logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

5 - Hari Terakhir di Sekolah Lama

“Vaaalll ... ya ampun, aku seneng banget masih bisa ketemu kamu hari ini.” Vivian berlari dan menghambur ke dalam pelukan Val begitu melihat sahabatnya itu telah tiba di sekolah. Begitu juga dengan Nadia dan Maya yang juga secara spontan menubruk Val bersamaan dan membuat Val oleng.
Val hampir saja terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan diri saat ditubruk oleh tiga orang temannya. Untung saja mereka berhasil menarik Val hingga bisa menyeimbangkan badannya kembali. Dan mereka pun terkekeh geli.
“Aku juga. Semalem aku sempet sedih, mikir seandainya kita enggak akan bisa meet up lagi,” tambah Maya.
“Jadi ini beneran, ya? Kita enggak lagi mimpi? Padahal aku berharap banget ini Cuma mimpi. Semalem aku cubit-cubit lengan juga, dan ternyata emang sakit semua. Terbukti kalau ini semua bukan mimpi.” Nadia dengan raut sedihnya turut memeluk Val.
Empat gadis yang saling bersahabat itu berpelukan bak boneka Teletubbies, mengundang perhatian siswa-siswi yang berada di sekitar mereka.
Val terharu, tapi sebisa mungkin dia tetap tegar supaya ketiga sahabatnya itu tidak bertambah kadar sedihnya.
“Udah, enggak usah terlalu sedih gitu kali. Aku kan Cuma pindah ke luar kota. Jadi kita masih bisa ketemu kan, kalau aku balik ke sini.” Val berusaha menenangkan.
“Beneran, Val? Jadi ada kemungkinan kamu balik ke sini?” tanya Maya dengan lugu. Dia yang pertama melepas dekapan ala-ala Teletubbies mereka, sedang yang lain mengikuti.
“Serius kan, kamu?” timpal Nadia.
“Serius. Masa iya, aku bohong? Coba kalian pikir, di kota ini tuh ada pusara mamaku. Mana mungkin aku enggak balik ke sini? Kalau aku kangen sama Mama, aku harus ke mana lagi kalau bukan ke pusaranya, ya kan?” Ucapan Val cukup realistis sehingga membuat teman-temannya mengangguk bersamaan.
Vivian mengembuskan napas dengan lega. “Syukurlah kalau gitu. Tadinya aku pikir, aku enggak akan bisa ketemu kamu lagi, Val.”
Val hendak membalas ucapan Vivian. Namun, dia lebih dulu melihat ayahnya keluar dari mobil.
“Oh ya guys, kenalin. Ini papaku,” kata Val begitu Leo mendekat.
“Hai, Om. Kami sahabatnya Val. Saya Nadia, ini Vivian dan ini Maya.” Nadia memperkenalkan diri sekaligus menyebutkan nama yang lain. Sementara Vivian dan Maya melambaikan tangan sebagai bentuk sapaan pada Leo.
“Hai ... salam kenal, ya? Saya Leo, papanya Val.” Leo tersenyum simpul. “Kalian pasti sudah lama dekat dengan Val? Saya lihat, kalian begitu akrab.”
Maya buru-buru mengangguk. “Iya, Om. Kami bersahabat sejak kelas sepuluh,” ujarnya.
Leo manggut-manggut.
“Guys, mending kalian ke kantin duluan deh. Aku mau anter Papa ke ruang kepala sekolah. Nanti aku nyusul ke kantin.” Val memberi instruksi pada sahabatnya.
“Oke. Kalau gitu, kami permisi dulu, Om.” Nadia mewakili teman-temannya untuk berpamitan.
“Iya, silakan.” Leo membalas singkat. “Sepertinya mereka seru, ya?” selorohnya begitu melihat Nadia, Vivian dan Maya melenggang menuju kantin.
“Seru banget, Pa. Dan mereka ini selalu baik sama Val.”
“Syukurlah kalau selama ini kamu dikelilingi sama orang-orang baik,” kata Leo dengan senyum yang kembali menghiasi bibirnya.
Setelah itu, Val menunjukkan pada ayahnya di mana letak ruang kepala sekolah berada. Kebetulan sekali, Bu Nina yang menjabat seagai kepala sekolah, sedang berada di dalam ruangannya. Val dan ayahnya pun segera masuk untuk mengutarakan maksud kedatangan mereka.
Sejenak berada di dalam ruangan kepala sekolah, Val meminta izin untuk menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu pergi ke kantin selagi jam istirahat masih berlangsung. Val tidak ingin menyia-nyiakan waktunya yang tinggal beberapa menit lagi untuk menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Karena setelah itu, dia akan mengikuti sang ayah dan tinggal di rumah baru.
“Vaaal ...,” seru Vivian yang duduk di salah satu bangku kantin. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat pada Val supaya mendekat.
Dari kejauhan, Val membalas lambaian tangan Vivian. Dia pun segera mendekati kawan-kawannya.
“Hai guys, kita mau makan apa nih? Kebetulan aku laper banget, tadi belum sempet sarapan.” Gadis dengan ikat rambut bak ekor kuda itu menduduki bangku di hadapan Maya.
“You look so happy, Val. Janji ya, sama kita, kalau kamu udah di Yogyakarta nanti, jangan pernah kamu lupain kita.” Nadia meminta dengan sungguh-sungguh. Baginya terasa berat melepaskan sahabat sebaik Val. Seandainya saja ayah Val mengizinkan dia untuk tetap tinggal, Nadia akan sangat merasa senang, begitu juga dengan kawannya yang lain. Tapi untuk saat ini, yang terbaik bagi Val memang hidup bersama sang ayah.
“Mana mungkin aku lupa sama kalian? Enggak akan lah,” sergah Val. “Katanya mau makan bareng? Kalian kenapa belum jadi makan?”
“Nunggu kamu dateng, Val. Kan mau makan bareng sama kamu,” jawab Maya mewakili teman yang lain.
“Betul banget. Jadi karna kamu belum ke sini, kita belum pesen makanan deh,” imbuh Vivian.
“Gimana kalau kita makan di luar sebentar?” tanya Leo yang tiba-tiba muncul di kantin, mengalihkan perhatian teman-teman Val.
“Eh, Papa,” gumam Val yang tidak menyadari kedatangan ayahnya. Tahu-tahu, laki-laki itu muncul begitu saja.
“Yuk! Om sudah izin kepada kepala sekolah dan beliau memperbolehkan. Sebentar aja, kok.” Leo meyakinkan.
“Bener, Papa udah izin?” Val memastikan jika yang didengarnya itu tidak salah.
“Iya, masa papa bohong?” Leo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Mau, mau, mau. Ayo guys, kapan lagi kita bisa makan bareng? Kita juga enggak tahu kapan bisa ketemu lagi sama Val,” ajak Nadia dengan semangat karena dia memang hobby makan.
“Nah, betul sekali.” Leo menimpali.
Val beranjak dari tempat duduknya. “Emangnya mau makan di mana, Pa?”
Leo tersenyum. “Di mana aja, itu terserah kalian. Jadi papa ngikut.”
Val berpikir sejenak. Dilihatnya Nadia dan Vivian yang tampak sedang berbisik.
“Kalian ngapain sih, pakai bisik-bisik tetangga?” seloroh Val. Sedangkan Maya yang juga melihat hanya menggeleng perlahan.
Vivian dan Nadia sama-sama meringis.
“Gini, Om. Di deket sini ada resto ala Korea yang makanannya enak-enak banget. Dan Val pernah cerita kalau suatu saat dia pengin ke resto itu sama papanya,” ujar Vivian dengan suara cempreng khas dirinya.
“Oh, itu,” gumam Val yang sama sekali tidak menampik ucapan Vivian.
“Resto ala Korea? Di mana itu?” tanya Leo karena belum tahu restoran yang dimaksud Vivian.
“Ini, Om.” Nadia berdiri dan memperlihatkan layar gawainya yang menunjukkan letak di mana resto itu berada dari halaman sebuah peta.
“Oh, resto ini? Papa sudah pernah ke situ. Ya sudah, ayo kita ke sana sekarang!” ajak Leo dengan semangat.
“Jadi Papa pernah ke sana? Sama siapa?” Val iseng bertanya.
Mendadak wajah Leo bersemu merah. Laki-laki paruh baya itu gelagapan, seperti bingung hendak menjawab apa.

Komento sa Aklat (635)

  • avatar
    cantikayang

    menarik aplikasi ini banyak cerita yang di dalam buku ini

    1d

      0
  • avatar
    intanfebiola07

    bagus

    1d

      0
  • avatar
    RamadhanGustian

    lipayan lahhhh

    2d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata