logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Menuju ke Badui Dalam

Bersekutu Dengan Iblis
Part 5
***
Om Dedi masih mengenakan seragam dinasnya, setelan celana panjang dan baju atasan warna putih, ciri khas pakaian seragam perawat sebuah rumah sakit.
"Wah … ada tamu rupanya. Kamu sampai sini jam berapa tadi malam, Va? Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Om Dedi seraya tersenyum ramah pada kami berdua. Dia lalu duduk di sebelah Tante Ningsih.
"Lumayan bisa tidur nyenyak sampai subuh. Tadi malam kami sampai sini sekitar jam setengah dua, Om. Ya kan, San," jawab Nova sembari menoleh ke arahku. Aku pun mengangguk mengiyakan.
"Kok bisa sampai malam banget? Memangnya kalian berdua berangkat dari Lampung jam berapa?" tanya Om Dedi lagi sambil mengernyitkan dahi.
"Iya, Om. Soalnya kami berangkat dari Terminal Rajabasa sekitar jam enam sore. Udah gitu bus-nya masih ngetem agak lama, nunggu penumpang, nggak langsung berangkat. Soalnya busnya masih belum penuh," jawab Nova menjelaskan.
Om Dedi manggut-manggut. "Ohh … gitu. Pantesan aja kamu sampai di sini tengah malam. Gimana di kapal, ramai apa sepi penumpangnya?"
"Kebetulan kapal sedang sepi penumpang, Om. Oleh karena itu kami bisa istirahat di kapal. Bangku penumpang bisa kami pakai cuma berdua aja, jadi kami bisa selonjoran, ngilangin pegel," jawab Nova.
Om Dedi kemudian menanyakan kabar Nova beserta kedua orang kakak lelakinya. Juga kabar Yulhendri, adik bungsu Nova.
"Kabar Kaisar sama Hendra gimana, Va? Apa mereka masih suka pulang kampung bareng anak istrinya? Kalau Yulhendri gimana kabarnya? Sudah kerja belum dia? Apa masih tinggal sama kamu?" Om Dedi memberondong Nova dengan berbagai macam pertanyaan.
"Alhamdulillah kabar mereka semua baik, Om. Bang Kaisar sama Bang Hendra nggak pernah pulang kampung lagi sejak ayah sama ibu meninggal. Mungkin mereka berdua sedang sibuk sama keluarganya masing-masing. Lagian kan pasti bakalan repot kalau harus naik turun kendaraan bawa anak kecil. Cuma kadang mereka kirim kabar aja lewat SMS. Kalau Iyul alhamdulillah sekarang udah kerja, Om. Tapi tempat kerjanya jauh dari rumah, jadi dia kos di dekat tempat kerjanya. Tapi kadang dia masih suka pulang ke rumah kalau kebetulan sedang ada libur," jelas Nova panjang lebar.
Tante Ningsih dan Om Dedi manggut-manggut mendengar cerita keponakannya itu.
"Jadi sekarang kamu sama siapa tinggal di rumah peninggalan ayah dan ibu kamu, Va?" tanya Tante Ningsih.
Dari obrolan mereka bertiga aku tahu, kalau Nova memang baru sekarang datang lagi ke rumah Tante Ningsih, sejak kedua orang tuanya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kala itu, kedua orang kakak lelakinya, Bang Kaisar dan Bang Hendra, belum menikah. Dan keempat orang kakak beradik itu masih tinggal bersama di rumah mendiang kedua orang tua mereka. Jadi wajar saja kalau Om Dedi dan Tante Ningsih tidak tahu kalau sekarang Nova tinggal sendiri di rumah tersebut. Sebab selama ini mereka tak pernah berkomunikasi, mungkin karena kesibukan mereka masing-masing. Entahlah, aku tak tahu dengan pasti. Sebab aku hanya jadi pendengar di antara Nova dan saudaranya itu.
"Sekarang aku tinggal sendirian di rumah peninggalan ayah sama ibu, Te. Kadang ditemani Santi, kalau kebetulan aku suruh dia nginap di rumah atau kalau dia sedang ada kegiatan kantor di provinsi," jawab Nova.
Aku memang sering menginap di rumah Nova, jika kebetulan semua penghuni kamar tempat aku kos sedang tidak ada di tempat. Saat mereka semua sedang pulang kampung atau ada keperluan lain. Terus terang aku tak punya nyali yang cukup besar untuk tinggal seorang diri di kamar kos.
Aku lebih memilih untuk menginap di rumah Nova. Terlebih lagi kamar kos yang aku tempati berbentuk bedeng yang di sisi kiri dan kanannya masih berupa lahan kosong. Dan lumayan jauh jaraknya dari rumah warga yang lain. Sebab lahan kosong seluas itu belum didirikan bangunan di atasnya oleh si empunya tanah kosong tersebut. Jadi agak-agak gimana gitu kalau harus tinggal sendirian di tempat kos. Berasa ada makhluk lain yang ikut tinggal di situ. Mungkin semua hal tersebut hanya perasaanku saja yang kelewat penakut, tapi aku tidak mau mengambil resiko dengan merasa sok berani tinggal sendirian di kamar kos, sementara penghuni kamar yang sedang tidak ada di tempat.
Aku menganggap rumah keluarga Nova sudah seperti rumahku sendiri. Sebelum kedua orang tua Nova meninggal dunia pun, aku sudah sering datang dan menginap di rumah mereka. Aku juga akrab dan mengenal semua anggota keluarga Nova dengan baik. Ayah dan ibunya, Bang Kaisar, Bang Hendra dan Iyul. Semua sudah seperti keluargaku sendiri. Karena kami memang dulu pernah tinggal di desa dan gang yang sama.
"Jadi ceritanya sekarang kamu sama teman kamu mau liburan di sini, Va?" tanya Om Dedi seraya menyuap nasi ke mulutnya.
Nova menoleh ke arahku, lalu beralih ke Tante Ningsih. Tampak keraguan di wajahnya. Barangkali dia merasa agak sungkan untuk bicara pada suami Tante Ningsih, tentang maksud dan tujuan kami berdua datang ke Banten adalah mau pergi ke rumah Abah Karta.
"Mereka berdua datang ke sini bukan mau liburan, Pah," kata Tante Ningsih.
"Terus, kalau bukan mau liburan, kalian mau pergi ke mana di sini? Atau kalian berdua sedang ada tugas dari kantor di Banten?" tanya Om Dedi lagi seraya manautkan kedua alisnya. Dia lalu memandang ke arahku dan Nova secara bergantian, seolah minta penjelasan.
Aku dan Nova diam saja, tak segera menjawab pertanyaan Om Dedi. Sejenak aku melirik ke arah sahabatku itu dengan ekor mata. Dia terlihat gelisah. Beberapa kali aku melihat Nova memandang ke arah Tante Ningsih, mungkin sebagai isyarat agar tantenya itu saja yang bicara pada suaminya tentang maksud kedatangan kami berdua ke Banten ini.
"Nova sama Santi katanya mau pergi ke rumah Abah Karta, Pah. Dia ada perlu sama Abah Karta." Akhirnya Tante Ningsih yang menjawab pertanyaan Om Dedi.
"Abah Karta? Abah Karta siapa, Va? Terus dia itu rumahnya di mana?" tanya Om Dedi sambil mengernyitkan keningnya.
"Abah Karta itu orang pinter, Om. Aku ada sedikit keperluan sama dia, makanya aku mau pergi nemuin dia. Rumah Abah Karta yang pastinya aku juga belum tahu di mana, Om. Yang udah pernah datang ke sana itu Iyul. Tapi dia juga lupa waktu aku tanya ke dia arah-arah tempatnya di sebelah mana. Soalnya udah lama banget, sebelum ayah sama ibu meninggal. Iyul cuma ngasih alamat ini aja. Itu juga dia dapet dari temannya waktu dulu, pas mau berangkat," jawab Nova sembari memberikan secarik kertas berisi alamat Abah Karta, yang tadi dia berikan pada Tante Ningsih.
Om Dedi menerima kertas itu, dia lantas membaca alamat yang tertulis di dalamnya. Tak lama berselang suami Tante Ningsih itu tampak mengernyitkan kening.
"Kalau nggak salah, alamat ini sudah masuk wilayah Badui Dalam, Va. Om sih memang belum pernah pergi sampai ke sana, cuma pernah dengar kalau tempat ini lokasinya lumayan jauh dari sini," ujar Om Dedi, setelah dia selesai membaca alamat yang Nova berikan.
Aku menelan ludah mendengar ucapan suami Tante Ningsih itu. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Tempat yang akan aku dan Nova datangi masih lumayan jauh dari Serang, tadi Om Dedi bilang, aku membatin. Apa aku tidak salah dengar? Perjalanan dari Terminal Bus Rajabasa sampai ke rumah Tante Ningsih saja belum hilang semua rasa capeknya, masa masih mau ditambah lagi?
"Om tahu nggak, kira-kira butuh waktu berapa lama untuk sampai ke tempat itu?" tanya Nova.
"Om nggak tahu pasti, Va. Tapi nanti coba Om tanyakan ke teman Om yang sudah pernah pergi ke daerah itu, barangkali saja dia tahu," jawab Om Dedi sembari mengambil telepon genggam dari saku bajunya.
Om Dedi kemudian menelepon seseorang, menanyakan alamat yang Nova berikan.
"Kamu rencananya mau pergi ke sana kapan, Va?" tanya Om Dedi di sela-sela dia menelepon.
"Hari ini, Om. Soalnya kami berdua rencananya mau langsung pulang lagi ke Lampung begitu urusanku sama Abah Karta selesai," jawab Nova.
Om Dedi manggut-manggut sambil meneruskan menelepon.
"Sekitar jam delapan nanti kamu sama Santi bisa langsung berangkat ke rumah Abah Karta. Biar sampai sana nggak kesorean. Nanti Om carikan tukang ojek yang Om kenal untuk nganter kalian berdua sampai ke sana. Om minta maaf, soalnya hari ini Om nggak bisa nganter kamu, Va. Om masih ada kerjaan di kantor. Tapi kalau kamu berangkatnya besok pagi, Om bisa nganter. Besok Om sudah lepas malam," jelas Om Dedi, setelah sekitar lima menit dia tadi mengobrol dengan seseorang di telepon.
Nova mengangguk. "Nggak apa-apa, Om. Biar aku pergi hari ini aja berdua sama Santi. Terima kasih banyak sudah bantu carikan tukang ojek. Kalau gitu sekarang kami mau siap-siap dulu," kata Nova seraya beranjak dari tempat duduknya, aku kemudian mengikuti.
Aku dan Nova lalu bergiliran mandi, lantas berganti pakaian.
"Va, apa nggak sebaiknya kamu pikirin lagi, rencana kamu pergi ke rumah Abah Karta itu? Tadi Om Dedi bilang jaraknya dari sini lumayan jauh. Capek yang kemarin aja belum ilang semua, masa mau ditambah lagi sih? Mendingan kita jalan-jalan aja di Serang sini, sekalian liburan, Va," kataku, berusaha membujuk sahabatku itu sambil melipat baju kotor yang dipakai hari kemarin, dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
Nova menggeleng dengan kuat. "Nggak, San. Aku udah mantap mau ketemu sama Abah Karta. Aku mau minta tolong ke dia untuk bantuin masalah yang sedang aku hadapi sekarang," ujar Nova sembari menyisir rambutnya.
Aku menghela napas dalam. Sebab aku tahu betul watak sahabatku itu. Dia sangat keras kepala. Dan kalau sudah punya keinginan dan kemauan, maka harus dapat terlaksana, tidak boleh tidak.
"Apa nggak kamu coba dulu, bicarakan masalah kamu itu ke Tante Ningsih dan Om Dedi aja, Va. Aku yakin mereka berdua pasti bisa mencarikan solusi dan jalan keluar yang terbaik untuk kamu," ujarku, dengan masih berharap Nova mau mengurungkan niatnya pergi ke rumah Abah Karta.
"Keputusanku sudah bulat, San. Aku datang ke Banten itu ya karena mau nemuin Abah Karta, bukan untuk yang lain. Sudahlah, San. Kamu nggak perlu kasih nasihat ke aku. Aku masih bisa mikir kok, mana yang baik dan buruk untuk diriku. Lagian aku malu, San. Kalau harus cerita soal ini ke Tante Ningsih dan Om Dedi. Apa kata mereka nanti," ucap Nova sembari memandangku.
"Tapi, Va …"
Belum selesai aku meneruskan kalimat, Nova sudah memotong ucapanku.
"Udah, San. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk kita berdebat. Kita dikejar waktu, biar bisa langsung pulang lagi ke Lampung begitu urusanku sama Abah Karta sudah selesai. Yuk kita ke depan. Nggak enak kelamaan ditungguin sama Om Dedi dan Tante Ningsih," ajak Nova sambil menggandeng tanganku. Dan dengan amat terpaksa aku mengikutinya keluar dari dalam kamar.
Aku dan Nova lalu berjalan menuju ke depan rumah, sebab tadi Om Dedi bilang, kalau kami berdua sudah selesai dan siap, supaya langsung ke halaman depan saja.
Sampai di depan rumah, aku melihat Om Dedi dan Tante Ningsih sedang bercakap-cakap dengan dua orang lelaki berperawakan tinggi besar, berusia sekitar 40 tahun, yang berdiri di samping sepeda motor milik mereka masing-masing. Kedua orang lelaki itu memakai jaket berbahan jeans. Kemungkinan mereka itu adalah tukang ojek kenalannya Om Dedi yang akan mengantar aku dan Nova ke rumah Abah Karta.
"Nah Nova, Santi. Kenalkan, ini teman Om. Yang ini namanya Om Yanto, dan yang di sebelahnya itu namanya Om Ratno. Nanti kalian berdua akan diantar oleh Om Yanto dan Om Ratno ke wilayah Badui Dalam. Mereka berdua yang tahu arah jalan ke rumah Abah Karta," jelas Om Dedi memperkenalkan kedua lelaki yang sedang berdiri di sebelahnya, ketika aku dan Nova sudah berada di dekat mereka.
"Iya, Om. Sekali lagi terima kasih banyak sudah membantu kami," ucap Nova sembari mengangguk dan tersenyum ramah kepada Om Yanto dan Om Ratno.
Om Dedi lalu menitipkan kami (aku dan Nova) kepada kedua orang temannya itu. Setelah Om Dedi selesai berbincang dengan kedua orang temannya itu, aku dan Nova kemudian mohon pamit pada Om Dedi dan Tante Ningsih. Kami lantas bersalaman dan berpelukan dengan Tante Ningsih. Setelahnya kami segera naik ke atas jok belakang sepeda motor milik teman Om Dedi tersebut.
"Hati-hati di jalan, Va. Kalau ada apa-apa, kamu segera hubungi Tante atau Om, ya," pesan Tante Ningsih sambil melambaikan tangan, sebelum sepeda motor yang kami kendarai pergi meninggalkan halaman rumahnya.
"Iya, Te," kata Nova sembari melambaikan tangan ke arah Tante Ningsih dan suaminya, yang masih berdiri di halaman mengantar kepergianku dan Nova.
Lima menit kemudian, sepeda motor yang membawa aku dan Nova sudah melaju di jalan raya, menuju ke arah rumah Abah Karta. Yang kami belum tahu pasti di mana lokasinya.
"Tempatnya jauh ya, Pak?" tanyaku pada Om Ratno, saat kami sudah sekitar lima belas menit dalam perjalanan, meninggalkan rumah Tante Ningsih.
"Lumayan jauh, Neng. Memangnya Eneng ada keperluan apa pergi ke Badui Dalam? Eneng mau ketemu sama siapa di sana?" jawab Pak Ratno sembari dia balik bertanya padaku. Nada bicaranya seakan merasa heran dan aneh.
"Kami berdua mau pergi ke rumah Abah Karta, Pak. Teman saya itu yang ada perlu sama Abah Karta. Apa Pak Ratno tahu yang namanya Abah Karta?" jawabku sembari balik bertanya.
Pak Ratno manggut-manggut. "Ohh … gitu. Saya nggak tahu siapa itu Abah Karta, Neng. Malah saya baru dengar namanya," jawab Om Ratno.
Setelah itu, kami tak saling bicara lagi.
***
Bersambung

Komento sa Aklat (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    11h

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    16d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata