logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 4

"Waalaikumsalam. Pa-k A-yes!"
"Iya. Maaf mengganggu. Boleh saya masuk?" tanyaku ragu karena melihat rautnya yang seketika berubah tak ceria.
"Ma-ri Pak. Silakan masuk!" Tatapannya seakan tak ingin melihat keberadaanku di sini.
Entah mengapa dia sangat tak ramah saat melihatku. Bukankah aku suami sahabatnya. Dulu, ia sangat ramah dengan kedatangan kami. Namun, prasangka buruk itu mulai kutepis, tak ingin berprasangka buruk dulu pada orang sebelum mendapatkan informasi yang cukup.
"Maaf, bila kedatangan bapak ke sini untuk menanyakan perihal Almarhumah istri anda, saya tak bisa menjelaskan."
"Iya, maksud tujuanku ke mari memang untuk itu."
Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin dia tahu kedatanganku ke sini menanyakan perihal istriku. Atau jangan-jangan dia memang tahu sesuatu yang terjadi dengan istriku.
"Sebenarnya, aku ...." Aku juga bingung mau ngomong apa kalau sudah diberi peringatan dengan ucapan tadi. "Maaf, Mba. Saya hanya ingin tahu tentang masalah Istriku dulu. Takada yang bisa membantuku, menjelaskan apa masalahnya. Apakah dia punya seorang musuh atau banyak yang memusuhinya, aku tak tahu. Hanya anda yang bisa membantuku menjelaskan semuanya. Jadi aku mohon bantuannya, jika berkenan untuk menjelaskan padaku."
"Maaf, Pak. Bapak datang pada orang yang salah. Saya tidak banyak tahu tentang Jannah. Tak ada yang bisa saya bantu untuk bapak. Saya mohon maaf," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku sendiri di ruang tamu ini.
"Tapi, Mba mungkin bisa membantu saya memberikan sedikit petunjuk," ucapku mengiba dan berharap ia paham maksud kedatanganku.
Sementara berjalan, ia pun berbalik dan berkata, "Aku cukup prihatin dengan berita kematian istri bapak. Apalagi isu yang berembus sangat kencang dan membuat bapak sangat tersudutkan."
"Maka dari itu, aku butuh bantuan dan informasi dari anda," sambungku lagi dan ekor mataku mengikuti arah langkahnya hingga tak terlihat lagi bayangannya.
Ia tak lagi menjawab ucapanku hanya melanjutkan langkahnya. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukannya. Aku juga bingung dengan sikapnya sejak awal kedatanganku ke rumahnya, rautnya kelihatan sangat tidak bersahabat.
Lama aku duduk dan membisu di ruangan ini, takada orang yang menemaniku berbicara. Sedangkan Syifa, tuan rumah itu belum kunjung datang dan entah apa yang dilakukannya. Kurang lebih setengah jam, sosok atau bahkan separuh tubuh wanita itu, belum juga kulihat. Ke mana sebenarnya ia pergi.
Mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini cukup bersih dan terawat. Beberapa koran dan majalah tergeletak di atas meja, tapi tersusun rapi. Berarti, ia cukup update dengan berita yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi tentang kematian istriku, ia pasti sudah tahu lewat berita di koran atau mungkin di TV.
Takada gambar atau foto yang terpajang di dinding seperti orang kebanyakan, hanya lukisan yang bertuliskan kalimat tauhid. Sepertinya dari tadi, aku tidak mendengar suara anak kecil. Atau mungkin mereka ke sekolah. Ah, kenapa aku tiba-tiba ingin tahu tentang ini juga. Bukankah tujuanku ke sini untuk memperoleh informasi. Aku merutuki diri sendiri.
Perasaanku semakin gelisah, tak enak berada terlalu lama di rumah orang. Tak berselang lama, pintu belakang terdengar sedang dibuka. Aku masih menunggu dengan harap cemas. Siapa gerangan?
Sosok itu muncul. Seorang wanita dengan hijab hitam hingga ke bawah tersebut datang menghampiri. Ia berjalan dengan sedikit cepat seperti tergesa-gesa.
"Maaf membuat Pak Ayes menunggu. Untuk saat ini, saya belum bersedia untuk menjelaskan apapun berkaitan dengan Jannah. Maaf ya, Pak."
"Kumohon Mba ... Aku hanya butuh sedikit informasi darimu." Aku masih memohon padanya dengan harapan ia bersedia menjelaskan padaku.
"Saya mohon maaf, Pak, dengan sangat menyesal. Ini bukan waktu yang tepat. Aku sedang tidak enak badan." Ia menangkupkan kedua tangan di atas dada. "Lagi pula tak baik terlalu lama di rumah orang, bukan?" lanjutnya.
Aku hanya bisa mengembuskan napas berat kemudian hendak pamit. Meskipun dengan wajah lesu aku harus beranjak dari sini. Pemilik rumah menghendaki aku untuk pergi.
"Baik, Mba. Saya pamit dulu. Jika nanti berkenan untuk menjelaskannya padaku, tolong beritahu saya," ucapku padanya walaupun dengan berat hati. Syifa mulai beranjak meninggalkanku.
Aku tak mungkin memaksakan orang bila ia tak mau. Ia ada benarnya juga, tidak baik seorang lelaki di dalam rumah orang terlalu lama. Tapi, bukannya dia yang sangat lama meninggalkanku sendiri di dalam tadi. Dan ia pergi entah ke mana tanpa pemberitahuan kemudian muncul tiba-tiba.
Dengan berat hati, aku berdiri untuk meninggalkan rumah tersebut dan pergi dari sini. Aku bingung harus ke mana lagi aku akan bertanya dan menjawab semua tanda tanya yang menggelayut di pikiranku.
Saat aku berdiri, seketika mataku memicing, melihat sebuah foto yang terpajang di dalam lemari hias yang tidak berkaca. Foto tersebut berukuran 10R. Ukuran foto sebesar itu bisa dilihat jelas dari jarak 5-10 meter, dengan catatan untuk mata normal, bukan minus. Aku memfokuskan pandanganku ke gambar tersebut, sangat tidak asing lagi dengan orang-orang di dalam foto itu.
Yah, aku baru ingat itu foto saat kegiatan seminar yang aku sendiri sebagai narasumbernya di kegiatan tersebut. Di foto itu terlihat Jannah dan semua teman-temannya sebagai panitia, pastinya ada Syifa di samping kiri Jannah. Dan wanita di sebelah kanan Jannah. Aku memicing lagi dan berpikir agak lama kemudian menghela napas lebih dalam. Ya, wanita itu aku pernah lihat. Dia juga merupakan sahabat Jannah, tapi dia di mana sekarang.
Mungkin aku bisa mencari informasi darinya juga. Seketika, raut tegang di wajahku sedikit berkurang. Setidaknya, aku akan mendapatkan informasi ke sahabatnya yang ini selain Syifa. Aku harus mencari tahu di mana keberadaannya. Berarti mereka sudah lama mengenalku sebelum aku lebih dekat dengan Jannah dan mempersuntingnya.
Mobil terus melaju membelah jalan raya. Pikiranku benar-benar kalut, memikirkan hal tadi. Aku baru tersadar.
"Kenapa aku tidak menanyakan perihal wanita di foto tadi ke Syifa?" gumamku. "Ah, aku benar-benar bodoh! Bisa-bisanya aku lupa menanyakannya." Aku menepuk dahiku sendiri karena kesal. "Apa sebaiknya aku balik lagi?"
Aku menghentikan mobil sejenak, mulai ragu untuk balik lagi ke rumah tadi atau melanjutkan perjalananku tanpa mendapatkan informasi apapun.
***
Bersambung ....

Komento sa Aklat (227)

  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    AmeliaDessi

    bagus

    01/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata