logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kesepakatan

Keduanya menolehkan pandangan ke arah suara pintu yang terbuka. Gio masuk dengan tatapan wajahnya yang dingin. Ia mencium pipi mamanya tanpa sekalipun mendekat ke arah Belinda. Seolah Belinda adalah orang asing baginya.
“Kamu tidak ingin menghibur istrimu dulu?” tanya Mala.
“Untuk apa? Apakah dia sedang berduka? Bukankah ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu?” kata Gio seraya duduk santai di sofa.
“Jaga bicaramu, Gio! Bagaimanapun dia istrimu. Dia sudah memberikan kamu seorang bayi.”
“Ck ... bayi perempuan, Ma. Mama lupa yang kita inginkan adalah bayi laki-laki. Jadi, saat ini Gio bisa menceraikan dia, bukan?” kata Gio seraya menunjuk ke arah Belinda dengan dagunya.
“Tidak bisa begitu.”
“Bagaimana tidak bisa? Tentu saja bisa. Mama lupa dengan perjanjian kita?”
Belinda yang menyimak pembicaraan suaminya dan sang mama mertua akhirnya ikut angkat bicara. Ia tidak tahu menahu tentang perjanjian di antara mereka.
“Perjanjian apa?” tanya Belinda lirih.
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Kamu tidak perlu tahu, yang pasti kamu akan segera aku ceraikan.”
“Jangan bicara sembarangan. Siapa yang tidak tahu diri? Belinda sudah mengurusi rumahmu dengan sangat baik dalam keadaan hamil besar dan tanpa seorang pun yang membantunya.”
“Oh, jadi sekarang dia sudah menjadi wanita pengadu, ya? Mama kasih dia uang berapa banyak? Karena Gio tidak pernah memberikan dia sepeserpun selain uang kebutuhan rumah tangga,” balas Gio tajam tetapi tatapannya ke arah Belinda.
Belinda berusaha bangkit dari pembaringan dan memutuskan untuk turun. Saat ini yang ia butuhkan adalah memeluk bayi mungilnya. Mendengarkan kata-kata pedas yang keluar dari mulut suaminya membuat keringat dingin yang tidak diinginkan mulai meloloskan diri dari pori-pori punggungnya.
“Sudah, Ma. Jika memang itu yang diinginkan Mas Gio. Saya terima.”
Belinda kali ini merasa ini adalah keputusan yang terbaik. Ngeri membayangkan jika hidup anaknya akan penuh dengan drama yang dilakukan oleh kedua orang tuanya kelak. Akan tumbuh sebagai pribadi seperti apakah nantinya sang anak?
Belinda mungkin cukup mampu bertahan dalam hidup tanpa kasih sayang.
Namun, untuk sang putri sungguh ia tidak ingin hal itu terjadi. Untung saja sudah jauh hari Belinda mempersiapkan semuanya. Anaknya akan berkecukupan, walaupun hanya mendapatkan kasih sayang darinya seseorang, itu sudah cukup. Daripada, sepertinya yang sama sekali tidak mendapatkan walau dalam kehidupan orang tua yang utuh.
Mala menatap menantunya tidak percaya. Tatapan terluka dan kecewa tampak sangat kentara di wajahnya saat ini.
“APA?! Kamu tega mengkhianati kesepakatan kita? Kamu ingin bercerai dari Gio? Tinggalkan anakmu untuk bersama denganku.”
Mala merasa kasihan terhadap Belinda sebenarnya, tetapi jika harus kehilangan sang menantu ia tidak rela. Sepertinya apa yang ia katakan terdengar kejam, tetapi ini adalah satu-satunya cara demi menahan Belinda agar tetap bertahan. Mala egois, ya benar. Akan tetapi, jelas ia juga tidak ingin berpisah dari sang cucu apapun yang terjadi.
Belinda bisa melihat dari ekor matanya bahwa Gio menatapnya dengan senyum miring penuh keculasan.
“Tidak, Ma, jangan pisahkan saya. Linda hanya punya dia.”
Belinda limbung dengan berpegangan pada sisi ranjang ia menguatkan diri. Begitu tega kedua manusia di depannya ini sehingga yang satu ingin menceraikan dirinya dan satu lagi menginginkan ia berpisah dari darah dagingnya. Bunuh saja Belinda sekalian, biar semuanya puas.
Mala menelan saliva-nya kasar. Ia pun tidak tega sebetulnya melakukan hal itu terhadap menantunya, tetapi mendengar kata perceraian yang keluar dari bibir anaknya seketika membuat darahnya mendidih. Jengkel setengah mati terhadap putranya tersebut.
“Kamu sudah melihat anakmu?”
“Untuk apa? Dia hanya anak perempuan, Ma.”
“Jangan jahat-jahat jadi orang. Suatu saat nanti kamu akan menyesali semuanya,” kata Mala setelah terlebih dahulu memberikan tamparan pada kedua pipi Gio.
Bahkan Mala yang seumur hidup tidak pernah berlaku kasar pada sang putra kali ini pertama kalinya ia melakukan hal itu.
Belinda tercengang dengan menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Sementara Gio menatap Belinda semakin tajam dan dingin, menyalahkan.
“Demi anak wanita itu, Mama sampai tega menampar Gio? Jangan harap Gio akan mengakui anak itu,” ucap Gio tajam.
“Pergilah kalau begitu! Untuk apa kamu kemari,” balas Mala dingin.
“Aku hanya ingin memastikan jenis kelamin anak itu.” Setelah berkata demikian Gio pergi dari sana dengan membawa amarah yang memuncak.
Sungguh sakit hati Belinda semakin tak terperi. Sang papa tidak mau mengakui buah hatinya.
'Sungguh malang nasibmu anakku. Tetapi tenang saja, ada ibu yang akan selalu ada bersamamu.'
“Kamu akan kembali ke rumah Mama. Mama tidak ingin kamu tinggal di rumah neraka itu lagi.”
“Bagaimana dengan Gio?” tanya Belinda yang rasanya tidak tega dengan suaminya. Siapa yang akan mengurus kebutuhannya, jika dirinya tidak ada di rumah. Walaupun Gio tidak pernah berada di rumah saat malam datang. Gio hanya mau memakai pakaian jika Belinda yang mencucikan dan menggosoknya.
“Biarkan saja dia. Mama akan kirim pekerja ke sana untuk membersihkan rumah dan mengurusi keperluannya seperti saat dia belum menikah denganmu dulu.”
“Apakah tidak berdosa, Belinda melakukan hal tersebut?”
“Suamimu itu jahat, Nak. Sudahlah jangan berpikir tentang dosa untuk saat ini. Kamu tidak boleh stress karena akan berpengaruh buruk dengan ASI yang kamu hasilkan. Mama akan meminta Perawat membawakan cucuku ke sini.”
Belinda mengangguk dan masuk ke dalam kamar mandi.

Gio keluar dengan rahang mengeras. Ia yakin sekali sejak kedatangannya ke rumah sakit ini tadi, ada yang membuntuti dirinya hingga sampai ke depan ruang perawatan sang istri. Gio melangkah pelan dengan tidak merubah raut wajahnya yang masih terkesan dingin dan datar. Ia mengedarkan pandangan di koridor dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana.
Hanya ada beberapa orang berlalu-lalang demi menjenguk orang terkasih mereka. Sosok tinggi besar yang sempat Gio lihat melalui ekor matanya, tidak tampak di sana.
Gio menuju pintu keluar darurat membuka dan melongok pada deretan tangga di sana dan tidak mendapati satu sosok pun. Orang itu bisa saja bersembunyi.
Untuk kali ini Gio akan membiarkan saja, ia akan bertindak jika sampai Belinda dan sang anak berada di dalam bahaya. Gio menghela napas cepat, ia sungguh lelah berakting memusuhi sang istri. Sungguh konyol, tapi sampai semuanya jelas dirinya harus melakukan hal ini. Melihat wajah sedih sang istri yang baru melahirkan, sama dengan menoreh luka di hatinya.
Memang awalnya ia berpikiran buruk tentang Belinda. Walaupun jiwa lelakinya jelas ingin melindungi wanita itu, tetapi fakta yang selalu ia dapatkan selama ini mengarah ke sebaliknya. Belinda masih menyembunyikan banyak hal, Gio juga masih meragu untuk mempercayai Belinda 100% terlebih saat wanita itu hamil. Istrinya itu tampak semakin menjauh darinya.
Sungguh Gio ingin percaya, tapi selalu dihadapkan pada dilema.
Gio kembali membuka pintu darurat dan melangkah menuju ruang bayi. Baru berjalan beberapa langkah, sang kekasih sudah berada tak jauh dari tempatnya. Tasia membetulkan letak tali tas jinjingnya dan segera menggapit tangan Gio, menggelayut manja.
“Aku tidak ingin bertemu dengan istrimu. Kita lihat anakmu saja. Ingat janjimu jika jenisnya perempuan. Kamu harus lakukan segera.”
“Perceraian juga perlu proses Tasia. Tidak hari ini kamu minta, saat ini juga kamu dapatkan. Itu tidak mungkin, aku memang kaya, tetapi kekuasaanku tidak sebesar itu.”
tbc

Komento sa Aklat (44)

  • avatar
    KullbetWahyu

    baguss bgett

    19d

      0
  • avatar
    Raihan Tsaqif

    good

    16/08

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    05/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata