logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Aku Yang Duluan Mengenalnya

Aku Yang Duluan Mengenalnya

Andiniya


SELAMAT JALAN, ADIKKU

Dulu, delapan tahun lalu, Mentari memandang sepasang pengantin yang berbahagia itu dengan senyum getir dari balik meja penerima tamu. Aku yang duluan mengenalnya. Kalimat itu bergema dengan lantang di dalam sanubarinya, saat menyaksikan betapa serasinya Wulan –si cantik adik perempuan satu-satunya– bersanding dengan Bima –si ganteng yang dikenalnya di transportasi umum, setahun yang lalu.
Suatu suara –dari sisi hatinya yang baik– memarahi, “Jangan iri. Ikhlaskan saja. Biarkan adikmu bahagia.”
Iya juga, batinnya, membenarkan kata hatinya yang baik. Wulan terlihat bahagia, seharusnya kakaknya pun ikut berbahagia.
“Tapi... kamu yang lebih dahulu mengenal Bima,” sanggah suara hati yang lain –sisi yang jahat.
“Iya, tapi kamu tidak berjodoh dengan dia,” balas sisi hati satunya.
“Tapi...” Suara hati yang jahat hendak membantah.
“Sudah, sudah...” Mentari bangkit berdiri, sambil mengomel sendiri, memarahi kedua sisi hatinya yang terus berdebat.
“Eh?” Wina, adik sepupu Mentari yang bertugas menjaga meja penerima tamu mendongak, memandangnya heran. “Kakak mengatakan apa barusan?”
“Hehe...” Mentari mengacungkan kedua jarinya membentuk simbol victory sambil tersenyum malu.
Suara pemandu acara yang membahana dari balik mic mengalihkan perhatian keduanya, mengumumkan bahwa ini saatnya sesi pengambilan foto keluarga inti dari kedua mempelai. Wina menepuk bahu kakak sepupunya, sebagai isyarat agar naik ke panggung pelaminan. Mentari mengangguk dan melambai pada gadis montok itu.
Bersama Mama, Papa dan kedua mempelai, dia berpose dengan berbagai gaya. Dari gaya formal yang anggun, gaya santun yang memikat hati, gaya santai yang menggemaskan, sampai gaya konyol yang mengundang tawa para hadirin. Suasana hatinya kembali membaik.
Dia mengucapkan doa dan selamat kepada kedua mempelai itu dengan tulus. Tangan Bima dijabatnya erat, matanya mengandung sedikit ancaman, agar menjaga adiknya dengan sepenuh hati. Dia pun memeluk Wulan penuh keharuan, sedikit air mata mengambang di sudut matanya.
Tepat setengah jam sebelum resepsi pernikahan berakhir, terjadi insiden kecil. Hanya insiden kecil, tapi cukup membuat keluarga menjadi heboh.
Saat Mentari sibuk mengarahkan staf yang membantu untuk membereskan kado-kado maupun hadiah seserahan, seseorang mencolek lengannya dan berkata, “Maaf, aku terlambat.”
Mentari berbalik secara refleks. “Dimas?” Matanya membulat penuh keheranan.
Pasalnya, Dimas adalah rekan kerjanya di kantor, yang tidak mengenal Wulan sama sekali. Memang, di antara mereka pernah ada cerita, dan rekan-rekan di kantor sering menjodohkan mereka berdua. Tapi itu tak mencukupi alasan untuk mengundangnya ke pesta pernikahan adiknya. Tak ada rekan sekerjanya yang mengenal Wulan, sehingga tak satu pun yang diundang Mentari, termasuk laki-laki di hadapannya ini, yang berdandan sangat rapi, dan –ehm– keren juga menurutnya.
“Memangnya kamu diundang?” tanyanya tak sopan, membuat Mama yang saat itu kebetulan melintas, melotot kepadanya.
Mentari mengerling ibunya yang hendak mendekat dengan tatapan yang seolah-olah berkata ‘tak usah ikut campur, aku bisa atasi hal ini’.
Dengan santai Dimas mengeluarkan handphone-nya dari saku, kemudian menunjukkan pesan singkat di dalamnya.
’Dimas, Wulan menikah besok. Resepsinya di Balai Kartini. Datang yaaa.’
“Ampuuuun!” Mentari menepuk dahinya sendiri. “Ternyata terkirimnya ke Dimas yang ini.”
Yang hendak diundangnya adalah Dimas teman masa kecil mereka sebelum pindah ke rumah yang baru di Depok.
Dimas berdiri santai dengan kedua tangan berada di kantong celananya. “Jadi... aku tidak diundang?”
“Diundang kok...” buru-buru Mentari berkata untuk menenangkannya.
“Seandainya tidak ada insiden salah kirim, aku tidak diundang...” Dimas menekuk mukanya sedemikian rupa, sengaja menggantung akhir kalimatnya dengan nada sedih.
Bukannya merasa bersalah, Mentari hanya memutar bola matanya dengan tak sabar. Ia tahu, lelaki itu bercanda, hanya ingin mengusik emosinya. “Tak usah pakai drama.”
Dimas tertawa.
“Karena kamu sudah berada di sini, sekalian kamu ke pelaminan untuk memberi selamat kepada adikku. Dan... ummm, Bima.”
Mata Dimas sempat berkilat saat nama Bima disebut. “Yang jadi pengantin perempuan siapa sebenarnya?” gumamnya lebih kepada diri sendiri sambil berlalu dan melambaikan tangan kepada Mentari.
Nenek-nenek, tante-tante, maupun sepupu-sepupu saling berbisik menyaksikan adegan itu dari jauh. Dalam pikiran mereka, Dimas adalah pacar Mentari. Apalagi tampang Dimas memang ganteng dan penampilannya sangat keren hari ini, membuat sepupu-sepupu yang masih remaja tersenyum-senyum simpul.
Tapi Mentari tidak terlalu mempermasalahkan insiden itu. Itu hanyalah salah satu dari sekian ketololannya. Mood-nya yang kurang bagus menjelang pernikahan Wulan membuat konsentrasinya agak buyar.
Seminggu kemudian Wulan secara resmi pindah dari rumah orang tuanya ke rumah kecil hadiah pernikahan dari ayah Bima.
Mentari merasakan kesepian yang amat sangat, yang baru kali ini dia alami seumur hidup. Setelah bertahun-tahun terbiasa dengan kehadiran Wulan, kini rumah terasa sepi tanpanya. Mama dan Papa pun tak luput dari rasa kehilangan itu.
Selama tiga hari pertama sejak kepergian Wulan, Mentari bolak-balik mengunjungi kamarnya, sekedar mengenang kembali kebersamaan mereka dahulu. Ada tawa, ada air mata. Ada pertengkaran, ada perdamaian. Tapi sejauh ini, keduanya merupakan kakak-adik yang akur dan saling menyanyangi.
Di hari ketiga, Mentari menutup dan mengunci kamar adiknya sambil berbisik, “Sampai bertemu kembali, Wulan.”
Tapi, sebenarnya hal itu tak perlu. Toh adiknya itu pindahnya ke pulau yang sama –hanya berbeda kota– bukan ke planet Mars. Dan dua hari kemudian Wulan datang berkunjung, bahkan menginap selama tiga hari. Alasannya, homesick. Rindu pada Mama, Papa, Mentari, dan kamarnya.
Tiga tahun kemudian, Wulan melahirkan bayi laki-laki yang cantik. Ya, bayi laki-laki yang cantik –kata orang-orang– karena raut wajahnya begitu halus dan rupawan seperti anak perempuan. Mata Mentari berbinar memandangi keponakan pertamanya itu, dan bayi itu pun balas memandangnya dengan ekspresi manis, seolah-olah sedang tersenyum.
“Mama, lihat! Arkana tersenyum padaku.”
Semua yang ada di ruang perawatan itu tertawa geli. Bahkan Papa sampai mengacak-acak puncak kepalanya dengan gemas. “Arkana mungkin bersendawa, tapi bagi kamu kelihatan seperti tersenyum.”
Mentari meringis malu saat menyadari dia telah menjadi bahan tertawaan keluarganya. Matanya menangkap Bima yang sedang menggendong anak pertamanya dengan kaku, maklum anak pertama, jadi belum terbiasa. Dan kalimat itu kembali terlintas. Aku yang duluan mengenalnya. Namun kali ini sudah tidak mengandung gema. Biasa saja, datar-datar saja.
Setiap orang yang ada dalam keluarga mereka bersuka cita menyambut kehadiran Arkana yang merupakan anak petama, cucu pertama, dan keponakan pertama dalam keluarga ini. Papa tidak punya saudara kandung, jadi praktis beliau adalah anak pertama sekaligus terakhir dalam keluarganya. Mama merupakan anak pertama, dengan tiga orang adik yang anak-anaknya masih kecil-kecil.
Maka diaturlah panggilan untuk ‘tante tertua’ dengan sebutan ‘Bunda’. Mentari serasa mendapat kehormatan dengan panggilan itu. Tapi ada tidak enaknya juga di masa mendatang. Kelak, saat dia membawa keponakan-keponakannya untuk jalan-jalan ke mal atau ke tempat umum, para pria tidak ada yang mau meliriknya karena panggilan ‘Bunda’ itu.
Arkana sangat lengket dengan tantenya. Di sela-sela kesibukannya bekerja, tiap akhir pekan Mentari selalu menyempatkan diri berkendara ke kota tempat adiknya tinggal, untuk menengok keponakan kecilnya yang selalu membuat rindu. Kadang dia datang sendirian, kadang mengajak Mama, atau Papa, atau keduanya.
Saat Arkana beranjak besar, wajahnya terlihat tidak terlalu mirip dengan ayah dan ibunya. Lucunya, wajahnya malahan lebih mirip dengan tante yang dipanggilnya ‘Bunda’ itu. Makanya, tak heran apabila orang-orang yang tidak mengetahui hubungan kekerabatan keduanya akan menganggap Mentari dan Arkana adalah ibu dan anak.
Lima tahun sesudahnya, adiknya kembali melahirkan bayi perempuan cantik, lebih cantik dari kakak laki-lakinya, syukurlah. Bisa minder keponakan perempuannya itu kelak kalau kakak laki-lakinya lebih cantik dari dia. Arkana sendiri yang memberi nama adiknya. Aisha.
Sebenarnya bukan itu nama yang hendak diberikan oleh Bima dan Wulan pada awalnya. Tapi Arkana bersikeras, harus itu nama adiknya. Bahkan anak laki-laki montok itu sampai berguling-guling di lantai kalau ada orang yang memanggil adiknya bukan dengan nama Aisha.
Akhirnya setiap orang menyerah, dan pasrah dengan nama Aisha. Untungnya nama itu memang indah didengar, dan memiliki arti yang bagus. Entah dari mana anak itu mendapatkan nama untuk adiknya, setiap orang bertanya-tanya.
Bima mengangkat bayi perempuannya ke udara dengan penuh kebahagiaan, sementara anak laki-lakinya menggelantung di kakinya. Menatap mereka dengan senyum haru, kalimat itu terlintas lagi di benaknya. Aku yang duluan mengenalnya. Hanya saja kali ini sudah tidak ada nada penyesalan.
Wulan mengalami kesulitan saat persalinan, sehingga harus dirawat lebih lama di rumah sakit. Praktis Mentarilah yang merawat Arkana selama itu. Bahkan Arkana sempat beberapa hari dibawanya ke kantor. Rekan-rekan di kantor dan atasannya tidak keberatan, bahkan sangat senang dengan kehadiran bocah pintar itu.
Tepat tujuh hari setelah melahirkan, Wulan meninggal. Menurut dokter, dia mengalami pendarahan post partum akibat sisa jaringan plasenta yang tertinggal di dalam rahim.
Di hari nahas itu, kebetulan Mentari tidak membawa mobil ke kantor, sehingga Arkana dititipkannya ke Wina.
Hati Mentari sangat hancur, adiknya yang cantik dan baik hati, satu-satunya saudara yang dia miliki, telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Wulan menarik lemah tangan kakaknya, meminta dia mendekatkan telinga ke bibirnya, untuk membisikkan pesan terakhir.
“Kakak, tolong rawat anak-anakku yaaa...”
Bersimbah air mata, Mentari hanya mampu mengangguk.
Hari itu juga, jenazah Wulan dikuburkan, di tengah gerimis lembut yang membasahi bumi, diiringi isak tangis, dan doa orang-orang yang mencintainya.
Memandangi Bima yang turut menurunkan jenazah istrinya ke liang lahat dengan wajah pilu menahan tangis, Mentari bertekad, tak ada lagi aku yang duluan mengenalnya yang akan menghantui hari-harinya. Semua telah berlalu, ikut terkubur bersama jasad adiknya di sini.
Ya, memang aku duluan yang mengenal Bima, membawanya ke dalam kehidupan kami, batinnya. Namun aku juga sangat bersyukur, melalui Bima, aku bisa membahagiakan adikku di tahun-tahun terakhir sisa hidupnya. Kini, tak ada lagi penyesalan yang menyesakkan dada itu, bahkan jejaknya pun tak bersisa lagi.
Mata Papa merah, entah di mana beliau diam-diam menangisi kepergian anak keduanya. Ini adalah pemakaman kedua dalam keluarga itu. Dipeluknya bahu Mama yang masih saja terisak-isak, membisikkan kata-kata menentramkan.
Para pelayat sudah meninggalkan areal pekuburan ini satu persatu, yang tertinggal hanya keluarga inti.
Papa memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Mereka beringsut pergi dalam diam.
“Selamat jalan, Adikku.” Mentari mengecup lembut nisan dingin dan basah itu.

Komento sa Aklat (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata