logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 7 - L

Untuk melakukan hal yang berakibat panjang memang berat,
tapi berbuat sebuah hal yang beresiko berat bisa mudah.
••E••
"Kamu ngajinya tambah bagus, mahrijul hurunya sudah mulai fasih." Ustadz Malik tersenyum menatap muridnya. "Sudah sampai mana hafalannya?"
"Baru ayat ke 55 Ustadz," jawab Erkan menunduk.
"Alhamdulillah, hafalannya dijaga. Muroja'ah terus, supaya nggak lupa. Saya doain kamu, cepet hafal Yasinnya. Semoga Allah kuatkan iman kamu, Allah jaga istiqomah kamu. Jika kamu sungguh, semoga kamu juga bisa menghafal Al-Quran luar dalam." Ustadz malik, menepuk pundak Erkan pelan. Sudah dua tahun, ia mengenal Erkan. Ia sebagai guru ngaji di dekat perkomplekan rumah orangtua Erkan, merasa tertarik dengan anak yang terus mengintip pengajiannya.
Sungguh senang kala mendengar lontaran Erkan dua tahun yang lalu.
"Erkan cinta Al-Quran, tapi Erkan tidak punya dan juga tidak bisa membacanya seperti Ustadz dan mereka."
Begitulah kata-katanya, saat itu ia hampir menangis. Setelah pengajian selesai, ia menghampiri Erkan. Lalu pada hari itu dan selanjutnya, Erkan selalu datang ke pondok. Tidak cuma melihat, ia juga belajar.
"O, iya. Ustadz udah beliin kanfasnya untuk kamu coret." Erkan tertawa, ia mengangguk.
"Pondok ini, butuh Kaligrafi kamu lagi. Biar tambah tenang hati, untuk dilihat." Ustadz Malik, melihat-lihat 3 kaligrafi yang terpajang di dinding pondok hasil karya Erkan.
"Ustadz pulang dulu ya. Ini kuncinya, sebelum maghrib pulanglah."
"Iya Ustadz."
"Yasudah, Assalamu'alaikum." Erkan menyalimi tangan Ustadz Malik, lalu menjawab salam.
"Wa'alaikummusalam." Erkan memandang punggung Ustadz Malik yang keluar dari pondok Ia tersenyum, tadi setelah ia teringat untuk mengaji. Erkan langsung bergerak pergi ke pondok, daripada ia duduk di kamarnya dan meratapi kesedihan yang tak kunjung habis. Dan di sinilah dirinya, rasanya Erkan tidak mau pulang.
Erkan bergerak mengambil bingkisan yang berisi kanfas dan alat lukis lainnya. Ia menempatkan alat-alat tempurnya, menata agar ia lebih nyaman untuk memulai kaligrafinya.
Di dalam seni rupa Islam, tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya isinya disadur ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu pena di atas kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit.
Erkan menatap kertas putih yang masih bersih tanpa coretan tinta, ia tersenyum. Kepalanya bergerak melihat kaligrafinya yang di pajang di dinding pondok atau langgar di perkomplekan ini. Erkan beranjak meninggalkan alat-alat lukisnya yang siap pakai, ia memilih menyenderkan badannya di dinding pondok. Tak lama bibirnya bergerak, ia melatunkan hafalannya kembali. Setelah yakin ia hafal dengan benar. Ia mulai beranjak, dirinya akan pulang. Biarlah alat-alat lukis yang masih tersusun siap diajak bertempur. Lagipula dirinya belum menemukan ide, untuk membuat kaligrafi apa selanjutnya. Erkan mengunci pintu pondok, lalu berbalik menjauh. Ia berjalan pelan, mencoba tersenyum untuk anak-anak dan orangtua yang lewat. Sekitar 13 menit ia berjalan menuju rumahnya.
••E••
Caswita termenung di kamarnya, menatap figura foto yang menampakkan laki-laki paruhbaya. Wili, ayahnya telah meninggal 16 tahun lalu. Ia menitikan air matanya, teringat kenangan dirinya bersama sang ayah. Ia anak satu-satunya dari sepasang suami istri Wili dan Ema. Ibunya masih sehat, namun sekarang tinggal di bandung. Ia di sana menjaga kenangan yang ditinggalkan suaminya.
Hari itu, seharusnya menjadi hari yang paling bahagia. Namun, dalam sekejap menjadi momok dalam kehancuran hatinya dan kebencian yang entah datang darimana.
Triring ting
Caswita terkesiap, ia menghapus air mata di pipinya. Tangannya mengambil handphone di atas nakas, lalu menjawab panggilan masuk.
Mama is calling
"Iya Ma."
"Ita, Mama besok ke Jakarta. Berkunjung ke tempatmu, Mama kangen cucu-cucu Mama."
Terdengar suara wanita paruh baya di seberang telepon. Caswita tersenyum, "iya Ma. Mama hati-hati ke sininya."
"Ya sudah, Mama beres-beres dulu. Ingat, jangan beritahu cucu-cucu Mama. Mama ingin memberi kejutan."
Ema ibu dari Caswita terkekeh di akhir kalimatnya. Caswita tertawa pelan, "iya Ma. Ita akan rahasiain."
Tut
Panggilan berakhir, Caswita kembali meletakkan handphone nya ke atas nakas. Ia menghela napas panjang. Caswita tau, mamanya tidak benar baik-baik saja setelah ditinggalkan sang suami.
••E••
Erkan memasuki rumahnya, melewati pintu belakang. Sebentar lagi maghrib, dan ia terlihat kuyu. Wajahnya pucat, sewaktu diperjalanan Erkan merasakan perutnya kembali berulah. Apa karena jarang makan, ia jadi lupa untuk makan.
Entahla.
Namun, Erkan harus makan. Walaupun, ia sudah sangat terlambat karena perutnya yang terlanjur sakit. Ia berjalan tertatih menuju kamarnya, berniat mengganti bajunya dan menunggu Azan Maghrib. Setelahnya mungkin ia bisa meminta makan.
Mati dan hidup adalah dua hal yang berjauhan, namun jika hidup dan mati itulah hal yang sangat dekat. Erkan tidak pernah melupakan dua fakta itu. Ia hidup dan bernapas dengan baik saja, sudah bersyukur. Apa kalian juga sudah bersyukur pada-Nya. Jika belum, mari ucap Alhamdulillah bersama.
Erkan menghentikan langkahnya, setelah berhasil membuka pintu kamar dan masuk. Ia menepi di dinding, tetap berdiri. Perutnya tidak pernah berhenti seakan ditusuk puluhan panah, mengambil napas pun rasanya sangat membuatnya kepayahan. Erkan tetap berdiri, mencoba mengetes seberapa kuat dirinya. Seberapa tahan tubuhnya, ia mencengkram kuat perutnya. Pelipisnya penuh dengan keringat dingin, matanya terkadang memejam seiring denyut menyentaknya. Satu tetes air mata terjatuh dari pelupuk mata yang sudah memerah. Ia terduduk, kala denyutan di perutnya melemah. Erkan tidak ingin merasakannya lagi. Jika begini, ia lebih memilih sakit di hati kala umpatan menghampiri telinganya.
Bolehkan dirinya mengeluh, atau sekarang ia sedang mengeluh.
"Astagfirullah," gumam Erkan pelan diiringi tetesan air mata.
Ia merangkak mendekati Kasur nya, perutnya menegang. Jika disentuh, terasa kaku dan keras.
"Akhhh ..."
"Shhtt ... Hiks," ringisnya kala sakit itu kembali.
Erkan meluruh tergeletak di lantai dingin kamarnya, Azan Maghrib terdengar. Namun, ia sudah tidak kuat bergerak. Pandangannya mengabur, lalu menghitam. Maghrib ini, Erkan melewatinya. Membiarkannya berlalu dalam kegelapan yang menguasai.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    Reffan Adilla Silviani

    berbagai macam cobaan terus ia terima, selalu di cerca Dengan perasangka buruk dari sodara sodaranya, tak pernah sedikitpun ke baikan keluar di hadapan keluarga nya, rasa sakit yang selalu ia terima, terlebih sakit hati yang amat luar biasa ia terima, hanya demi pengakuan yang ia inginkan, berusaha untuk tetap tegar, demi harapan dan sebuah pengakuan.

    05/06/2022

      1
  • avatar
    AjaHanifah

    asyik membaca sampai lupa waktu ceritanya bagus 👍

    05/08

      0
  • avatar
    MadureShaka

    bagus sih

    27/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata