logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

PERKENALAN BIMA DAN WULAN

“Kakak...” Wulan melongok dari balik pintu kamar Mentari setelah sebelumnya mengetuk pintu dan pemilik kamar menyuruhnya masuk.
“Ada apa?” Mentari mengangkat wajahnya dari layar laptop. Kertas-kertas berserakan di sekeliling ranjangnya.
Bukannya menjawab, Wulan malah menertawakannya. “Kakak sedang apa? Kerja? Sejak kapan Mentari Arianna pulang ke rumah membawa pekerjaan dari kantor?”
“Aku dikejar deadline. Pak Danu mengancam aku, kalau sampai pertengahan bulan laporan ini belum beres...”
“Dor! Mati kau!” Wulan melengkapi kalimatnya.
Mentari mengangguk pasrah. “Beginilah nasib pekerja kantoran.”
“Oiya, sampai lupa. Ada yang mencari Kakak di luar.” Sejurus ia teringat kembali tujuannya masuk ke kamar kakaknya.
Alis Mentari yang tebal terangkat. “Siapa? Meilia?”
“Bukan, kalau Mei yang datang, buat apa aku suruh menunggu di luar. Pasti langsung aku ajak ke sini.”
“Memangnya kamu tidak tanyakan namanya?” tanyanya sambil membuka pintu lemari untuk mencari pakaian yang sopan untuk menerima tamu.
“Lupa.” Wulan tertawa kecil.
“Seharusnya kamu tanya,” Mentari menasehatinya dengan sabar.
“Biasanya, kalau ada tamu yang tidak aku kenal, aku tanyakan dulu namanya. Yang ini tidak. Aku grogi, masalahnya...”
“Kenapa harus grogi? Itu debt collector?”
“Sembarangan!” Wulan tergelak. “Orangnya ganteng,” bisiknya.
“Laki-laki?”
Wulan mengangguk.
“Kalau yang datang debt collector yang ganteng, kamu groginya jadi dobel?”
“Sudah, cepat lihat ke sana!” Dia mendorong pinggang kakaknya agar bergegas.
Mentari tidak mempunyai bayangan akan siapa gerangan tamu laki-laki itu. Dia tak punya teman laki-laki selain rekan kerja di kantor. Teman lelakinya yang terbaru hanyalah Bima. Tapi ia sangsi kalau Bimalah tamu yang datang itu.
Dan ternyata memang Bima. Suatu kejutan kecil di suatu sore menjelang malam Minggu!
“Wow! Kejutan!” Mentari menyapanya dengan hangat.
“Sori, aku berkunjung tanpa izin.”
“Mau izin kemana? Kamu kan tidak punya nomor telepon aku.”
“Maka dari itu, aku ke sini untuk minta nomor kamu.”
Hmmm, kenapa waktunya bertepatan di malam Minggu begini? Mentari bertanya di dalam hati. Jangan-jangan hanya alasan saja. Hush, jangan terlalu percaya diri, tegur hati kecilnya.
Bima sudah memegang telepon selularnya, siap mencatat nomor telepon Mentari.
“Tunggu sebentar, aku lupa nomorku sendiri.” Mentari melesat masuk ke dalam rumah untuk mengambil telepon genggamnya.
Wulan berdiri di ambang pintu kamarnya, mengatakan sesuatu yang tak terdengar, tapi Mentari bisa membaca gerak bibirnya yang mengatakan, “Siapa?”
Mentari pun menjawab tanpa bersuara. “Bima.”
Bola mata Wulan melebar karena takjub. “Oh, wow! Sudah kuduga.”
Mentari merasa geli melihat ekspresinya. “Kenapa oh, wow?”
“Ganteng,” bisik Wulan ke telinganya. Sebenarnya tidak perlu, karena jarak mereka cukup jauh dengan teras di mana Bima berada.
“Kenapa kalian berbisik-bisik seperti itu?” Tiba-tiba Mama muncul di dekat mereka, ikut berbisik.
Wulan berpindah ke sisi ibunya dan berbisik, “Yang di teras itu Bima. Ganteng, ternyata.”
“Masa?” Alis Mama terangkat tinggi penuh rasa penasaran.
“Mama bisa mengintip melalui jendela ruang tamu,” usul Wulan.
Mentari menggeleng-gelengkan kepala dan meninggalkan keduanya. Ia mendapati Bima tengah mengamati koleksi tanaman hias Papa dengan penuh minat.
“Suka tanaman hias?” Mentari ikut berjongkok di sampingnya.
“Lumayan suka. Ibuku punya koleksi tanaman seperti ini juga.” Kembali Bima mengeluarkan teleponnya sambil bangkit berdiri. “Berapa nomor kamu?”
Mentari menyebutkan serangkaian angka, dan Bima mencatatnya dengan tenang.
“Aku save, ya. Jadi lain kali kita bisa janjian ketemu sebelum naik bis.”
Ada yang berdendang riang di dalam hati Mentari. Tak pernah disangkanya, perkenalan dengan Bima bisa berlanjut ke tahap ini dengan lancar. Dan tidak perlu mengorbankan rasa gengsinya. Mentari adalah jenis perempuan yang terlalu gengsi untuk menunjukkan perasaaannya kepada seorang laki-laki yang disukainya. Dia hanya akan menunggu sampai si lelaki mengutarakan perasaannya terlebih dahulu.
“Oiya, aku bikin minum dulu, ya. Mau minum apa?”
“Minuman apa saja yang tersedia di rumah ini?”
Mentari berpikir sejenak. ”Kopi, teh, susu. Minuman bersoda juga ada.”
“Apa sajalah. Kamu biasanya minum apa sore-sore begini?”
“Biasanya susu, sama Oreo.”
Bima meneliti wajahnya. Apakah gadis ini bercanda? Masa gadis sebesar ini masih minum susu? Ditambah Oreo pula.
“Aku tidak bercanda.” Mentari menjawab keraguannya dengan ekspresi serius, tepatnya berusaha untuk terlihat serius. “Susu dan Oreo adalah favoritku.”
“Aku kopi saja,” sahut Bima buru-buru, sebelum ia ditawari minum susu.
“Oke...” Mentari beranjak ke dalam rumah, namun mendadak berhenti dan tersenyum geli saat menyaksikan keluarganya tengah bergerombol di balik jendela yang memisahkan ruang tamu dan teras untuk mengintip tamunya, termasuk Papa.
“Apa-apaan kalian ini...” Mentari tak tahan untuk tidak tertawa, ia menutup mulutnya dengan tangan agar tawanya tak terdengar oleh Bima.
“Ssst...” Mama menyuruhnya diam, takut ketahuan sedang mengintip.
Papa hanya mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar, pertanda bahwa ia menyukai teman anak gadisnya.
Mentari membuatkan tamunya kopi sambil tersenyum-senyum sendiri, tak habis pikir dengan kelakuan keluarganya.
Ia keluar membawa nampan, melewati lagi keluarganya yang masih tekun mengamati gerak-gerik tamunya, dan ia pun mengedipkan sebelah mata pada mereka. Seandainya Bima tahu apa yang keluarganya lakukan dari dalam rumah.
Sekali lagi Papa mengacungkan jempol.
Bima melihat kepada nampan berisi dua cangkir kopi dan toples-toples berisikan kue dan keripik yang diletakkan Mentari di meja jati kecil di depannya. “Kamu minum kopi juga? Bukannya susu?”
Tawa Mentari pecah. “Haha! Aku hanya bercanda, Bima. Kamu ini sangat gampang ditipu.”
Bima ikut tertawa bersamanya.
“Yang membuka pintu itu adikmu?”
Ada rasa tidak enak menelusup di hati Mentari mendengar pertanyaan itu, namun dijawabnya dengan santai, “Iya. Cantik, kan?”
“Iya, cantik,” jawab Bima singkat, tanpa maksud apapun. Kamu juga cantik, lanjutnya berkata dalam hati.
“Namanya Wulan.” Kembali Mentari memberikan informasi tentang adiknya tanpa diminta, hanya sekedar ingin tahu reaksi Bima.
“Eh, apa?” Rupanya Bima tidak terlalu memperhatikan perkataannya, karena matanya terpaku pada seekor kucing berbulu putih lebat yang mendekat ke arahnya, kemudian menggusal-gusalkan hidung ke kakinya.
“Aku bilang...” Mentari mengulangi dengan sabar. “Nama adikku Wulan.”
“Oiya.” Tangan Bima kini sibuk mengelus-elus kepala kucing itu, yang mendengkur dengan nikmat di dekat kakinya. “Dan, adik laki-laki kamu yang meninggal namanya Cakra, bukan?” Ia tersenyum pada kucing itu. “Eh, kucing ini cantik sekali,” lanjutnya.
Mentari tak menggubris perkataannya tentang kucing itu, karena kepalanya menengadah memandangi langit yang membentang indah di sore menjelang petang ini.
“Ya, namanya Cakrawala,” ucapnya setengah melamun.
Bima menghentikan keasyikannya membelai kucing, memberikan perhatian penuh kepada Mentari. “Nama kalian bertiga begitu unik. Mentari, Cakrawala.”
“Coba kamu tebak nama Wulan.”
Bima berpikir sejenak sebelum menjawab, “Mungkin Rembulan?”
“Wow, bagaimana kamu bisa menebaknya dengan benar?” Mata Mentari bersinar takjub memandangnya. Orang-orang yang pernah ia tanyai sebelumnya tidak pernah ada yang berhasil menebak dengan tepat nama asli Wulan. Semuanya akan menebak Wulandari.
“Karena nama kamu Mentari, dan nama adikmu Cakrawala, pastinya nama adik kamu yang lain tak jauh-jauh dari benda di langit.”
“Kamu memang cerdas,” pujinya setulus hati, membuat Bima tersipu malu.
“Terus saja kamu puji aku, biar kepala ini makin membesar dan aku tak sanggup berjalan pulang membawa kepala yang menggelembung besar akibat pujian.”
Mentari tertawa kecil.
“Ya, nama kami bersaudara memang unik. Aku lahir di siang hari, saat matahari sedang bersinar terang, sehingga dinamai Mentari.”
“Dan Wulan lahir di malam hari saat bulan sedang bersinar penuh?” Bima menebak, yang diiyakan oleh Mentari.
“Dan Cakrawala?”
Ada setitik duka di matanya saat menjawab, “Ada juga cerita saat dia dilahirkan. Saat itu Mama melahirkannya di suatu rumah bersalin di dekat pantai. Sambil menunggu kelahirannya, Papa mengamati matahari yang tenggelam di pantai. Matahari yang awalnya membentuk bulatan penuh, kemudian menjadi setengah, dan perlahan menghilang ditelan laut. Garis cakrawala yang terbentuk sangat mempesonakan Papa.”
Bibir Bima agak terbuka sedikit menyaksikan gadis manis di hadapannya berbicara dengan begitu lembut dan penuh perasaan. Suaranya mengandung magis, seakan-akan sedang berdeklamasi. Salah satu bentuk keindahan yang pernah aku jumpai dalam hidup, ia mengakui dalam hati.
“Kalau kita ada di tepi pantai saat ini, mungkin kita bisa menyaksikan cakrawala.” Matanya ikut menengadah ke langit, seolah-olah hendak mencari garis batas matahari sebelum menghilang ke peraduannya.
Suara deringan telepon dari dalam rumah membuat keduanya tersentak. Sayup-sayup Mentari mendengar suara Wulan menjawab telepon itu. Tak lama kemudian dia muncul sambil membawa pesawat telepon cordless untuk Mentari.
“Meilia.” Hanya itu yang dikatakannya sambil menyerahkan pesawat telepon. Ia menolehkan kepalanya ke arah Bima dan tersenyum dengan malu-malu. Bima membalas dengan senyuman sopan.
“Bim, aku masuk dulu. Wulan, tolong temani Mas Bima,” pamit Mentari sebelum masuk ke dalam rumah sambil tetap berbicara di telepon. “Halo Mei, kamu ada di mana...” Suaranya pun menghilang.
“Hai, Mas Bima.” Dengan grogi Wulan menyapanya.
“Halo, Wulan. Senang berkenalan dengan adiknya Mentari,” balas Bima dengan kaku.
“Aku juga senang berkenalan dengan temannya Kakak.” Wulan tertunduk sejenak, mencoba mencari kata-kata percakapan selanjutnya. “Sudah lama jadi temannya Kakak?”
Namun dia kaget dengan kata-katanya sendiri, yang jika dipikir-pikir, terdengar kurang sopan.
Bima menjawab, “Belum lama, baru sekitar dua mingguan.” Dia melanjutkan dengan serius, “Kamu sendiri, Wulan, sudah lama menjadi adiknya Mentari?”
Keduanya saling berpandangan, lalu tertawa berderai. Menertawakan lelucon konyol barusan.
Suasana yang awalnya kaku kini menjadi cair. Bima dan Wulan bercakap-cakap dengan santai tentang beberapa hal. Tetapi pada intinya, mereka lebih banyak membicarakan Mentari. Bima memperoleh beberapa informasi mengenai gadis itu dari adiknya.
Mentari masih berbicara di telepon saat didengarnya ledakan tawa dari luar, membuatnya mengernyitkan kening.
Ia cepat-cepat menyudahi percakapannya dengan Meilia, dan bergegas keluar, mendapati Wulan dan Bima sedang mengobrol seru.
“Sedang membicarakan diriku?” Ia duduk di samping Wulan, dan merangkul bahunya.
“Iya, kata Mas Bima, Kakak cantik,” celoteh Wulan dengan polosnya, membuat Bima melotot padanya dengan wajah memerah.
Mentari ikut memelototi adiknya. Sekalipun apa yang dia katakan benar, tidak pada tempatnya hal itu dilontarkan di depan orangnya langsung.
“Mungkin kamu salah dengar.” Mentari tak ingin mempermalukan Bima lebih jauh.
Bima pun terlihat salah tingkah. Untungnya, telepon selulernya berbunyi, sehingga dia punya alasan untuk tidak melanjutkan topik tersebut.
“Sebentar...” Ia meminta izin untuk menjawab telepon itu.
Saat Bima berbicara di telepon, Mentari memarahi adiknya lewat tatapan mata dan isyarat tangan. Wulan hanya terkikik sambil menutup mulutnya dengan tangan.
Bima mengakhiri percakapan di telepon dan menghampiri keduanya. “Aku pamit ya, sudah mulai gelap.”
Kedua kakak-beradik itu bangkit untuk mengantarnya sampai ke pintu gerbang.
“Hati-hati...” Mentari sengaja memenggal kalimatnya, matanya yang berkilat nakal terarah pada persimpangan jalan tak jauh dari situ. “Kadang ada penampakan.”
Bima menoleh dan tertawa. Mentari ikut tertawa. Wulan kebingungan sendiri, tak mengerti apa yang mereka tertawakan.

Komento sa Aklat (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata