logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2. Memilih Untuk Bungkam

***
Sore hari, ketika Luka tengah menyusui, beberapa orang berseragam polisi datang. Luka kaget bukan kepalang. Ada apa ini?
“Maaf Bu, pihak Kepolisian mendapat laporan bahwa anak Ibu yang bernama Raluka Destia telah melakukan aborsi. Laporan itu telah kami tanggapi dan untuk itu kami akan mengadakan penyidikan mengenai kasus tersebut! Keterangan dari si pelaku dan saksi nanti akan kami mintai!” Polisi gagah tak berkumis yang menenteng map biru berkata pada Ibu yang terlihat sekali wajahnya syok.
Luka bergegas menghampiri dengan rasa yang campur aduk. Gusti, kenapa jadi begini? Siapa yang tega membuat laporan tak benar itu? Dada Luka bergetar.
“Siapa yang tlah mengatakan fitnah itu Pak? Itu keterangan tak benar. Saya melahirkan normal dan cukup bulan. Bayi saya sehat… Siapa yang memberikan pelaporan palsu itu?” suara Luka bergetar.
Polisi itu mengangguk penuh hormat. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap bernada tegas dan jelas.
“Maaf! kami mesti melindungi pelapor demi menjaga kemungkinan-kemungkinan tak diinginkan. Yang jelas, berkas kasus Ibu sudah ada di meja kami dan akan segera ditindaklanjuti. Kami harap kerjasamanya dengan Ibu untuk memberikan keterangan-keterangan yang benar dan mendukung demi lancarnya penyidikan Kami. Kamipun akan mencari keterangan dari saksi-saksi yang lain…” Pak Polisi dengan suaranya yang datar tetap memberikan jawaban yang sama.
Tiba-tiba wajah Luka terasa merah dan panas. Rasanya seperti terbakar. Tega betul orang yang mendzoliminya itu. Siapa dia? Kenapa memberikan pelaporan palsu pada Kepolisian? Kenapa pihak Kepolisianpun datang dan langsung mengasumsikannya sebagai tersangka? Bukannya ada praduga tak bersalah sebelum diadakan penyidikan dan mendapatkan bukti-bukti yang mengarah? Gusti…diatas seribu kesalahanku yang tak terukur, aku tlah berusaha menyelamatkan buah hatiku. Dia anakku. Bayi merah tak bersalah yang terlahir karena kebebalan orangtuanya. Luka sibuk membatin.
Luka merasa sendirian menghadapi kericuhan ini. Kasihan juga ia melihat Ibu dan Bapajk yang hanya duduk di sudut ruangan dengan wajah pias dan tubuh seperti bergetar. Luka memberi isyarat pada kedua orangtuanya untuk tetap diam dan tenang.
“Kami akan mencari keterangan tentang bayi itu. Siapa bapak dari anak itu dan apa yang anda lakukan terkait kelahirannya. Sebab pelaporan itu diajukan mungkin karena kekhawatiran pada kejadian Ibu melahirkan sendirian. Adanya upaya aborsi untuk itu bisa dan mungkin sekali dalam kasus Ibu. Kami juga akan memeriksa kondisi bayi Ibu. Apakah dia normal atau ada sesuatu yang mencurigakan…” terang polisi itu lancer.
Luka yang terlihat lugu dan muda itu seakan sudah merasa kebal dengan semua derita yang menimpanya. Ia berdiri tenang, tak menangis. Wajahnya hanya merah. Kupingnya terasa panas. Giginya bergetar gemelutuk menahan amarah.
“Saya melahirkan normal. Bayi saya sehat dan Ia saya rawat dengan penuh kasih sayang. Tak ada upaya aborsi atau apapun itu meski saya melahirkan sendirian. Saya sudah siap menanggung resiko menjadi Ibu tunggal dan dikecam semua orang demi anak saya itu Pak. Orang-orang yang ketakutan itu, yang memberikan laporan palsu itu, mungkin Bapak juga, hanya terprovokasi oleh pemberitaan tentang kasus pembuangan, pembunuhan dan aborsi pada kehamilan yang tak diinginkan. Tapi jangan samakan saya dengan kasus-kasus nyata ataupun sinetron yang direkayasa. Saya seorang perempuan di atas segala dosa saya, juga seorang Ibu. Dia anak saya Pak. Tak mungkin saya membunuh anak saya sendiri!” Jawab Luka lancar.
Keterangan Luka yang cukup panjang itu tak cukup membuat pihak Kepolisian puas. Mereka tetap akan melakukan penyidikan dan pemanggilan hingga kasus benar-benar tuntas.
“Kau bisa saja berubah jadi tersangka Luka. Hukumpun sekarang bisa dibeli dan direkayasa. Inilah tulah. Orang-orang itu tak senang dengan ulah kamu!” Ibu mencangkung di pintu dengan mata berlinang. Wajahnya keruh dan masai.
“Baiknya kau katakan saja siapa Bapak dari bayi itu. Lalu kita minta pertanggungjawabannya. Mungkin itu bisa membantu…” saran seorang saudara.
Luka menggeleng. Tidak! Tak akan! Gusti…aku memang berdosa, tapi tak adakah jalan lain yang selamat? Bathin Luka. Untuk beberapa lama, seharian itu, Luka seperti ikan yang tengah sekarat. Menggelepar. Resah. Ketakutan. Takut akan sesuatu. Tapi ia tak jua menangis. Ia tahankan semua gejolak bathinnya.
Kemudian Luka mendengar saran seorang, kalau ia harus datang pada Polisi penyidik itu dengan membawa sejumlah uang. Meminta kasusnya ditutup. Tapi bukankah itu menyuap? Sama saja Ia mengaku kalau ia memang melakukan hal yang dituduhkan? Tidak!
“Kenapa harus kalah? Melakukan hal yang akan menghukummu seumur hidup di mata semua orang? Memang seperti kasus simalakama. Serba salah. Tapi menurutku, diam-diamlah. Ikuti arus. Jika kau dipanggil, diinterogasi, bicaralah menurut kata hatimu. Biarkan saja mereka mencari keterangan kesana-kemari. Kamu tetap diam hingga kasusnya tuntas. Itu lebih baik Sumi!” kata hati Luka akhirnya yang menjadi keputusan. Dalam kebingungan dan perasaan tertekan, ketakutan yang teramat sangat akan mencapai puncak dan kembali ke titik terendah hingga muncullah keberanian dan sikap tegar menantang. Ya! Luka akan tetap diam, tegar menghadapi segalanya.
***
Dia anakku!! Kan Luka?” Lelaki itu mencari keyakinan di wajah Luka, namun disertai seringainya yang membuat Luka muak.
Di suatu sore, saat Luka berpapasan dengannya di jalan sepi, sepulang membeli susu ke supermarket untuk sang buah hati, lelaki itu tiba-tiba menjegal langkahnya. Luka merandek dengan wajah yang lebam menyorotkan kemurkaan.
Sebelum semuanya meletup menjadi petaka, Luka telah mendatangi laki-laki itu. Laki-laki yang diam-diam selalu mengantar dan menjemputnya kerja dari pub dengan alasan ingin menjaganya. Lelaki yang selalu siap duapuluh empat jam jika Luka memintanya bantuan untuk menjemput jika ia memutuskan pulang dan tak menginap di mess. Hubungan baik sebagai abang adik yang kemudian berubah menjadi rasa nyaman. Lalu karena kebebasan yang menjadi kondisi tlah membuat mereka lupa segalanya dan menikmati kenyamanan dengan cinta terlarang. Hingga akhirnya, Luka terlambat bulan.
“Sssttt!! Tanyalah pada hatimu sendiri. Berbincanglah dengan nuranimu atau dengan iblis yang sekarang beersemayam di hatimu. Aku tahu nuranimu sudah kabur entah kemana! Semenjak kau meragukan perbuatanmu yang tlah berbuah, Memungkirinya bahkan menertawakanku” jawab Luka dingin.
Luka ingat saat ia meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu, ia malah tertawa dan menolak bahwa anak itu adalah anaknya.
“Kamu seorang wanita malam. Bisa saja kan, kau hamil bukan olehku. Tapi oleh lelaki lain yang juga menyentuhku!” jawaban itu terhenti dengan libasan tangan Luka yang sangat keras menampar pipinya. Geraham Luka terasa mengunci dan gemelutuk geram. Ia marah, sakit, kecewa dengan jawaban lelaki itu. Padahal lelaki itu tahu, kesucian dirinya yang pertama kali diberikan utuh padanya. Semua demi rasa yang tumbuh di hatinya. Tidak sekali-kali ia sembarangan memberikan tubuh pada lelaki manapun.
Tapi lelaki itu memang bajingan pengecut. Sejak itulah Luka bertekad untuk memelihara janin itu baik-baik dan memutuskan akan menanggung semuanya sendiri. Mengunci rapat-rapat rahasia kelam dalam hidupnya.
Dia anakku! Bukan anak siap-siapa! Luka tetap pada pendiriannya. Tak ada penyidikan itu. Tak ada kelanjutannya. Memang ada yang datang pada Bidan desa, tapi padanya tak ada lagi pihak yang berwenang datang untuk meminta keterangan. Menginterogasinya. Kemudian, riuh itu seperti senyap ditelan bumi. Semua tak ada bekas. Usai tanpa penyelesaian yang tuntas. ***

Komento sa Aklat (39)

  • avatar
    TasidjawaRusni

    lelaki mencintai bunga

    27d

      0
  • avatar
    Tengker3Afgan

    mntp

    22/07

      0
  • avatar
    BaeAditia

    lanjutannya

    07/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata