logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Identitas Tersembunyi (Part 2)

Jam pelajaran sudah selesai. Rose menyilangkan tas sekolahnya yang kumal lalu meninggalkan ruang kelas. Ia berjalan lurus melintasi pekarangan sekolah. Seperti biasa tidak ada yang menghiraukan keberadaannya. Teman-teman sekelasnya juga bersikap sama. Mereka menjauhi Rose karena enggan berteman dengan gadis yatim piatu yang miskin.
Rose pun melanjutkan langkah kakinya menuju gerbang sekolah. Sambil menundukkan kepala, ia meneruskan perjalanan pulang. Angin berhembus begitu kencang. Rose memeluk dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa dingin, tapi tetap saja tubuhnya gemetaran. Awan kelabu yang berarak menutupi sang surya, menandakan bahwa hujan akan segera turun mengguyur bumi.
Rose gelisah. Pagi ini ia bangun dalam keadaan kurang sehat. Jika hari ini kehujanan, mungkin ia akan benar-benar jatuh sakit.
Rose berhenti sejenak. Ia melihat sekumpulan remaja yang mengantri di depan food truck untuk membeli burger dan kopi. Rose baru menyadari jika perutnya berbunyi sejak tadi. Ingin sekali ia membeli makanan untuk mengganjal perut. Sayangnya, ia tidak punya uang sama sekali.
Dengan kecewa, Rose memalingkan wajahnya. Ia menyeberang jalan lalu berbelok ke kanan. Rose memilih jalan pintas yang kerapkali dilaluinya setiap pulang sekolah. Jalan kecil itu akan membawanya tiba di rumah lebih cepat.
Entah karena pusing atau terlalu lama menahan lapar, pandangan Rose menjadi berkunang-kunang. Tubuhnya terhuyung dan hampir roboh ke bawah bila saja tidak ada tangan yang menahannya.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" Terdengar suara bariton seorang pria di telinga Rose.
Rose mengerjapkan mata beberapa kali untuk menormalkan penglihatannya. Di hadapannya sedang berdiri seorang pria muda. Pria itu tengah menatapnya dengan seksama.
"Nona," tanya pria itu sekali lagi.
Rose berusaha memfokuskan titik pandangnya, memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Pria yang menyapanya sungguh nyata, bukan hantu atau sosok khayalan. Pria ini mengenakan setelan jas kerja yang elegan dengan dasi menghiasi lehernya. Penampilannya terlihat seperti seorang eksekutif muda.
Profil wajah pria ini terbilang sempurna dengan alis tebal, rahang tegas dan manik mata berwarna biru laut. Bisa dikatakan ia adalah gambaran sempurna dari sosok dewa dalam mitologi Yunani.
"Maaf, saya harus pulang ke rumah, Tuan," kata Rose menghindar. Berbicara terlalu lama dengan orang asing membuat Rose tidak nyaman. Bisa saja pria ini berlagak baik tapi sebenarnya menyimpan niat yang buruk.
"Tunggu Nona. Benarkah Nona bernama Rose Black?" tanya pria itu penuh selidik. Black adalah nama keluarga dari ibu kandung Rose.
Pertanyaan pria itu membuat Rose terhenyak. Dari mana pria ini bisa mengetahui nama lengkapnya padahal mereka baru pertama kali bertemu.
"I...iya saya Rose."
Seolah bisa menebak isi pikiran Rose, pria itu berusaha bersikap lebih ramah.
"Jangan takut, Nona. Perkenalkan saya Denzel, wali Nona. Saya perlu bicara empat mata dengan Nona. Mari ikut saya ke mobil."
"Wali? Yang menjadi wali saya adalah paman saya, Josh Black. Saya tidak mengenal Anda jadi tolong biarkan saya pergi," tolak Rose.
"Saya tidak bermaksud jahat, Nona Rose. Kita harus bicara di dalam mobil karena jalanan ini tidak aman."
"Tapi saya tidak mau."
Tanpa merespon penolakan Rose, Denzel menarik tangan gadis remaja itu. Rose meronta-ronta minta dilepaskan, namun kekuatannya kalah jauh dibandingkan Denzel yang bertubuh kekar. Terlebih jalan kecil itu tampak lengang, sehingga tidak ada orang yang bisa menolong Rose.
Denzel memasukkan Rose ke dalam mobilnya lalu mengunci pintu. Melihat tindakan Denzel, dahi Rose dipenuhi keringat dingin. Ia khawatir bila pria muda ini akan berbuat macam-macam kepadanya.
"Maafkan saya karena harus bertindak kasar. Saya terpaksa melakukannya demi keselamatan Nona. Jangan sampai ada yang mendengarkan percakapan kita," jelas Denzel melembutkan suaranya.
"A...apa yang Tuan inginkan?" tanya Rose gugup.
Denzel mengambil sebuah map dari tasnya lalu menyodorkan kepada Rose.
"Baca dokumen ini baik-baik, Nona."
Dengan tangan gemetar, Rose menerima map yang disodorkan Denzel. Ia harus menuruti perintah laki-laki ini supaya tidak memancing amarahnya.
Ketika Rose mulai membaca judul dokumen itu, ia menjadi bingung.
"Surat wasiat Louis Brown? Apa hubungannya dengan saya?"
Seingat Rose, Louis Brown adalah pengusaha kaya raya yang diberitakan meninggal karena diracun. Semalam ia melihat berita tentang kematian pria itu di televisi. Benarkah Louis Brown yang ini sama dengan yang ada di berita? Ataukah namanya saja yang sama?
"Saya adalah pengacara merangkap asisten pribadi Tuan Louis. Bolehkah saya bertanya sesuatu? Apakah kalung mawar hitam yang Nona pakai itu pemberian dari Ibu Nona?" tanya Denzel menunjuk ke leher Rose.
Rose terkejut mendengar pertanyaan Denzel. Ia tidak menyangka pria asing ini mengetahui dari mana kalungnya berasal.
"Iya, Tuan. Ibu saya memberikannya sebelum meninggal dunia."
"Kalung itu adalah pemberian dari ayah kandung Anda, Louis Brown. Yang Anda pegang sekarang merupakan surat wasiat dari Beliau. Tuan Louis Brown telah mewariskan sebagian besar dari kekayaannya kepada Anda sebagai putri tunggalnya. Sedangkan sisanya ia wariskan kepada putra angkatnya," terang Denzel meyakinkan Rose.
Bahu Rose bergetar pelan. Ia hampir menangis ketika melihat namanya tercantum dalam surat wasiat tersebut.
"Tuan, apa Anda tidak salah orang? Kalau saya putri dari Tuan Brown, kenapa dia tidak pernah mencari saya selama ini?"
"Nona, saya belum bisa menceritakannya sekarang. Yang jelas Tuan Brown ingin melindungi Nona dari segala bentuk marabahaya. Dia sangat menyayangi Nona. Mulai sekarang hidup Nona tidak akan menderita lagi."
Rose membuka halaman kedua dari dokumen itu yang berisi tentang hak perwalian. Tuan Brown menyatakan bahwa Denzel Adams adalah wali sah yang bertanggung jawab atas ahli warisnya sebelum berusia dua puluh tahun.
Pernyataan ini membuat Rose cemas. Ia tidak mau hidup bersama dengan pria asing yang tidak dikenalnya.
"Tuan, saya tidak bisa menerima warisan ini. Apalagi jika saya harus berpisah dari paman saya."
"Apa yang diberikan Tuan Brown adalah hak Nona sebagai anaknya. Nona tetap bisa tinggal di rumah keluarga Black karena identitas asli Nona harus dirahasiakan. Pembunuh Tuan Louis belum tertangkap. Di luaran sana masih berkeliaran musuh keluarga Brown dan mereka akan mengincar Nona sebagai pewarisnya."
"Lalu saya harus bagaimana, Tuan?"
"Sekarang saya akan mengantarkan Nona pulang ke rumah," kata Denzel menenangkan Rose.
Rose menarik nafas lega. Pikiran negatifnya terhadap Denzel ternyata tidak terbukti. Ayahnya juga pasti memiliki pertimbangan khusus mengapa memilih pria ini sebagai walinya. Namun sejujurnya Rose masih belum percaya dengan kenyataan yang dihadapinya saat ini.
***
Josh izin pulang lebih cepat dari kantor karena ditelpon oleh istrinya. Entah apa yang terjadi di rumah sehingga suara Lily terdengar panik. Wanita itu hanya mengatakan bahwa ada seorang pria tak dikenal yang datang ke rumah mereka bersama Rose.
Dengan tergesa-gesa, Josh memarkirkan mobilnya. Perasaannya makin cemas ketika melihat sebuah mobil porsche terparkir di halaman rumahnya yang sederhana.
Ketika masuk di ruang tamu, Josh mendapati seorang pria muda duduk bersama Rose dan Lily. Pria itu langsung berdiri saat mendengar langkah Josh yang mendekatinya.
"Siapa Anda?" tanya Josh tanpa basa basi.
"Saya Denzel. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada Anda, Tuan Josh. Bisa kita bicara bertiga saja? Saya, Tuan, dan Nona Rose."
Lily merasa tersinggung mendengar permintaan Denzel. Namun karena mendapat isyarat dari suaminya, Lily terpaksa menyingkir.
Setelah Lily pergi, Denzel membuka pembicaraan memperkenalkan diri. Ia juga menunjukkan surat wasiat Louis Brown dan penunjukan Rose sebagai ahli warisnya. Antara percaya dan tidak, Josh mendengarkan setiap penjelasan yang diucapkan Denzel. Ia sendiri tidak menduga jika adik perempuannya, Karen, menjalin hubungan dengan pria sekaya Louis Brown. Josh hanya mengetahui bahwa Karen pernah bekerja sebagai staf di perusahaan properti itu.
Josh memandang Denzel sejenak, mencari kejujuran dari netra pria tampan itu. Keraguan timbul di benak Josh. Pasalnya usia pria itu masih muda. Menurut perkiraan Josh, Denzel berumur sekitar dua puluh tujuh sampai dua puluh delapan tahun.
"Tuan Denzel, apa Anda yakin bisa menjadi wali untuk keponakan saya?"
"Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk Nona Rose. Terutama dalam mengelola perusahaan dan aset yang diwariskan kepadanya."
Denzel mencodongkan tubuhnya ke depan.
"Terkait dengan kehidupan sehari-hari Nona Rose, saya tetap menyerahkannya dalam pengasuhan Anda. Untuk seluruh biaya kehidupan Nona Rose dan keluarga Black, saya akan mentransfernya setiap bulan. Saya juga akan membelikan rumah baru untuk keluarga kalian. Tapi tolong mintalah anggota keluarga Black untuk memperlakukan Nona Rose dengan baik. Saya tidak mentolerir perlakuan buruk dalam bentuk apapun."
"Satu lagi, Tuan. Jangan membocorkan siapa ayah kandung Nona Rose kepada istri dan anak Anda. Rahasia ini cukup kita bertiga yang tahu. Dan mulai sekarang saya akan mengubah nama belakang Nona Rose demi keamanannya," tandas Denzel.
"Iya, saya mengerti, Tuan Denzel. Terima kasih karena Anda telah menjalankan wasiat dari ayahnya Rose," jawab Josh bahagia.
***
Tujuh Tahun Kemudian....
"Saya berharap bisa melihat karya yang mengagumkan di tugas akhir kalian. Sebuah masterpiece, karya yang diciptakan dengan hati. Memiliki jiwa sehingga akan menarik setiap mata untuk memandangnya," ucap Mrs. Marion bersemangat.
"Hari ini kalian bisa mulai pengerjaan tahap awal di galeri. Saya ucapkan selamat bekerja."
Mrs. Marion mematikan laptopnya lalu mengakhiri sesi kuliah hari itu.
Gwen menggeleng pelan. Ia menyenggol lengan Rose yang duduk bersebelahan dengannya.
"Rose, apa kamu sudah tahu tema apa yang akan kamu ambil untuk pameran? Aku belum terpikir sama sekali," ucap Gwen.
"Hmmmm, aku ingin mengangkat kehidupan anak-anak panti asuhan sebagai tema lukisan. Selain itu aku akan membuat sebuah patung wanita, tapi aku perlu melakukan riset."
"Cepat sekali kamu berpikir. Pantas saja kamu selalu menjadi mahasiswa terbaik di jurusan kita."
"Cobalah merenung di kamar, kamu pasti akan mendapatkan ide cemerlang," saran Rose sambil tersenyum.
"Aku heran kenapa kamu tidak menerima tawaran pertukaran mahasiswa di Italia. Padahal banyak yang menginginkannya, terutama Anneth," ujar Gwen melirik ke arah bangku di seberangnya. Anneth balas menatap tajam ke arah Gwen.
"Sudahlah, Gwen, jangan membicarakan itu lagi. Ayo kita ke galeri."
Rose melepas kacamatanya lalu menggandeng tangan Gwen keluar dari ruang kuliah. Ia tidak ingin memancing pertengkaran dengan Anneth.
Sebelum tiba di galeri, Anneth mendadak muncul dan menghalangi mereka.
"Tunggu, Rose. Buru-buru sekali. Sepertinya kamu sangat percaya diri dengan tugas akhirmu."
"Aku rasa kita semua harus optimis dalam mengerjakan tugas akhir," jawab Rose diplomatis.
"Kamu benar. Aku tidak menyangka gadis sepertimu pintar bicara juga."
Anneth mengambil sesuatu dari tasnya lalu memberikannya kepada Rose.
"Aku cuma ingin memberitahumu bahwa besok jam lima ada audisi untuk konser Valentine. Mr. Robert menyuruhku memberikan formulir ini. Kamu harus datang tepat waktu."
Rose menerima lembaran form dan jadwal audisi itu. Ia memang mengikuti kursus biola di luar jam kuliah dan kebetulan sekelas dengan Anneth.
"Aku tidak berminat mengikuti audisi. Aku belum bisa melakukan pertunjukan tunggal."
"Mr. Robert selalu memuji perkembanganmu. Karena itu aku berinisiatif mendaftarkanmu sebagai peserta audisi."
"Kenapa kamu tidak menanyakan pendapatku dulu?" tanya Rose keheranan.
"Dengar, Rose, aku bermaksud baik. Tapi semuanya terserah padamu. Jika kamu tidak hadir saat audisi, Mr. Robert pasti kecewa. Nama sekolah biola kita juga akan tercemar. Jadi saranku datanglah ke audisi itu."
Anneth mencibir di dalam hatinya.
"Rasakan kamu Rose, kamu akan mati kutu disana," gumam Anneth senang.
Sambil mengulum senyum, Anneth berjalan santai meninggalkan Rose. Anneth sengaja melakukan ini untuk mempermalukan Rose. Ia tahu bahwa para peserta audisi adalah murid senior dari berbagai sekolah biola ternama. Kemampuan Rose tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka.
Swmentara itu Gwen melihat kecemasan di raut wajah Rose. Ia mencoba menghibur sahabatnya dengan menunjukkan sebuah video.
"Rose, aku yakin kamu bisa lolos di audisi itu. Tontonlah video yang sedang viral ini. Ada violinis bernama Miss Black. Dia membuat dua video yang semuanya trending di media sosial. Permainan biolanya sangat indah. Kamu bisa mempelajari teknik yang dipakainya."
"Terima kasih, Gwen," ucap Rose menghargai ketulusan sahabatnya.

Komento sa Aklat (175)

  • avatar
    Aisyah ZhaThan

    cerita nya seru dan bikin penasaran

    01/06/2022

      0
  • avatar
    SahlaArum

    semangat yup

    10d

      0
  • avatar
    ardian putra

    Sangat luar biasa

    18d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata