logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bukan Cinta Sayang Sumbi

Bukan Cinta Sayang Sumbi

Ratna Ning


Bab 1. Dia Anakku

“Dia anakku!” suara Luka pelan bergetar. Ia duduk di bale-bale. Tunduk. Pundaknya berguncang. Sesenggukan. Dua kakinya berongkang-ongkang. Gelisah tak karuan.
Terlebih Ibu terus-terusan mencecarkan tanya padanya. Itulah, Luka tak kuasa mendongakkan wajah. Ia jengah beradu pandang dengan tatap tajam berlinang milik Ibu
“Dari tadi kau kutanya, bahkan dari kemarin, kau hanya bilang dia anakku, dia anakku. Anakmu dengan siapa Luka? Lelaki mana?” Ibu hampir berteriak geram. Wajahnya semakin gusar. Sedang Bapak, duduk kelu di belakangnya. Di kursi rotan tua, menyender ke tembok dengan rokok yang tak jua disulutnya.
Luka tak menjawab lagi. Perempuan dua puluh tahun itu diam dalam tunduknya. Final! Ia tak akan dan tak mau lagi menjawab lebih jauh. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan mengunci rapat-rapat mulutnya tentang hal misteri itu. Bukan pada lelaki itu, atau demi melindunginya, Luka bersikap bungkam. Tapi terlebih itulah komitmen pada dirinya.
Lagipun untuk apa Ibu tahu? Orang tahu? Percuma. Hanya akan membuat gonjang-ganjing gossip saja. Tak akan menyelesaikan masalah. Semua sudah terjadi dan mungkin harus terjadi. Jadi biarlah semua terkubur rapat. Biarlah sang bayi hanya tahu bahwa ia terlahir dari rahim seorang Ibu. Ibu yang mulai mencintainya ketika ia menggelepar-gelepar di dalam perutnya saat Luka meminum obat sakit kepala dosis tinggi. Itulah upayanya melenyapkan sang janin yang terakhir kali. Setelah itu, dengan tekad yang bulat, Luka menjalani harinya menjelang nasib. Sembari diajaknya sang janin berbincang.
“Baiklah Nak! Jika kau ingin hidup, diam-diamlah. Sembunyikan dirimu dari pandangan orang hingga kau terlahir nanti. Dan kita akan terus diam-diam!” gerundelnya seraya mengusap-usap perutnya yang aktif bergerak namun tak jua membesar. Luka masih menjalankan aktifitas seperti biasa. Pergi bekerja ke pub untuk menyambung hidup orang rumah. Semua orang, termasuk orangtuanya, tak melihat perubahan signifikan dari dirinya.
Hingga kemudian, lima bulan setelah itu, dunia geger. Luka melahirkan di bidan desa. Padahal saat itu Ia dikira terkena wabah muntaber karena selalu muntah-muntah dan berak seharian. Epidemi muntaber memang sedang mewabah di kampungnya. Tapi setelah meregang-regang kesakitan di sekitar perutnya, Luka malah melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil. Semua orang ternganga. Desas-desus sontak bergemerisik dari mulut ke mulut, dari orang – orang kampung.
“Tak sangka ya, anak perawan kampung itu melahirkan bayi tanpa ketahuan siapa bapaknya…”
“Mungkin dia sudah gatal hingga melalap sembarangan. Namanya juga kerja di pub. Begitulah jadinya…”
“Sepertinya dia terpedaya rayuan lelaki tampan yang janji mau menikahinya. Padahal cuma menipu. Cuma ingin mengisap sari madunya yang sudah layu. Hik hik…” begitulah desas-desus orang-orang kampung. Hal yang menjadi sangat lumrah dalam kehidupan perkampungan yang begitu rapat rasa sosialismenya, dimana setiap orang selalu ingin saling tahu dan saling peduli.
Demi Luka, ia bukannya tak gerah dengan penghakiman itu. Bahkan tubuhnya yang barus saja letih karena melahirkan menjadi gigil seperti meriang. Ia kalangkabut dengan interogasi Ibu dan seluruh keluarganya, pun gunjingan para tetangga.
Terlebih lagi ketika Pak RT melaporkan kejadian itu pada perangkat desa. Lurah datang dengan rombongan, menyambangi rumah Luka dan melihat Bayi yang baru dilahirkannya. Menyerangnya pula dengan segudang pertanyaan. Berapa berat bayi, jam berapa dan dimana melahirkan. Bidan yang menangani proses persalinan hingga ke tetek bengek. Semua ditanyakan. Jeli seperti takut ada yang tertinggal.
“Lantas, dia ini anak siapa Luka?” sampailah Lurah pada pertanyaan inti itu. Luka mendadak kelu. Diam membawa tunduknya, seperti biasa yang dilakukannya akhir-akhir ini, jika ada orang yang bertanya tentang itu.
“Luka…Bapak bertanya…” Lurah menegaskan pertanyaannya lagi. Luka beranjak dari duduknya, merangkul dan menggendong si jabang bayi.
“Dia…anakku Pak!” jawab Luka pelan.
“Anakmu? Tak kan dia lahir begitu saja. Luka, kau tahu setelah Siti Maryam, tak ada lagi perempuan yang diberi keistimewaan dan mukjizat dari Allah untuk melahirkan bayi tanpa ada lelaki yang membuahinya. Kau pasti paham itu kan?” Pak Lurah sedikit berdalil.
Luka mengangguk.
“Saya tahu pak!”
“Lantas? Siapa Bapak anak itu Luka?” Lurah kembali mendesakkan pertanyaan serupa.
Luka sesaat salah tingkah. Bingung. Resah. Ia terus berpikir, mencari cara agar ia tak terus-terusan didesak dengan pertanyaan serupa yang Ia sudah berjanji tak akan membukanya pada sesiapa.
“Siapa Bapak dari bayi ini? Apakah itu penting buat Bapak? Bayi ini sudah saya selamatkan Pak, dengan naluri keibuan saya. Tak ada kasus yang menyeramkan dan memalukan buat Bapak dan masyarakat desa semua. Adapun saya melahirkan anak sendirian, itulah aib saya. Buka aib masyarakat atau pemerintahan Bapak!” Jawab Luka kemudian, dengan wajah tengadah.
Jawaban yang berkelebat barusan yang tentu saja membuat Lurah terperangah, menengadahkan wajah.
“Kamu menjawab pertanyaan Bapak terlalu jauh Luka…”
“Maaf Pak, pertanyaan Bapakpun terlalu memojokkan saya. Saya sudah menjawab, dia anak saya. Siapapun Bapaknya toh pada kenyataannya saya melahirkan sendirian Pak. Anak itu lahir dari rahim saya, semua orang tahu. Bidan saksinya. Dia anak saya. Darah daging saya. Jika besar nanti, dia akan punya garis nasab lurus dan jelas dengan saya. Hanya dengan saya. Adapun nanti tentang asal muasal hingga anak itu lahir, biarlah itu menjadi urusan yang akan saya perhitungkan sendiri dengan Tuhan saya. Pak, saya sudah berat menanggung beban saya dengan Tuhan. Janganlah ditambah dengan penghakiman manusia juga!” suara Luka semakin lantang memberikan jawaban. Manik matanya lurus dan tajam menghunjamkan pandang pada Lurah yang tergugu kelu di hadapannya.
“Tapi kau hidup di tengah-tengah masyarakat, Luka. Selain hukum Tuhan, kaupun mesti patuh dan mengikuti hukum sosial. Hukum yang berlaku di negaramu. Anak ini nanti bakal butuh akte kelahiran. Itulah sebabnya Bapak bertanya detail. Jika anak itu lahir tanpa Bapak, bagaimana kau akan menguruskannya. Bagaimana kau akan mendapatkan akte lahir anakmu. Lagipun, kau ini manusia. Bukan kambing. Jika kambing betina melahirkan, tak ada Bapaknyapun dia taka apa-apa karena dia tak butuh nikah, tak butuh akte kelahiran. Tapi kamu? Kamu mesti menikah jika memang anak ini lahir dari perbuatanmu dengan seorang laki-laki. Anakmu butuh pigur Bapak. Butuh akte juga untuk bekal kehidupannya nanti…”
“Saya akan menikah Pak! JIka jodoh saya sudah sampai. Dan akte itu, saya akan menguruskannya…”jawab Luka tetap degil. “Yang perlu bapak tahu, dia adalah anakku!” tegas Luka lagi.
Lurah angkat bahu. Dengan menyisakan kepenasarannya iapun tak bisa berbuat apa selain pamit dan berlalu.
Untuk sesaat Luka lega dari berondongan pertanyaan tentang anaknya. Ditatapnya bayi merah yang terlelap. Sesungging senyum nelangsa tersembul dari mulutnya. Bayi merah kudus itu, sungguh tlah membuatnya jatuh cinta. Ohh…dia memang anakku. Meski matanya, hidungnya, warna kulitnya adalah milik seseorang… Ahh Tapi dia anakku. Bukan anak siapa-siapa. Hanya anakku. Hanya aku satu-satunya yang ia miliki. Pelan, air matanya menggeluyur menyusur lembah pipinya.
***

Komento sa Aklat (39)

  • avatar
    TasidjawaRusni

    lelaki mencintai bunga

    27d

      0
  • avatar
    Tengker3Afgan

    mntp

    22/07

      0
  • avatar
    BaeAditia

    lanjutannya

    07/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata