logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

AWAL PERKENALAN

Pukul empat sore merupakan waktu pulang kerja bagi sebagian besar pekerja kantoran di kota Jakarta. Sekitar ratusan karyawan serentak bergerak keluar dari kantor masing-masing menuju jalan-jalan protokol; dengan kendaraan pribadi maupun dengan berjalan kaki menuju halte-halte bis di pinggir jalan.
Begitu pula dengan Mentari, yang pergi-pulang bekerja menggunakan kendaraan umum. Bersama dengan pekerja lainnya, baik yang ia kenal maupun tidak, ia bergerak mengikuti arus manusia di sela-sela padatnya kendaraan yang berseliweran dan bisingnya suara klakson kendaraaan yang setiap saat menyapa gendang telinga.
Ia menyapa beberapa orang yang ia kenal dengan ramah, lalu saling melambai jika ada yang sudah mendapatkan bis tujuan mereka.
Setengah jam menunggu, akhirnya bis jurusan Depok yang dinantinya datang juga. “Sampai jumpa besok!” Dia melambai pada beberapa gadis yang dikenalnya.
“Hati-hati!” balas mereka.
Mentari menaiki bis itu dengan ragu. Di dalamnya sudah sarat akan penumpang, sementara yang mengantri di luar ada lumayan banyaknya.
Sambil mendekap tas kerjanya di dada, ia beringsut masuk, didorong ke sana kemari karena ukuran tubuhnya yang relatif mungil.
Sungguh, ingin menangis rasanya. Bergelantungan di dalam bis yang penuh sesak, ia terjebak di antara penumpang laki-laki. Rata-rata penumpang wanita akan segera melipir ke area depan, dekat pengemudi. Tetapi dia tak sempat mencapai area depan bis karena keburu terhalang oleh gelombang penumpang laki-laki yang masuk bersamanya.
Hembusan napas hangat dari laki-laki di belakangnya menggelitik lehernya, membuatnya merinding. Mau maju untuk menghindarinya, tak ada lagi ruang kosong di depan, meskipun hanya seinci.
Perlahan tapi pasti, dia merasakan sesuatu yang menonjol menyentuh area belakang tubuhnya. Oh, jangan aku, ratapnya. Teringat cerita teman-teman yang pernah mengalami pelecehan serupa di dalam bis.
Mentari menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara teratur dan berulang-ulang, mencoba untuk tidak memikirkan penderitaan yang sedang dialaminya. Tetapi usahanya buyar karena hembusan napas di belakangnya makin terasa intens. Badannya menggigil tiba-tiba.
Dengan ekpresi nelangsa, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, dan mendapatkan tatapan iba dari seorang penumpang pria berkemeja garis-garis yang tengah bersandar di pintu bis. Mentari seketika menundukkan kepala dengan malu, jangan sampai pria ini mengetahui hal memalukan yang menimpanya.
Dia menghitung berapa halte lagi yang harus dilalui sebelum sampai ke tujuannya. Masih ada sekitar lima halte lagi.
Selang beberapa menit kemudian Mentari merasakan seseorang bergeser ke arahnya, tahu-tahu pria berkemeja garis-garis itu sudah berada di sisinya. Tangannya menepuk sopan pria setengah baya yang berada tepat di depan Mentari, sambil berkata, “Maaf Pak, bisa tolong bergeser sedikit? Biar Mbak ini bisa bergeser ke depan.”
Mentari hampir tak bisa mempercayai pendengarannya. Benarkah pria ini meminta lelaki di depannya bergeser agar dia bisa lewat? Dia mendongak, memandang pria baik hati ini, yang membalas mengangguk kepadanya sebagai isyarat agar ia segera maju ke bagian depan bus. Entah mengapa, wajah Mentari memerah. Apakah karena perasaan malu akibat pria ini tahu pelecehan yang dialaminya, ataukah karena seraut wajah tampan pria baik hati itu?
Lelaki setengah baya itu menoleh dan tersenyum ramah, membuka jalan sekalian memberi isyarat kepada orang-orang di dekatnya agar bergeser sedikit. ”Silahkan, Mbak.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih, Mas. Terima kasih.” Berkali-kali Mentari mengucapkan terima kasihnya setiap ada yang bergeser untuk memberinya jalan.
Dia menempatkan badannya di dekat pengemudi bis, menarik napas lega dan bersyukur atas kenyamanan kecil yang diberikan pria berkemeja garis-garis itu. Matanya mencari keberadaannya, dan menemukan pria itu kini berada persis di posisi dirinya sebelumnya, di depan pria terkutuk yang barusan melakukan pelecehan terhadapnya, yang memberengut kesal karena kehilangan mangsa. Rasakan, pekik Mentari dalam hati. Dia sangat bersyukur, di ibukota negara Indonesia yang terkenal kejam ini, masih ada manusia yang peka dan peduli pada sesamanya, terlebih pada kaum wanita yang lebih rentan dan lemah seperti dirinya.
Seorang anak berseragam sekolah berdiri untuk memberinya tempat duduk. “Silahkan duduk, Mbak.”
Dia tertegun, merasakan ironi yang membuatnya meringis. Dirinya masih muda, baru dua puluh lima tahun, sehat dan bugar, sementara di sekitarnya terdapat beberapa wanita lebih tua darinya yang lebih membutuhkan duduk, tapi anak SMA itu malah memberikan tempat duduknya kepada dirinya.
Namun karena ingin menghargai kebaikan orang, dia tersenyum dan berterima kasih dengan penuh penghargaan.
Saat hendak meletakkan tubuhnya di kursi, ia melihat seorang wanita tua tengah menenteng tas besar yang terlihat berat. “Ibu, silahkan duduk.” Mentari mempersilahkan wanita itu duduk di tempatnya.
“Syukurlah, terima kasih.” Wanita itu duduk dengan lega. Dia terlihat begitu kelelahan berdiri sepanjang waktu.
Empat halte lagi yang harus dilalui Mentari. Tak mengapa, batinnya, aku muda, sehat, dan bahagia. Diliriknya lelaki berkemeja garis-garis itu, dan ternyata lelaki itu pun sedang memperhatikannya. Jantungnya berdetak tak karuan. Inikah yang namanya debaran jatuh cinta?
Keesokan harinya saat pulang kerja, Mentari berharap bisa bertemu lagi dengan lelaki itu. My superhero. Ia menjuluki pria itu.
Tapi rupanya sore ini hidupnya tak seindah harapannya di pagi hari saat berangkat kerja dengan penuh semangat. Sang superhero tak kelihatan di dalam bis yang akan ditumpanginya. Yang dilihatnya malahan pria bejat yang kemarin melecehkan dirinya. Sial sekali! Dia pun urung memasuki bis itu, dan memilih menunggu bis lain meskipun datangnya masih lama.
Mentari turun di halte tujuannya agak terlambat dari seharusnya, matahari sudah tenggelam di ufuk barat, dan penumpang yang turun bersamanya tidak sebanyak biasanya. Suasana halte itu agak sepi dan menyeramkan. Melalui ekor mata, ia menyadari seseorang sedang memperhatikannya, membuatnya sedikit panik.
Ia mempercepat langkahnya sambil berdoa, semoga bukan begal atau jenis penjahat lain. Berbagai pikiran buruk melintas di kepalanya, apalagi mengingat pelecehan yang kemarin dialaminya, membuatnya makin mempercepat langkah. Ingin mengeluarkan telepon selular untuk menghubungi ayahnya, tapi ia takut hal itu malah membuka peluang bagi penjahat untuk menjambretnya. Harusnya aku ikut belajar pencak silat bersama Wulan, pikirnya penuh sesal.
“Hai, halo...” Terdengar suara menyapa dari belakangnya. Nadanya ringan dan ramah, intonasinya enak didengar, suara seorang terpelajar. Seorang penjahat tidak mungkin menyapa seperti itu. Karena penasaran, Mentari spontan menoleh.
Kembali dadanya berdetak kencang, tapi bukan rasa takut yang timbul, melainkan perasaan bahagia yang sulit untuk dilukiskan. Senyumnya merekah seketika. Pria berkemeja garis-garis! Tapi saat ini pria itu mengenakan kaos kasual dan celana jeans.
“Baru pulang jam segini?” Pria itu mempercepat jalannya untuk menjejeri langkah Mentari.
Mentari menggigit bibir, teringat penyebab ia terpaksa menunggu bis berikutnya sehingga terlambat pulang seperti ini. “Bisnya penuh sekali tadi,” jawabnya kurang meyakinkan.
Pria itu sepertinya menyadari keenggananan Mentari menjawab, maka dia mengalihkan topik pembicaraan. “Di Jakarta hujan, tidak? Di sini sempat gerimis sebentar.”
“Tidak hujan, hanya mendung tebal saja.”
Tiba-tiba Mentari menyadari sesuatu. “Kamu tidak masuk kerja hari ini?” Pria ini mengenakan pakaian biasa, tidak berpakaian formal ala pekerja kantoran. Dan dia juga menanyakan cuaca di Jakarta.
“Iya, aku cuti hari ini. Ada keperluan keluarga di Bogor tadi pagi.”
Mentari mengangguk, ingin sekali menanyakan lebih lanjut tentang keluarganya di Bogor. Tapi hal itu masih terlalu dini, mereka belum saling mengenal, bahkan belum mengetahui nama masing-masing.
Seolah bisa membaca pikiran Mentari, pria itu berkata, “Oiya, aku Bima. Bimasakti.”
Mentari terdiam, sedang berpikir.
Karena gadis di sampingnya tak kunjung memperkenalkan namanya, Bima tak tahan untuk bertanya, ”Kalau kamu?”
Kilatan jahil terpancar dari mata Mentari saat ia mendongak memandang Bima dan menjawab, ”Andromeda.”
“Hah? Serius?” Bima balas memandangnya tak percaya.
“Haha! Bercanda.” Mentari tertawa renyah. “Aku Mentari.”
“Nama yang bagus,” puji Bima tulus.
“Nama kamu juga bagus. Bimasakti. Galaksi tempat Bumi dan planet-planet lain beredar.”
“Seandainya nama kamu Andromeda...” Bima sengaja menggantung kalimatnya, menunggu reaksi Mentari.
“Memangnya kenapa?” Mentari memasang tampang polos, pura-pura bodoh.
“Kamu mengerti astronomi kan?”
Mentari tergelak. “Iya, iya... Aku mengerti. Selain galaksi Bimasakti tempat beredarnya Bumi dan planet lain, ada juga galaksi lain di alam semesta ini, Andromeda, Magellan, Ursa Mayor...” Ia berhenti sejenak, kemudian berkata dengan jenaka, “Otakku tak sebodoh tampangku.”
Bima mengerutkan kening dan berkata dengan serius, “Siapa bilang tampangmu bodoh? Aku yakin, otakmu sama inteleknya dengan penampilanmu.”
“Haha, terima kasih atas pujiannya.” Mentari tertawa lepas. Nilai lelaki ini makin naik di matanya. Seorang yang baik hati, peka, dan tulus. Juga ganteng dan keren.
“Dan jangan lupa, Mentari itu pusat tata surya Bimasakti,” lanjutnya sambil mengedipkan mata.
Bima memikirkannya sejenak sebelum berkata, “Oh, iya ya.” Dia pun tertawa.
“Ngomong-ngomong, kamu tinggal di sini ya? Aku tidak pernah melihatmu selama ini,” tanya Mentari.
“Aku baru sekitar dua bulan pindah ke sini, karena pekerjaan,” jawab Bima.
“Sebelumnya di Bogor, bukan?” tebak Mentari
Bima mengangguk. “Bagaimana suasana di bis tadi? Masih penuh sesak?”
“Aku beruntung hari ini, bis yang kutumpangi agak kosong.”
“Jadi kamu bisa duduk dengan nyaman?”
Mentari menggeleng dan tersenyum. “Ada yang lebih membutuhkan tempat duduk dibanding kita-kita yang masih muda dan sehat ini.”
Bima mengerti maksudnya. Sebenarnya dia sudah beberapa kali berjumpa dengan gadis ini di dalam bis. Gadis yang mengesankan hatinya, karena hampir tidak pernah duduk di dalam bis. Kursinya selalu dia berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Makanya hatinya tergerak membantunya, saat kemarin dilihatnya gadis baik hati itu terhimpit di antara penumpang laki-laki. Melihat ketidaknyamanan di wajah dan gestur tubuh gadis itu, dia yakin telah terjadi sesuatu. Dan kecurigaannya makin nyata waktu dia melihat laki-laki di belakang Mentari sengaja memepetkan tubuhnya ke tubuh gadis itu.
“Oiya, itu rumahku sudah dekat,” sahut Mentari tiba-tiba, membuyarkan lamunan Bima. “Rumah kamu masih jauh?”
“Dekat kafe yang berwarna hijau itu. Sebenarnya bukan rumah pribadi. Aku menyewanya bersama dua orang teman.”
“Oh, dekat Kafe Hijau. Aku tahu kafe itu. Espresso-nya enak.”
Bima tertawa. “Sebenarnya namanya bukan Kafe Hijau, aku juga lupa namanya. Hanya saja karena interior dan eksterior bangunan itu hijau semua, orang-orang menyebutnya Kafe Hijau.”
“Kalau begitu mari kita sebut saja namanya Kafe Hijau,” timpal Mentari.
Mereka berhenti di depan rumah megah berpagar hitam rapat yang menjulang tinggi. Mentari sebenarnya tidak ingin masuk ke dalam rumahnya, sore ini terlalu indah untuk diakhiri dengan perpisahan. Siapa yang tahu besok-besok dia tak akan berjumpa lagi dengan Bima.
“Mmmm, aku masuk ya, hati-hati di jalan.” Nada suaranya terdengar seperti seorang istri yang melepas suaminya berangkat kerja, membuat Bima tergelak.
“Hey, rumahku hanya beberapa puluh meter dari sini, kenapa aku harus hati-hati?”
“Mmm, soalnya, di persimpangan jalan itu sering terlihat penampakan...” Mentari sengaja menggantung kalimatnya.
Bima meneliti wajah gadis itu, mencari keseriusan di sana. Dia tak ingin tertipu. Gadis ini senang mencandai orang, bahkan di awal perkenalan mereka, gadis ini sudah mengerjainya.
Benar juga, seringai kecil muncul di wajah gadis itu, membuatnya sadar kalau dia dikerjai lagi.
“Memang ada penampakan di sana, penampakan jalan. Kamu pikir apa? Penampakan hantu?”
“Ha ha! Dasar!” Ingin rasanya Bima mengacak-acak rambut gadis itu. Menggemaskan. “Bye” Dia melambaikan tangan sebelum berlalu. “Sampai bertemu lagi besok.”
Mentari yang sudah akan mendorong pintu pagar yang berat mengurungkan niatnya. Benarkah pendengarannya barusan? Bima mengatakan sampai bertemu besok? Apakah pria itu mengharapkan pertemuan lagi dengannya? Aw aw! Dadanya kembali berdebar-debar dengan penuh kebahagiaan.
“Oi, sudah lupa rumah sendiri?” Wulan, sambil tersenyum geli, memanggil kakaknya yang terpaku di luar pagar.
Mentari memonyongkan bibirnya, meledek adiknya. “Bisa jadi. Mungkin juga aku sudah lupa punya adik seperti kamu.”
Sambil bersiul-siul riang ia menowel pipi adiknya.
“Tidak mungkin!” teriak Wulan manja sambil mencium pipi kakaknya. ”Susah untuk melupakan adik semanis aku.”
“Terserah kamu saja.” Mentari kembali memonyongkan bibirnya, tidak berminat meladeni kemanjaan Wulan.
Mama dan Papa yang sedang bersantai di sofa tersenyum bahagia, menyaksikan kedua anak gadis mereka begitu rukun dan saling menyayangi.
Namun kebahagiaan itu menyusut saat Mentari menceritakan nasib sial yang menimpanya di dalam bis kemarin.
“Kurang ajar!” Papa berteriak marah, mengutuk lelaki bejat itu, wajahnya menghitam penuh kemarahan.
Mama mengelus lembut punggungnya, mencoba menenangkan.
“Kenapa kamu baru cerita?”
“Maaf Papa, kemarin Papa dan Mama belum sampai di rumah waktu aku pulang.” Mentari tertunduk.
“Kamu bisa cerita tadi pagi waktu sarapan.”
“Aku terburu-buru tadi. Maaf...”
“Besok dan seterusnya kamu ke kantor bawa mobil. Pakai saja Honda yang kecil itu, jadi kamu bisa lincah menghindari kemacetan.”
“Papa...” Mentari mendesah. “Yang namanya kota Jakarta, bawa mobil sekecil apapun ukurannya, susah untuk tidak terjebak macet. Kecuali kalau naik sepeda motor...”
“No sepeda motor, kamu sudah tahu kan peraturan Papa.”
Mentari paham. Sepeda motor adalah momok dalam keluarga mereka. Dia pernah punya adik bungsu, laki-laki. Cakrawala namanya. Dua tahun lalu meninggal dalam kecelakaan tunggal sepeda motor, umurnya baru lima belas tahun. Sejak saat itu Papa menjadi trauma sama yang namanya sepeda motor, dan menjual semua sepeda motor yang ada di rumah.
“Oke, kalau begitu kamu Papa antar ke kantor, pergi dan pulang.”
“Tapi Papa, Depok-Jakarta itu jauh, belum lagi macetnya...” protes Mentari. Mama dan Wulan mengangguk setuju.
“Tak mengapa, demi anak Papa tercinta.” Papa memandanginya penuh kasih, membuat ia tercekat, tak mampu berkata apa-apa.
“Papa, aku bukan anak Papa yang tercinta?” suara manja Wulan memecahkan suasana penuh keharuan itu, membuat semuanya tertawa lepas.
“Kamu juga anak tercinta Papa. Cakra juga...”
Hening seketika.
“Papa, ada puding enak kiriman Nenek. Mau?” Mama mengalihkan topik pembicaraan. Selalu begitu saat nama Cakrawala disebut.
“Papa, ehm, sebenarnya ada yang menolong aku waktu itu.” Mentari membuka suara. Kemudian dia menceritakan tentang Bima.
Papa sangat antusias setelah mendengarnya. “Dia tinggal di dekat kita? Syukurlah masih ada anak muda berhati baik di zaman ini.”
“Ganteng, Kak?” Wulan menggoda.
“Jelek. Kamu mau aku kenalkan ke dia?”
“Noway!” Wulan kabur ke kamarnya, meninggalkan keluarganya yang terpingkal-pingkal karena ulahnya.

Komento sa Aklat (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata