logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Rumah Mawar

Afifah terus berlari menembus kegelapan malam diiringi deras hujan. Air matanya tersamarkan oleh air yang menghujani dirinya. Kakinya terus melangkah menuruti sang pemilik tanpa memikirkan ke mana akan pergi. Untuk pertama kalinya dia mandi hujan selarut ini.
Awan mulai berhenti menjatuhkan buliran airnya. Afifah merasa sangat letih. Kaki yang tadi berlari kini mulai berjalan perlahan. Jauh. Sudah sangat jauh dari rumah mewah keluarga Naufal. Pikirannya buntu. Dia tak tahu harus ke mana. Tangannya merogoh saku di samping bajunnya, mencari sesuatu yang ternyata tak ada apapun di sana. Afifah meninggalkan ponselnya dan tak membawa uang sepeser pun.
Hawa dingin tengah malam menusuk sampai tulang. Ditambah baju yang dipakainya kuyup. Bibir bergetar dan tubuhnya sedingin es. Semua badan Afifah terasa kebas karena hujan tadi.
Afifah duduk di pinggir jalan memeluk kedua lututnya. Kakinya sudah tak kuat lagi menyangga tubuhnya. Suasana malam yang hening bahkan gesekan daun pun terdengar sangat jelas. Ketakutan menyelimuti dirinya. Afifah berjalan terlalu jauh. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Takut ada orang jahat yang berbuat tak baik. Bibir indah itu tak henti berdoa pada Allah meminta perlindungan.
Tiba-tiba sebuah lampu sangat menyilaukan matanya. Sebuah Toyota Avanza Hitam berhenti di hadapannya.
“Afifah,” sapa seorang wanita yang tergolong masih muda dari dalam mobil.
“Umi,” sahut Aifah, matanya berbinar melihat seseorang yang sangat dikenalnya.
“Kau sedang apa tengah malam di pinggir jalan dan kuyup begini?”
Wanita yang dipanggil Umi itu turun dari mobil. Dia mendekatkan diri pada Afifah yang tengah kedinginan. Menuntun Afifah masuk ke mobilnya. Lalu memakaikan sebuah jaket pada Afifah agar merasa lebih hangat. Afifah bersyukur ada orang yang menolongnya saat dia merasa tersesat tak tahu arah.
Selama di perjalanan mereka tak bersuara. Hati Afifah mulai merasa tenang setelah diterpa ketegangan dan kekhawatiran. Sang Pencipta telah mendengar doanya. Wanita yang dipanggil Umi pun merasa belum saatnya dia banyak bertanya pada Afifah. Dia membiarkan Afifah terlelap dalam mobilnya.
Tak sampai setengah jam mereka sampai di sebuah bangunan yang cukup besar dan luas. Dinding tinggi menjadi pembatas di setiap sisinya. Terdapat sebuah pagar besi yang besar di depannya dengan tembok bertuliskan “Pondok Pesantren Al-Huda” di atasnya.
Ya, sebuah pondok pesantren tempat Afifah menimba ilmu. Dia lulus setahun yang lalu dari pesantren ini dengan prestasi yang cukup memuaskan. Selama tiga tahun Afifah belajar ilmu agama di sini. Umi Fatimah adalah salah satu ustazah yang sangat dekat dengan Afifah. Kebetulan Umi Fatimah juga salah satu saudara pemilik pesantren ini sehingga dia dipercaya untuk mengelolanya. Umi Fatimah pun membangun sebuah rumah pribadi di dekat pesantren ini.
“Apa yang terjadi, Afifah, tangah malam kau duduk sendirian di pinggir jalan? Kau tahu sangat berbahaya bagi perempuan?” tanya Umi Fatimah, seraya menghidangkan teh hangat untuk dinikmati Afifah.
Afifah sangat berterimakasih pada Umi Fatimah. Kalau tak ada Umi Fatimah entah apa yang akan terjadi padanya. Dia meneguk teh yang disediakan Umi Fatimah setelah berganti pakaian. Badannya mulai terasa hangat. Kemuadian dia menjelaskan semua yang telah terjadi pada dirinya sehingga pergi dari rumah dan tersesat di jalanan tengah malam.
Umi Fatimah yang mendengar penjelasan Afifah cukup terkejut. Dia sangat menyayangkan pernikahan Afifah dan Naufal yang tidak didasari dengan keyakinan yang kuat. Meskipun Umi belum menikah dan masih betah menyendiri tapi dia tahu betul bagaimana suatu hubungan yang kuat dibangun.
“Sebaiknya kau tinggal di sini saja dulu untuk sementara waktu, ya,” kata Umi Fatimah, tangannya menyiapkan selimut untuk Afifah.
“Maaf Umi bukan menolak tapi aku tak enak jika harus tinggal di sini. Mungkin besok akan ke rumah Ibu saja,” sahut Afifah, yang duduk di tepi ranjang kamar tamu.
“Ada siapa di sana?” tanya Umi, mengkhawatirkan Afifah yang sudah tak memiliki seorang ibu.
Ibu kandung Afifah telah tiada satu tahun yang lalu. Gula darah dan tekanan darah tinggi menjadi penyebab kematiannya. Saat itu, Afifah yang sedang berada di pesantren ditelepon Anggara agar pulang karena Mawar Ruslina---ibu kandung mereka---terjatuh dan dilarikan ke rumah sakit. Kondisi Mawar saat itu sangat krisis dan mengalami koma. Tak berselang lama Mawar mengembuskan napas terakhirnya.
“Ada Kak Anggara,” jawab Afifah.
***
Fajar menyingsing di ufuk timur. Afifah tengah bersiap pergi ke rumah Mawar. Setelah mengisi kenyang perutnya yang semalaman tak dihiraukannya, dia berpamitan pada Umi Fatimah. Tak ingin menyusahkan siapapun apalagi Umi yang selalu baik padanya, Afifah menolak diantar Umi. Namun Umi sudah memberinya bekal untuk sekadar ongkos dan makan. Umi Fatimah menyuruh Afifah untuk menghubunginya jika sesuatu terjadi padanya.
Afifah menapakan kakinya di sebuah makam sebelum menuju rumah Mawar. Makam itu adalah makam Mawar. Sudah cukup lama dia tak berziarah ke makam orang yang paling disayanginya. Meskipun begitu Afifah tak hentinya mendoakan keselamatan malaikat dunianya. Tak lupa Afifah pun mengadu atas semua yang telah terjadi pada dirinya.
Langkah Afifah terhenti manakala tepat di depannya berdiri bangunan khas belanda yang menjadi tempatnya berlindung bersama Anggara dan Mawar saat masih ada. Rumah yang cukup luas itu menjadi saksi kebahagiaannya dengan seorang ibu yang sangat dia sayangi meski tanpa seorang ayah di tengah mereka.
Mawar dan Haidar berpisah saat Afifah masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Orang ketiga menjadi penyebab utama perpisahan mereka. Mawar yang tergoda pria lain saat Haidar mengalami kebangkrutan dalam usahanya membuat Haidar murka dan menceraikannya. Hingga Haidar menemukan Sophia sebagai pengganti Mawar, sedangkan Mawar malah memilih untuk menyendiri selepas Haidar menikah. Mawar merasa bersalah pada Anggara dan Afifah, dia mencoba menebus semua kesalahannya dengan fokus mengurus mereka.
“Assalammualaikum,” ucap Afifah, tangannya membuka pintu yang tak terkunci.
Tak ada jawaban. Afifah meneruskan langkahnya hingga ke dalam rumah. Matanya berkeliling, melihat dan membayangkan inci demi inci setiap kebersamaannya dengan Mawar. Andai Mawar masih ada pasti dia sudah mengadu padanya. Mungkin hanya Mawar yang mengerti keadaan dan perasaannya saat ini.
Afifah mengembuskan napas perlahan. Dia ingat pesan ibunya bahwa menjadi seorang perempuan harus kuat dalam menghadapi kerasnya hidup. Setiap kehidupan pasti akan mengalami masalah. Entah itu ringan atau berat. Namun semua akan berakhir indah jika dihadapi dengan sabar. Pesan itu selalu diingatnya dan akan terus menjadi kekuatan bagi Afifah.
Afifah mendapati seorang pria berada dalam kamar Anggara. Pria yang cukup dikenalnya. Pria itu berdiri membelakangi Afifah, dia tak tahu ada Afifah yang tengah memerhatikannya. Kepulan asap mengapung di sekelilingnya. Pria itu sesekali mengisap benda yang diapit kedua jarinya.
“Sedang apa kau di sini? Ke mana Anggara,” ucap Afifah.
“Afifah,” pria itu terkejut dengan ada Afifah di sana.
“Lama tak jumpa,” ucap pria itu mendekati Afifah.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Ah, ya. Tentu saja aku berada di sini karena aku teman Anggara dan dia sedang keluar membeli makan,” jawab pria tersebut, tangannya hendak menyentuh tangan Afifah.
Afifah menepis dan marah padanya. Dia tak ingin disentuh oleh laki-laki yang bukan suaminya. Apalagi pria itu pernah membuat luka dan kecewa di hati Afifah.
“Maafkan aku,” ucap Dandi yang sedikit menjauh dari Afifah.
Afifah yang tak menghiraukan Dandi berjalan keluar dari kamar Anggara diikuti oleh Dandi. Dandi merasa tak enak berada dalam satu ruangan bersama perempuan apalagi sudah bersuami.
Tenggorokannya terasa sangat kering, Afifah mengambil segelas air ke dapur lalu beralih ke ruang tamu. Dia duduk di kursi kuno peninggalan Mawar menikmati segelas air putih yang meyejukan tenggorokannya. Dandi berdiri di sampingnya. Entah apa yang dilakukan pria itu berdiri mematung dekat Afifah tapi Afifah tak mengindahkannya.
“Assalamualaikum.”
Seorang perempuan mengucapkan salam di luar pagar. Afifah hendak menghampirinya tapi kakinya tersangkut kaki meja sehingga dia jatuh menelungkup. Dandi yang mencoba meraih tangan Afifah untuk menolongnya ikut terjatuh juga hingga tubuhnya berada di atas tubuh Afifah.
Perempuan yang berada di luar pagar tadi kini sudah berdiri di depan pintu. Tercengang menyaksikan pemandangan di depan matanya.
“Apa yang kalian lakukan?” ucapnya, kedua tangannya menutup mulutnya yang terbuka.
Afifah dan Dandi yang melihat perempuan itu sudah berdiri di depan pintu cepat-cepat bangkit.
“Aku kecewa padamu, Afifah,” ucap perempuan tadi seraya berlari meninggalkan rumah itu.
“Anisha, tunggu! Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan.” Afifah berlari mengejar sahabatnya.

Komento sa Aklat (110)

  • avatar
    HariandiDicky

    bagus bgt

    16d

      0
  • avatar
    Siti

    👍👍

    15/08

      0
  • avatar
    ZbDesti

    serius

    17/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata