota.”
“Liburan? Kok nggak ngajak gue?”
“Bawel. Dah, gue lagi nyetir. Molor lagi sana!”
Arvin menutup sambungan telepon dan mengabaikan panggilan masuk dari Danish berikutnya. Dia sedang tidak konsetrasi mengobrol. Lagi pula Danish pasti akan baik-baik saja tanpanya, Arvin bagi Danish memang bukan apa-apa. Hanya teman kuliah, selingan saja.
Beberapa saat kemudian, mobilnya meluncur memasuki kawasan yang membawa Arvin menjauh dari Jakarta. Bandung. Dia harus ke sana untuk menemui seseorang, secepatnya.
**
Pukul enam pagi. Jika Juwi di Lembang, pukul enam suhu masih sangat dingin dan membuat tubuhnya menggigil. Tapi sekarang dia kembali ke apartemen untuk memulai kuliahnya di awal semester, Juwi tinggal sendiri di sebuah kamar bertipe studio dengan satu tempat tidur tak jauh dari kampusnya. Meski terbilang dekat, tetap saja Juwi harus menggunakan kendaraan untuk sampai ke sana. Awalnya dia memilih angkutan umum atau ojeg online sampai akhirnya Atalia datang berkunjung dan menyayangkan keadaan sang putri lalu membelikan Juwi sebuah mobil SUV murah untuk dikendarai.
Rasanya masih tidak percaya jika mengingat kejadian dua hari yang lalu saat Wan Fenty melamarnya tergesa-gesa untuk Arvin. Juwi masih ingin memungkiri kenyataan bahwa Arvin Wijaya penyuka sesama pria.
Diam-diam Juwi berdoa, jika Arvin ditakdirkan jadi laki-laki normal tapi tidak hidup berdampingan dengannya, dia tidak apa, Juwi rela. Biar saja hubungan mereka tetap seperti dulu, asal Arvin baik-baik saja.
Arvin Wijaya Pradipta: Selamat malam.
Lagi-lagi dia mengirim pesan dan Juwi tidak membalas juga. Dia tidak tahu harus menjawab apa, Juwi belum siap jika harus berinteraksi dengannya dalam waktu dekat. Dia harus menata hati. Selain itu Juwi juga harus mengatasi beberapa pesan patah hati yang dikirim oleh kandidat lain.
Arvin seharusnya bisa menunggu sampai nan—
“Hai...”
Juwi nyaris melompat saat mendengar suara berat itu menyapanya pagi-pagi sekali bahkan saat seharusnya orang itu tidak di sini.
“Maaf ganggu.” Arvin berdiri dengan hidung memerah dan rambut berantakan tak jauh darinya. Dia memakai sweater hitam dan celana jins serta sepatu putih kesayangan, ya ampun... Juwi bahkan menghafal itu di luar kepala.
“Maaf semalam nggak balas chat.” Juwi cepat mengalihkan obrolan.
Demi apa pun, ini pertama kalinya bagi mereka saling bicara, berdua saja.
“Nggak papa,” kata Arvin kalem. Dia berusaha menahan debar luar biasa dan sensasi ingin pipis di celana saking groginya saat ini. “Ja-m segitu pasti udah tidur.”
“Iya, ketiduran.”
Ketiduran? Itu artinya tidak sengaja tidur, kan?
Tidak ada suara lagi. Juwi menunduk menatap lantai yang dipijaknya sendiri, sedangkan Arvin berdiri di depannya, menatap gadis itu lekat, seberani yang dia bisa, selama yang dia ingin, karena biasanya Arvin tidak berani.
“Mau ke mana pagi-pagi?” tanya Arvin berbasa-basi. “Masuk gih, ini dingin.”
“Kak... Arvin... mau apa ke sini?”
Arvin berdeham. Ini kali pertama mendengar Juwi menyebut namanya. Memanggil Arvin seperti manusia biasa. Dia butuh pegangan sekarang, atau napas buatan, Arvin hampir pingsan!
“Ma-mau minta maaf, Ju..wi...”
Baik Juwi maupun Arvin, keduanya sama-sama menunduk dalam. Tidak berani saling menatap satu sama lain. Ini pertama kali bagi Juwi mendengar namanya disebut dengan benar. Dan suara Arvin saat memanggilnya sangat... ya ampun! Ini pasti keajaiban dunia kedelapan.
“Maaf kenapa, Kak?”
“Uhm... itu...” Arvin mendesah dan berdiri dengan gelisah. Ini obrolan terpanjang mereka sepanjang keduanya saling mengenal. Dan Arvin menunggu di lobi semalaman, dia kurang tidur, kepalanya pusing seperti berputar-putar. “Maaf untuk segalanya.”
Arvin mungkin akan pingsan sebentar lagi.
“Kakak nggak perlu minta maaf.”
Bukan salahnya lahir dengan kekurangan itu. Bukan salahnya juga karena pada akhirnya menyukai Juwi hingga mereka berakhir seperti ini.
“Juwi,” panggil Arvin pelan. “Maaf karena aku nggak sama seperti laki-laki lainnya.” Yang memulai semua dengan normal dan jantan tanpa drama memaksa perjodohan. “Maaf kalau harus dimulai dengan cara seperti ini.”
Juwi sudah berjanji tidak akan menangis lagi setelah hari itu. Dia berjanji akan lebih kuat dan berani, Juwi mungkin akan sering-sering melupakan fakta itu dan pura-pura tidak tahu di depan Arvin. Namun mendengarnya sendiri seperti ini... dia tidak tahan. Juwi langsung berkaca-kaca.
“Juwi nangis?”
“Iya, Kak.” Gadis itu mengusap wajahnya yang dipenuhi lelehan air mata. “Nggak boleh, ya?”
“Oh... boleh kok, boleh. Yang kenceng kalau bisa.” Arvin berdiri dan menjawabnya salah tingkah, Juwi sedikit terkekeh.
Dia pantas menangis. Pasti sedih sekali mendapati kenyataan harus dijodohkan dengan orang dengan kelainan yang mengerikan. Harga diri Juwi juga pasti terluka. Arvin mengerti.
“Jadi gimana, Kak?” tanya Juwi seolah minta kepastian untuk hubungan mereka kedepannya.
Arvin langsung gelagapan di tempatnya berdiri. Dia sudah seringkali dikalahkan oleh perasaan ini, sekarang jangan lagi. Dia harus belajar melawannya. Ini sebuah kemajuan pesat, mereka berdua bicara sangat banyak di hari pertama bisa melakukannya. Jangan mundur lagi, jangan takut, Arvin sedang menyugesti dirinya sendiri saat ini. Dia mengulurkan tangan, mengajak Juwi bersalaman.
Terdengar bodoh memang, tapi Arvin senang dengan senyum di wajah Juwi yang jelita serta jabatan tangan mereka untuk kali pertama dan deklarasi bahwa keduanya resmi menjadi pasangan mulai sekarang. Mereka berdua memutuskan untuk berjuang.
“Semoga kita langgeng, ya.”

Komento sa Aklat (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata