logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

kejang

Gegas aku kembali menemui Tari dalam kamar. Ada rasa marah saat mengetahui bahwa susu Adel habis namun Tari sama sekali tidak membicarakannya padaku bahkan Tari memberikan Adel entah susu apa itu aku tidak mengetahuinya.
“Tari!” Panggilku seraya melangkah memasuki kamar.
“Ada apa, Mas?” Tari terlihat bingung karena panggilanku yang tiba-tiba.
“Air apa yang kamu berikan untuk Adel, Tari?”
“Aku, aku hanya, itu, itu air...”
“Air apa?” tanyaku berusaha menahan amarah yang mulai bergejolak dalam dada.
“Itu air susu Adel, Mas.” Jawab Tari dengan gugup
“Air apa? Aku tahu susu Adel habis, lalu apa yang kamu berikan untuk anakku?” Bentakku dengan membanting dot bayi yang masih terdapat setengah isinya saat Tari tak kunjung juga menjawab pertanyaanku.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Tari malah hanya berdiri mematung dengan air mata yang terus menetes dengan derasnya dari pelupuk matanya.
Hatiku teriris menyaksikan Tari yang menangis di depanku. Memang selama ini Tari jarang sekali menangis di depanku. Bahkan terbilang tidak pernah selain tangisan haru saat pertama kali melihat Adel di dunia ini.
“Dek!” Panggilku melembutkan suara. Rasanya amarahku meluap begitu saja melihatnya yang meneteskan air mata.
Diam.
Tari hanya diam melihatku dengan tatapan kosongnya. Aku seperti tidak menemukan jiwa dalam raga Tari saat ini.
“Kamu kenapa, apa yang terjadi sebenarnya?” Tanyaku dengan lembut namun nihil.Tari masih kekeuh dengan keterdiamannya.
“Tari, tolong jawab Mas. Air apa yang kamu berikan untuk anak kita. Apa benar itu bukan air susu seperti apa yang selama ini aku belikan untuk Adel?” Tanyaku hati-hati. Sebab aku takut akan kembali membuat Tari menangis karena pertanyaanku.
“Maaf.” Tari menunduk seraya dengan ucapannya yang terdengar lirih bahkan nyaris tak ku dengar.
“Ada apa sebenarnya, Dek. Jangan membuat Mas bingung dan diliputi pertanyaan yang Mas sendiri tidak tahu jawabannya. Mas hanya tanya sama kamu. Air apa yang kamu berikan untuk Adel?” Tanpa terasa aku kembali menaikkan intonesi bicaraku hingga membuat air mata Tari yang sebelumnya telah berhenti menetes kini kembali menetes dengan deras.
“Aku, aku, aku minta ma-af. Aku minta maaf, Mas, aku minta maaf.” Rancau Tari dengan berderai air mata, namun anehnya tatapannya tetap sama. Tetap kosong seperti saat pertama aku menanyakan tentang air yang Tari berikan pada Adel.
“Aku minta maaf, Mas. Aku minta maaf. Tolong jangan marah, aku minta maaf.” Tari terus meramcau bahkan saat aku telah memeluknya dalam dekapanku.
Saat aku masih dibingungkan dengan sikap tari yang sungguh di luar dugaan. Aku kembali di kagetkan dengan lengkingan tangis Ade yang seakan ingin merobek gendang telinga.
Ku lihat Tari yang masih diam mematung di depanku. Tak ia lakukan gerakan sedikitpun padahal tangis Adel telah memenuhi ruangan kamar ini.
“Adel nangis, Dek.” Tuturku namun Tari masih tetap diam melihatku dengan pandangan kosong.
Ku hampiri Adel dan ku bawa Adel dalam gendonganku. Benar saja, suhu tubuh Adel memang tinggi. Mungkin itu yang membuatnya menangis dengan kencangnya kali ini.
“Dek!” Panggilku seraya mendekatkan Adel pada Tari
“Adel sayang. Kenapa, Nak. Apanya yang sakit, Nak.” Tutur Tari seraya merebut Adel dan membawanya dalam dekapan.
“Adel panas banget, Mas.” Tutur Tari panik.
“Kamu siap-siap kita bawa Adel ke rumah sakit.” Cetusku karena sangat khawatir dengan keadaan Adel kali ini. Baru kali ini Adel demam sampai setinggi ini.
“Adel kenapa, Mas. Adel kenapa?” Tanya Tari panik saat ku lihat tubuh Adel mengejang saat di tidurkan di atas tempat tidurku.
“Adel kejang, Dek ayo cepat bawa Adel ke rumah sakit. Sekarang!” Aku langsung menyambar kunci yang sebelumnya di atas nakas. Tak ku pedulikan pakaian tidur yang masih melekat di badanku.
“Tapi, Mas.” Tari terdengar ragu dengan keputusan yang aku ambil.
“Ayo cepetan, Dek kita harus cepat membawa Adel ke rumah sakit. Adel harus segera mendapatkan pertolongan sebelum terjadi apa-apa.” Panikku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Adel.
“Aku takut.” Cicit Tari sangat lirih. Bahkan aku hampir saja tidak bisa mendengarnya karena volume yang teramat lirih dengan kepala yang Tari tundukkan.
“Jangan pikirkan apapun. Yang terpenting sekarang kondisi Adel.” Aku menarik Tari yang sedang menggendong Adel dengan segera.
Ku suruh masuk Tari kedalam mobil yang sudah terparkir di garasi. Sungguh keadaan ini membuatku sangat panik dan tidak bisa berfikir dengan jernih.
Ku lajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Tak ku hiraukan beberapa klakson yang sengaja di bunyikan karena aku menyetir dengan ugal-ugalan.
“Perawat.” Teriakku kalut memanggil perawat untuk segera memberikan pertolongan pertama pada Adel karena keadaan Adel yang sudah memejamkan matanya.
Segera beberapa perawat membawa brankar untukku meletakkan Adel. Adel segera di bawa ke ruang UGD untuk mendapat pertolongan pertama untuk kondisinya.
“Maaf, Pak, Bu mohon tunggu di sini terlebih dahulu. Biarkan dokter yang akan menangani pasien.” Ucap salah satu perawat saat Adel di masukkan ke ruang UGD.
Aku hanya bisa menurut dan meremas rambutku. Sungguh keadaan ini membuatku frustasi. Ku lihat Tari yang telah bersipuh dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya.
“Dek!” Panggilku pada Tari yang terlihat sangat acak-acakan.
“Adel, Mas, Adel. Aku gagal menjadi seorang Ibu, Mas, aku gagal.” Tangis Tari pecah saat aku memeluknya. Baru kali ini aku lihat Tari yang begitu kacau dan rapuh.

Komento sa Aklat (674)

  • avatar
    Arahma

    ceritanya bagus

    4d

      0
  • avatar
    Sella Andriani

    keren sih ini suka

    8d

      0
  • avatar
    Ari

    cara penulisan ada yg kurang/salah seperti kotak tapi di tulis otak

    15d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata