logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Perpisahan

Hari demi hari terlewati, tibalah saat dimana Ammar harus pergi mencari ilmu, menyongsong masa depan, mewujudkan cita-citanya.
Meskipun ia harus rela berpisah dengan kedua orang tuanya, meninggalkan kampung halaman yang telah menorehkan banyak kenangan, berjauhan dengan sahabat yang telah menjadi kekasihnya—Ayya—dengan ribuan kisah yang telah mereka rangkai bersama.
Bu sarah mengetuk pintu kamar Ammar yang terbuat dari kayu.
Tok ... tok ... tok
“Nak, sudah selesai belum? Itu Pak De sudah datang di luar,” ungkap Bu Sarah.
Ammar memeriksa kembali isi tasnya serta merapihkan tempat tidur yang akan di tinggalkan beberapa tahun kedepan. Ia bertaut di depan cermin yang memantulkan sosok pria yang terlihat lebih matang.
Delapan belas tahun telah berlalu, kini ia siap menempuh perjalanan cita-cita yang ia emban untuk mengarungi masa depan.
“Amar sudah siap, Bu!” Amar membuka pintu kamarnya dengan menenteng tas.
“Dimana koper dan barang-barang Amar semuanya Bu?” Matanya celingukan mencari barang bawaan lainnya.
“Sudah di angkat bapak semua ke mobil Pak De,” ujar Bu Sarah seraya menyusun rantang makanan.
“Ibu kaya mau piknik aja bawa bekal segala,” ucap Amar menyeringai menatap ibunya.
“Barangkali nunggu di bandaranya lama, nanti kamu lapar, jadi langsung bisa makan," jelas Bu Sarah.
“Bu, Amar mana? Ini Pak De udah siap jalan, nanti telat sampe bandara. Suruh cepat dikit Bu!” seru Pak Hasan dari teras rumah, ia kembali duduk menemani Pak De dengan kopi dan gorengan.
“Udah siap Pak!" sahut Bu Sarah.
"Ayo Nak, kita jalan!" ajaknya.
“Siap Bu.”
Amar dan Bu Sarah berjalan keluar.
“Lah ini anak ganteng, udah siap?” ujar Pak De.
“Hehehe ... siap Pak De." Amar menyalami tangan Pak De Hamzah, kakak dari Pak Hasan.
“Ayo berangkat!" ujar Pak De.
“Bu De nggak ikut Pak De?” Amar memindai sekitar, hanya terdapat Pak De Hamzah, bapak dan ibunya saja.
“Ada, sudah nunggu di mobil sama Rama," tutur Pak De Hamzah sembari menunjuk ke arah mobil.
“Mas Amar, ayo sini duduk samping Rama!" Anak kecil berusia 10 tahun itu melambaikan tangan dari jendela mobil yang terbuka.
“Oke! Mas Amar kesana,” jawab Amar dengan membalas lambaian tangan Rama.
“Pintu rumah sudah di kunci semua Bu?” ucap Pak Hasan.
“Sudah semua Pak.”
“Baguslah kalau begitu, ayo berangkat!” ajak Pak De, lalu melangkah menuju mobilnya.
Pak De duduk di depan kemudi bersama Pak Hasan di sampingnya. Bu sarah dan Bu De Sofiya duduk di belakangnya, sedangkan Amar dan Rama duduk paling belakang.
“Bismillahirrahmanirrahim ... semoga Amar bisa menyusul Malik yang akan wisuda tahun depan. Semangat, ya, Mar! Semoga sukses jaya,” bincang Pak De seraya menyalakan mesin mobilnya.
“Aamiin," ujar serempak, semua yang berada di dalam mobil.
“Nggak kerasa, ya?! Anak-anak kita udah besar-besar. Malik satu tahun lagi sudah sarjana, Amar melanjutkan kuliah di Malaysia. Rasanya baru kemaren mereka main lumpur di sawah bareng,” ungkap Bu De Sofiya.
“Betul sekali Mba Sof, waktu cepat banget merubah semuanya,” ucap Bu Sarah.
“Kita cepat tua, ya? Hahaha,” timpal Pak Hasan.
Mereka yang di dalam mobil tertawa renyah membicarakan kenangan semasa anak-anak mereka masih kecil.
***
Usai membantu ibunya sarapan dan minum obat, Ayya bergegas keluar rumah untuk melihat kepergian Amar.
Dengan nafas yang terengah-engah, ia berusaha mengejar mobil yang di kendarai keluarga Amar. Berharap dapat menyampaikan salam perpisahan kepadanya.
“Amar ... amar ... amar.” Ayya meneriaki mobil yang telah melaju sekitar 100 meter itu.
“Sia-sia saja, mana mungkin aku bisa mengejar mobil yang melaju semakin cepat. Ya Allah ... jaga Amar selalu," gumam Ayya, ia menghentikan larinya seraya mengusap peluh di dahi.
Tiba-tiba mobil hitam di depan sana berhenti, seorang laki-laki berwajah putih berseri turun dan berlari menghampirinya.
“Ay, kamu dari mana? Aku hampir saja pergi,” ucap Amar dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Aku habis bantu ibu,” jawab Ayya spontan, ia terhipnotis dengan penampilan Amar yang begitu gagah. Selama ini Amar selalu berpakaian sederhana. Walaupun begitu aura ketampanan masih melekat di wajahnya.
“Aku pamit pergi dulu, ya?! Kamu jaga diri baik-baik!” Amar menyodorkan sebuah kertas yang terlipat.
Ayya diam terpaku di hadapannya. Amar berbalik arah dan berlari kecil menuju mobil.
Amar kembali menoleh, ia menatap Ayya seraya melambaikan tangan, sedangkan mulutnya mengucap salam.
“Wa’allaikumussalam Amar.” Bulir bening jatuh di pipi Ayya menyaksikan kepergian Amar.

Tak pernah terfikir olehnya kebersamaan dengan Amar akan sirna, tetapi Ayya menyadari waktu akan merubah segalanya.
Sekarang atau nanti setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan.
Ayya menaruh kertas pemberian dari Amar di saku gamisnya. Ia harus kembali untuk melanjutkan pekerjaan rumah.
Selama Bu Salamah sakit, ia menggantikan semua peran ibunya, termasuk cuci gosok di rumah Bu Lurah.
“Assalamuallaikum,” salam Ayya saat memasuki rumah, menghampiri Bu Salamah lalu menyalaminya.
“Wa’allaikumussalam, gimana Amar sudah berangkat?” tanya Bu Salamah dengan suara yang terdengar lemah.
“Sudah Bu, semoga Amar di beri kemudahan dan bisa sukses, ya, Bu.” Ayya duduk di samping Bu Salamah dengan tertunduk lesu.
“Aamiin ... kamu juga harus semangat buat ngejar cita-cita kamu, Nak! Jangan pernah putus asa!” ucap Bu Salamah, tangannya membelai lembut punggung tangan Ayya.
“Iya Bu, Ayya akan selalu semangat untuk Ibu dan Balqis.” Ayya memeluk tubuh ibunya.
Bu Salamah merasa hawa dingin jatuh di lehernya.
“Jangan menangis, Nak! Atau ibu akan sedih melihatnya,” ujar Bu Salamah.
Ayya melepas pelukannya, lalu menyeka air di pelupuk matanya.
Hatinya terasa hampa, berpisah dengan Amar meninggalkan kesedihan di hati, tetapi ia berusaha tegar untuk melanjutkan hidup dan keluarganya.
“Ayya nggak nangis kok, Bu. Hehehe ... Ibu pengen makan sayur bayam ‘ kan? Ayya buatin, ya?!” Ayya beringsut turun dari dipan, lalu berjalan menuju dapur.
Setelah mengaduk sayur yang ia masak, Ayya mengelap kedua tangannya. Ia membuka kertas yang tersimpan di sakunya.
“Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ayya, telah banyak kisah yang kita lalui bersama. Suka duka melewati hari-hari kita.
Aku sadar perasaanku kepadamu tak pernah berubah, sebagai sahabat kecilku. Namun, seiring berjalannya waktu perasaan itu bertambah. Aku ingin suatu hari nanti menjalani hari-hariku bersamamu, mengarungi hidup yang di hiasi senang dan liku.
Saat ini aku harus pergi sementara waktu, tetapi hatiku tetap satu dan berharap kepadamu.”
Tes ... tes ... tes ...
Bunyi tetesan air tumpah menyadarkan Ayya.
Kuah sayur yang mendidih keluar melawan panasnya tungku yang bernyalakan api di bawahnya.
“Astaghfirullahal’adzim.” Sontak Ayya menyimpan kembali kertas di sakunya.
Ia segera mengangkat wajan di atas tungku itu.
“Untung nggak sampe kosong, walaupun agak lodoh sedikit,” gumam Ayya.
“Ya Salam ... Mba Ayya masak sambil melamun, ya? Tuh liat sayurnya sampe lodoh gitu?!” ungkap Balqis yang muncul masih mengenakan seragam sekolah.
“Ish! Kamu ngagetin mba aja, salam dulu kek! Pulang sekolah langsung nyelonong,” tegur Ayya.
“Iya, assalamuallaikum. Lagian ibu lagi istirahat, jadi aku langsung masuklah,” sanggah Balqis.
“Udah cepetan ganti baju, terus bantuin mba masak lagi. Ini mau di buang aja, pasti nggak enak di makan,” perintah Ayya.
“Iyalah siapa yang mau makan sayur lodoh gitu. Nggak sehat," cibir Balqis.
“Jangan banyak omong, udah sana cepet ganti baju!” titah Ayya.
“Siap bos!” Balqis menempalkan tangannya di atas kening, lalu melenggang menuju kamarnya untuk mengganti baju.

Komento sa Aklat (167)

  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    17h

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    1d

      0
  • avatar
    fasehaain

    love

    6d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata