logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

SIAPA ITU?

Sesampainya di parkiran depan ruko, Ros celingukan. Mencari sosok Ian yang pergi entah ke mana. Akhirnya gadis itu duduk di bangku beton, terletak di sudut dekat pot bunga. Saat ia sedang bengong, sebuah helm berwarna abu-abu pudar terulur ke arahnya.
"Nih, pakai ..."
Ros mendongak, menemukan Ian sedang menatapnya. Pemuda itu mengernyitkan dahi. "Kamu nggak bawa jaket?"
Ros menggeleng. "Enggak. Tadi pagi keburu berangkat ke kampus, jadi lupa bawa ..."
Tak berkata apa-apa, Ian melepas jaket kulit hitamnya. "Pakai jaketku dulu, daripada kamu masuk angin ..."
"Eh ... iya, terima kasih ..."
Ros memakai jaket itu. Aroma wood dan musk itu tercium jauh lebih pekat, diseling aroma samar tembakau. Ros menyukainya, dan itu membuat pipinya merona lagi.
"Kamu sakit?" tegur Ian.
"Hah? Oh nggak ... kenapa?" suara Ros terdengar gugup.
"Wajahmu memerah ...," jawab Ian. "Tunggu di sini, aku ambil motor dulu."
Ros mengangguk, menangkupkan tangan di pipinya. Sialan! Sakit apaan, gara-gara jaket dia jadi seperti ini. Memalukan.
Tak lama kemudian sebuah vespa berwarna biru pucat yang masih terawat dengan baik nampak menuju ke arah Ros duduk. Ian memakai masker dari kain batik yang diikat, ujungnya terjurai hingga dibalik punggung. Pemuda itu rupanya hanya memakai kaos panjang yang lengannya tergulung hingga siku.
"Ayo naik ..."
Ros menurut. Dengan canggung ia duduk di boncengan vespa. Ian melajukan motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota Surabaya yang tak terlalu padat. Sampai di Jl. Pakis, Ian menghentikan vespanya.
"Kita makan dulu ya? Aku lapar ..."
Ros turun dari motor dan menatap sekeliling. Di dekat situ ada penjual nasi goreng dengan gerobak. Tenda berwarna merah nampak menaungi beberapa kursi plastik dan meja panjang. Tempatnya tak seberapa luas namun bersih dan rapi. Setelah memarkir motor, Ian mengajak Ros untuk masuk.
"Eh, Mas Ian ... lama nggak ke sini. Silakan duduk ...," sapa seorang laki-laki paruh baya yang sedang sibuk di depan wajan besar.
"Iya Bang Jon ... lumayan repot belakangan ini. Duduk di situ saja ya Sasi?" Ian menunjuk kursi yang terletak agak ke sudut.
Ros mengangguk, lalu kembali menatap sekeliling.
"Kamu mau makan apa? Di sini pilihan menunya lumayan banyak dan semuanya enak ...," Ian mengulurkan daftar menu kepada Ros.
Ros bingung, menatap Ian tak mengerti. "Eh, aku ..."
"Kenapa?"
"Apa nggak kamu saja yang pesan makanan?" tanya Ros sedikit ragu. Karena biasanya Ros akan selalu begitu jika bersama Giri. Ros menerima makanan apapun yang Giri pesankan. Di rumah pun, ia adalah orang yang tidak berhak untuk meminta jenis makanan tertentu. Ia harus menerima, apapun itu.
"No!" jawab Ian tegas. "Kamu yang makan, jadi kamu yang pesan. Bisa jadi apa yang aku pesankan buat kamu, tidak cocok. Di sini kamu bebas memilih menu makanan apapun yang kamu suka, Sasi ..."
Ros menunduk, menekuri daftar menu meski pikirannya tak lagi sepenuhnya ke sana. Ian orang pertama yang memberinya toleransi, meski Ian tak sepenuhnya mengerti keadaan dirinya.
"Aku ... boleh pesan nasi goreng cumi?" Ros menatap Ian, takut dengan tanggapan pemuda itu.
"Boleh. Mau dua porsi?"
"Enggak. Satu porsi saja ..."
"Bang, nasi goreng cumi dan mie goreng tuna ya?"
"Siap, Mas Ian. Mau minum apa?" balas lelaki yang dipanggil Abang oleh Ian.
Ian menoleh ke arah Ros dan gadis itu menjawab cepat. "Es teh ... dua gelas."
"Es teh empat gelas ya Bang ..."
"Siap."
Ian tertawa. "Kamu juga suka minum dalam porsi banyak ya?"
Ros ikut tertawa. "Iya. Soalnya suka seret kalau makan ..."
Tak lama, pesanan mereka datang. Keduanya menyantap hidangan tanpa banyak bicara. Ros sudah hampir menghabiskan nasi gorengnya yang terasa lezat saat didengarnya dering ponsel dari dalam tas.
Gadis itu meraih ponsel dan melihat layar. Keningnya mengernyit dan sikapnya mendadak sedikit gelisah. Ian mengamati tindak tanduk Ros dan menyentuh lengan Ros sekilas, mengisyaratkan agar gadis itu mengangkat panggilan dari ponselnya.
"Halo, Abang Giri?"
"Kamu sedang di mana, Ros? Maaf aku tadi nggak dengar telponmu, aku sedang menyelesaikan pekerjaan di kantor, laporan terakhir dengan klien ..."
"Eh ... iya Bang, nggak apa-apa. Aku lagi mampir di warung, beli nasi goreng ..."
"Oh ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan, sudah malam ..."
"Iya Bang, terima kasih ..."
Ros menutup sambungan telpon, menunduk memandangi nasi gorengnya yang masih ada di piring. Hanya itu saja? Kenapa Giri tidak menawarkan untuk mengantarnya pulang, atau apalah...
"Mau pulang sekarang?" tanya Ian memecah kesunyian. "Itu tadi pacarmu?"
Ros mengangguk lemah.
"Dia mau ke sini?"
"Enggak. Dia menyuruhku segera pulang dan berhati-hati ...," jawab Ros murung.
"Kamu mau pulang sekarang?" ulang Ian.
Ros menatap Ian dengan sepasang matanya yang besar dan polos. "Terima kasih ya Ian, sudah nganter aku pulang ..."
Ian tersenyum. "Kamu belum sampai rumah, girl ..."
Pemuda itu bangkit, menuju Abang nasi goreng dan membayar semua pesanan mereka. Ros masih gamang. Kenapa seakan Giri mulai berubah?
Sepanjang perjalanan menuju rumah, benak Ros masih sibuk bertanya-tanya tentang sikap Giri. Ia berusaha berpikir positif, bahwa laki-laki itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Lamunan itu terbawa hingga ia tak sadar bahwa vespa Ian sudah berhenti di depan pintu gerbang kokoh yang terkesan angkuh.
"Ini rumahmu?" tanya Ian.
"Sebetulnya, aku tinggal di rumah Tanteku. Aku hanya menumpang di sini ..."
Ian mengangguk. "Ya sudah, sana masuk. Sudah malam ..."
"Kamu mau pulang sekarang?"
"Aku nunggu sampai kamu sudah masuk ke kamarmu. Telpon aku."
"Kenapa harus begitu?" sergah Ros heran.
"Kamu mau berdebat di sini?" tantang Ian.
Ros cemberut. "Iya ... iya. Aku masuk. Terima kasih dipinjami jaket, dan soal bandana ... aku cuci dulu, baru aku kembalikan ya?"
"Pakai saja dulu jaketku. Lumayan ada yang nyuci ...," Ian menyeringai. "Soal bandana, buat kamu saja deh. Kayaknya kamu suka sama benda itu ..."
Ros mencibir. "Hoax ..."
"Oh ya?" tanya Ian sangsi. "Lantas tadi yang ngendus tuh bandana pas di ruko, siapa? Demit?"
Paras Ros seketika memerah. Sialan! Bener kan, Ian tadi tahu apa yang ia lakukan.
"Ehm ...," Ros berdehem untuk menutupi rasa malunya.
Ian tertawa. "Sudah, sana masuk. Apa kamu mau kuculik?"
Ros mendelik. "Ngimpi! Ya sudah, aku masuk ..."
Dengan langkah-langkah panjang, Ros melintasi teras rumah dengan penerangan temaram. Membuka pintu yang ternyata tak dikunci, kemudian melewati tangga melingkar yang terletak di ujung ruang tamu super besar. Di sana, ada seseorang yang mengamatinya.
"Kamu habis dugem ya?"
Ros menoleh dan menemukan Alex sedang mengisap rokoknya.
"Enggak," jawab Ros ketus. "Bukan urusanmu juga!"
"Kamu dianter siapa? Tumben beda orang?" Alex masih menatap Ros. Pandangannya sulit diartikan. "Bener-bener laku keras kamu ya?"
"Jawabanku tetap sama. Laku atau nggak, aku nggak bakalan sudi sama kamu!" Ros melenggang menuju kamarnya. Tanpa ia sadari, di belakangnya diam-diam Alex tersenyum.
Sesampai di kamar, Ros segera mengeluarkan ponselnya, lalu menekan nomor kontak Ian. Terdengar nada sambung.
"Halo ..."
"Aku sudah di kamarku, " lapor Ros. "Heran juga kenapa aku nuruti kamu ya?"
"Memangnya jarak dari depan rumah ke kamarmu butuh waktu berapa lama? Lama sekali kamu nelpon, apa kamu merangkak?" omel Ian.
"Enggak ...," tukas Ros. Suaranya terdengar lesu. "Alex selalu usil, nanya-nanya kenapa aku baru pulang, dianter siapa ..."
Sesaat hening. Semenit, dua menit ...
"Halo, Ian ... kamu masih di situ?"
"Sasi ...," suara Ian terdengar lebih berat, seakan menahan perasaan entah apa. "Kalau di kamarmu tidak ada kamar mandi, lekas selesaikan urusanmu sebelum kamu pergi tidur. Segera istirahat dan jangan lupa untuk mengunci pintu kamarmu. Paham?"
"Iy ... iya ..."
"Bagus. Aku pulang dulu. Pastikan ponselmu selalu aktif. Telpon aku kalau ada apa-apa ..."
"Nggak usah, terima kasih. Lebih baik aku telpon Giri saja ..."
"Terserah."
Sambungan terputus. Ros berdecak pelan, lalu meletakkan ponselnya di atas meja kayu di samping lemari. Entah kenapa, gadis itu merasa nggak ada salahnya menuruti kata-kata Ian. Maka ia segera menyelesaikan urusannya di kamar mandi, tidak lupa membawa sebotol besar air minum dan masuk ke kamar. Setelah memastikan pintu kamar terkunci, ia naik ke atas kasur dan merebahkan badan yang terasa letih.
Entah sudah berapa lama Ros tertidur, mendadak ia terjaga. Ada suara yang seperti sedang mengutak-atik pintu kamarnya. Bunyi ceklek terdengar beberapa kali. Ros menarik nafas panjang. Syukurlah ia sudah mengunci pintu kamarnya.
Mata Ros nanar menatap pintu kamar. Seperti ada seseorang yang sedang berusaha mendorong kunci supaya terlepas dari lubang. Kamar ini memang bukan kamar yang bagus, model pintunya pun terbilang biasa.
Mengumpulkan keberanian, Ros berusaha turun dari kasur tanpa menimbulkan suara. Diambilnya tongkat pemukul yang biasa ia pakai saat olahraga kasti dan mengendap mendekati pintu. Ada selembar kertas yang menjorok ke dalam. Ros tersenyum kecut.
Rupanya seseorang itu hendak mendorong kunci supaya jatuh di atas kertas dan kemudian menariknya keluar.
Ros berusaha menenangkan degup jantungnya yang berdetak liar. Seseorang itu masih berusaha mendorong kunci supaya jatuh.
Tring ...
Kunci kamar Ros berhasil terdorong dan jatuh tepat di atas kertas.

Komento sa Aklat (167)

  • avatar
    Diansw50

    novelnya bagus sat set and happy end. trims author., Krn bacaan mu yg tak membosankan telah menemaniku sepanjang hari😘😘😘😘😘

    25d

    Β Β 0
  • avatar
    SusantiSiti

    aku

    28d

    Β Β 0
  • avatar
    RaniaZahra

    bagus

    28d

    Β Β 0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata