logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 5 - D

Bintang yang jatuh bukanlah untuk sebuah permintaan, tapi ia ingin mengatakan jika masih ada banyak harapan jika ada keinginan.
••E••
Erkan duduk di pinggir kolam dengan kakinya yang masuk ke dalam air. Di malam yang sunyi dan sedikit dingin dan suasana menyenangkan baginya. Kepalanya sedikit mendongak melihat ke arah bintang yang bertabur di langit, lalu berpindah ke bulan yang berbentuk sabit jadi bulan sabit. Ia mengeluarkan kertas putih yang telah ia coret dengan tulisan arab dari saku celananya. Kemudian matanya mulai meneliti ayat yang ia tulis, lalu melafalkannya pelan.
Setelah melafalkan ayat per ayat, Erkan kembali membaca di kertas usang itu. Ia sedang dalam masa menghafal surah Yasin, karena baginya ia sedikit kesusahan karena tidak hafal surahnya. Membaca huruf Al-Quran pun butuh perjuangan, namun karena kegigihan Erkan dan atas izin Allah, semuanya dimudahkan.
Erkan menutup kertasnya, kepalanya ia dongakkan menatap bintang. Lalu bibir kecilnya mulai bergumam, lafalan surah Yasin dari ayat 20 sampai 1. Ia menghafal menggunakan metode yang pernah Ustadz Adi Hidayat ajarkan, saat ia menonton ceramahnya di Youtube lewat Handphone Kevin. Yaitu dengan membuat 5 per 5, lalu dihafalkan. Jika sudah hafal lima ayat, dilanjutkan lagi menghafal 5 ayat selanjutnya. Lalu, setelah benar-benar merasa hafal dan benar tartilnya. Ayat yang di hafal di lafalkan dengan di acak, agar bisa dihafal dengan nomor ayatnya. Kemudian, jika sudah mampu mengahapal dengan nomornya, coba dilatih dengan acak. Seperti, dalam sepintas otak menyuarakan surah Yasin ayat 8.
In Shaa Allah, otak akan langsung memperoses dan membuat lidah bergerak melafalkan ayat 8 dengan benar.
Erkan tersenyum lebar, ia sudah menghafal 30 ayat. Walaupun memakan waktu yang cukup lama, tapi untuk hasil yang memuaskan agar hafalannya tidak cepat lupa. Erkan merujo'ah hafalannya berulang kali, sampai ia benar-benar ingin berhenti. “Tiga puluh ayat untuk malam ini, target 3 hari." Erkan tidak akan memaksa dirinya untuk menghafal cepat. Jika niat dan dengan hati yang ikhlas, Erkan yakin ia akan cepat hafal jika Allah mengijinkan. Ia mengusap bahunya dengan kedua tangan, angin malam ini seperti sangat banyak yang menampar badannya. Namun, rambutnya tidak bergoyang, hanya ada udara yang dingin tidak ada angin. Erkan bangkit, ia mengeluarkan kakinya dari kolam. Erkan tidak merasakan ada gumpalan es di dekat kakinya, namun ketika diangkat Kakinya berdenyut, lantas saja ia berlari masuk ke rumah.
Sholat Isya dulu, pikir Erkan.
Tok tok
Erkan berbalik, ia menatap pintu putih di kamarnya. Ia yang sudah sholat dan berdoa, dengan segera ia melepas sarung yang melekat ditubuhnya, dan menaruh kembali Peci dan Sajadah yang ia pakai. Erkan bergegas membuka pintu kamarnya.
Ceklek
Yang pertama kali Erkan lihat saat membuka pintu, adalah wajah Stevan. "Gue percaya, bukan lo yang ngelakuin itu." Stevan tersenyum, ia menyeret tangan adiknya, berjalan menuju kamarnya berada.
"Yok, tidur bareng gue aja." Stevan, membawa tubuh Erkan ke kasur king sizenya. Setelah mereka berbaring di kasur itu, Stevan merapatkan tubuhnya dengan Erkan. Erkan hanya diam, menerima perlakuan kakaknya. Stevan memang baik padanya, terkadang ia juga yang paling jahat dari saudaranya. Sifat Stevan sering berubah, itulah kenapa Erkan hanya menurut saja.
Stevan beringsut, memeluk Erkan. "Gue percaya sama adik gue, daripada sama orang yang nuduh lo itu. Gue juga bakalan berusaha bikin lo sekolah lagi, gue nggak mau liat adek gue bodoh karena nggak sekolah … Kalo lo perlu apa, lo jangan sungkan minta bantuan sama kakak lo ini. Jangan biarin gue sia-sia jadi, kakak lo. Gue pengen berguna buat adek gue, pengen juga bahagiain elo."
Erkan tersenyum mendengar ucapan kakak bungsunya. Matanya berkaca-kaca, sedikit terharu.
"Gue tau, lo cerdas dek." Stevan memejamkan matanya.
Erkan melirik Stevan, ia juga memejamkan matanya. Untuk malam ini, biarkan pelukan hangat itu merasukinya. Untuk malam ini, hatinya merasa hangat dan ada petasan kertas yang meletup. Sebelum Erkan benar-benar memasuki alam mimpinya, ia menyunggingkan senyum kecilnya lalu mengucapkan syukur di dalam hati tidak lupa doa tidur. Setiap saat, tidak banyak yang menjadikannya selalu bersemangat dan mempunyai harapan. Cukup perhatian kecil dari kakaknya, dia sudah sangat merasa senang. Seakan tidak ada lagi kebahagian yang lebih membahagiakan.
Tidak ada salahnya jika dia ingin bahagia karena orang lain, bukan sebab dirinya sendiri. Rasa sepi yang jauh dari bentuk keramaian memang memikat, tapi suasana ramai dan hangat lebih dibutuhkannya saat ini. Itu bahagia yang sederhana karena keluarga.
••E••
"Kebakaran tadi adalah hal yang tidak pernah saya bayangkan, sekolah ini memiliki pengawasan ketat dalam bidang fasilitas atau pun murid. Ini membuat saya merasa tidak tau lagi, harus mengatakan apa. Semuanya saya serahkan pada Pak Alan, selaku tokoh kedua dari pemilik Sekolah ini."
Alan menatap kepala sekolah Pramuja high school, tajam. Rauh wajahnya sedikit menunjukkan ada kemarahan yang terpendam. "Berapa total kerugian?”
Pak Seno mengangguk, ia meminta map pada staf guru yang telah membuat laporan kerugian karena kebakaran. Ia membuka map hijau itu, lalu membaca lampiran kertas putih. "Hampir 2 ratus juta pak." Alan menghela napas kasar.
"Apakah benar bahwa Erkan yang membuat kebakaran terjadi?" tanya Alan.
"Iya benar pak, saya sudah melihat di CCTV saat Erkan memasuki gudang sekolah lalu keluar. Tidak lama kemudian, asap keluar dan Api yang sudah membesar. Dan juga, polisi sudah menyatakan bahwa penyebab kebakaran adalah puntung rokok. Erkan, orang yang terakhir berada di gudang, jadi 99% bukti CCTV mengacu pada Erkan."
Alan mengangguk, "saya akan urus anak itu. Selain itu, bapak yang urus. Sekolah harus secepatnya beraktifitas seperti biasa, dan jika bapak tidak bisa melakukan itu, biar saya cari orang yang bisa melakukannya." Ia bangkit lalu berpamitan, lalu berjalan keluar.
"Semuanya, sesuai rencana Nyonya. Tapi-"
"Apa?" tanya sosok yang dipanggil nyoya—memotong perkataan bawahannya—yang tengah duduk di kursi kebesarannya.
"Kerugian atas kebakaran yang terjadi, cukup besar Nyonya." Orang itu mengernyit.
"Berapa?"
"Mencapai 200 juta Nyonya." Orang itu mengangguk-ngaggukkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, untuk hasil yang besar. Memang harus mengeluarkan yang lebih besar," ucapnya santai dan senyum miring yang tercetak. Dia tidak sabar untuk mengetahui hasil yang ia dapatkan setelah melakukan hal ini. Akankah anak itu bisa lenyap dari hidupnya.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    Reffan Adilla Silviani

    berbagai macam cobaan terus ia terima, selalu di cerca Dengan perasangka buruk dari sodara sodaranya, tak pernah sedikitpun ke baikan keluar di hadapan keluarga nya, rasa sakit yang selalu ia terima, terlebih sakit hati yang amat luar biasa ia terima, hanya demi pengakuan yang ia inginkan, berusaha untuk tetap tegar, demi harapan dan sebuah pengakuan.

    05/06/2022

      1
  • avatar
    AjaHanifah

    asyik membaca sampai lupa waktu ceritanya bagus 👍

    05/08

      0
  • avatar
    MadureShaka

    bagus sih

    27/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata