logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Liontin

Amar berjalan tertatih dengan luka yang terlihat bengkak di kaki.
Ayya yang tak kuasa dengan penolakannya untuk membantu berjalan, hanya mampu menuntun sepeda ontel Amar.
Amar memang bukan orang yang pandai dalam ilmu agama. Namun, ilmu yang di ajarkan ustadz di masjid berusaha ia terapkan, sejak menginjak remaja ia selalu menjaga diri untuk tidak bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahromnya. Walaupun Ayya sahabat karib dari kecil dan sering bersama, tetapi sejak beranjak baligh Amar tak pernah lagi bersentuhan fisik dengannya.
Bu Sarah sedang menyapu halaman, melihat Amar dari arah gang depan, ia segera melempar sapu dan berlari menghampiri anaknya.
“Ya Allah gusti ... Cah Bagus! Anak sholeh, anak pinter, kamu habis dari mana, Nak? Kenapa bonyok begini?!” ujar Bu Sarah panik dengan memeriksa tubuh Amar dari kepala sampai ujung kaki.
“Amar pengen duduk Bu. Biar Amar jalan dulu sampe rumah, ya?” pinta Amar.
“Iya ayo, Nak! Ibu bantu.” Bu Sarah merangkul Amar sekuat tenaga, sebab tubuhnya tidak lebih besar dari Amar.
“Pak ... Bapak?! Ini anak kita!" teriak Bu Sarah memanggil Pak Hasan yang berada di dalam rumah.
Pak Hasan lari kedepan dengan tergopoh-gopoh.
“Cepat siapin air minum dan kompres buat Amar, Pak!” perintah Bu Sarah. Pak Hasan segera berbalik arah memasuki rumah.
“Hati-hati, Nak!” ujar Bu Sarah dengan membantu Amar duduk di kursi bambu depan rumah.
“Iya Bu, Amar nggak papa kok! Cuman lebam, memar sedikit aja.”
“Memar sedikit gimana? Ini sampe mukanya nggak terlihat ganteng begini," tutur Bu Sarah meneliti wajah anaknya.
“Ini air putihnya, di minum dulu Mar,” perintah Pak Hasan.
“Baik Pak, terima kasih. Bismillahirrahmanirrahim.” Amar meneguk air yang di berikan Pak Hasan sampai tandas.
“Alhamdulillah." Gelas yang telah kosong Amar berikan kepada Ayya yang berdiri terpaku menatapnya.
“Sini ibu kompres dulu luka lebamnya.” Bu Sarah menempelkan kompres air dingin di luka Amar.
“Aw ... pelan-pelan Bu! perih,” rintih Amar.
“Bu Sarah! Sampeyan harus tanggung jawab! Ini anak saya babak belur gara-gara Amar!" teriak Bu Lurah yang berjalan dengan penuh amarah menuju rumah Amar.
Fikri yang mengikuti langkah ibunya berusaha keras menahan aksi orang tuanya untuk melabrak keluarga Amar.
Dengan luka yang masih memar, pandangan Fikri memperhatikan Ayya yang terlihat telah membantu Amar. Ayya membalas pandangan Fikri dengan tatapan sinis.
Fikri menghempaskan nafasnya kasar, ia tahu setelah ini untuk mendapatkan hati Ayya akan semakin sulit karena ulahnya tadi, di tambah aksi labrak ibunya.
Bu Sarah sontak memasang badan paling depan dengan berkacak pinggang.
“Jangan sembarangan sampeyan! Nggak liat ini anak saya juga luka-luka dan babak belur? Siapa lagi kalau bukan karena Fikri yang udah mukuli Amar,” bela Bu Sarah.
“Saya nggak mau tahu, ya? Pokoknya Fikri ini harus di bawa ke rumah sakit, sampeyan harus tanggung jawab biayain,” bantah Bu Luruh dengan semakin nyolot.
“Enak saja saya yang harus biayain! Si Fikri anak sampeyan, kenapa harus saya yang biayain?” sanggah Bu Sarah.
“Iyalah! Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.” Mata Bu Lurah semakin melotot tak mau kalah dengan Bu Sarah.
“Pelit amat! Orang kaya tapi ogah biayain anaknya. Baru jadi lurah aja sombongnya udah selangit! Ngga tau aja jabatan nggak bakal selamanya," sindir Bu Sarah.
“Udah Bu! Udah ... jangan di terusin. Nanti setannya tepuk tangan liat ibu emosi begini,” lerai Pak Hasan.
“Jangan sembarangan kalau ngomong, ya?!!” Bu lurah semakin maju kedepan.
“Udah Bu! Jangan!” Fikri berusaha sekuat tenaga menahan tubuh ibunya yang sudah naik pitam itu.
“Kalau sampeyan nggak pergi dari sini saya bakal laporin keluarga sampeyan ke polisi karena sudah menganiaya anak saya,” gertak Bu Sarah.
“Ayo Bu, pulang!” ajak Fikri dengan menarik tubuh ibunya.
“Awas kamu, ya? Orang miskin, tukang tani ... beraninya main hukum, padahal nggak punya duit.” Bu Lurah terus memaki keluarga Pak Hasan sambil terus berjalan meninggalkan kediaman keluarga itu.
Pak Hasan segera mengajak keluarganya masuk kedalam rumah sebelum banyak tetangga yang menonton pertunjukan adu mulut mereka.
Di ruang tengah mereka berbincang, Amar menjelaskan semua kejadian yang menyebabkan ia dan Fikri berkelahi.
Ayya hanya tertunduk lesu, ia merasa menjadi menyebab utama pertikaan kedua keluarga tersebut.
“Maafin Ayya, ya, Bu ... Pak ... Amar. Gara-aku aku semua ini terjadi,” sesal Ayya.
“Nggak papa, Nak! Kamu nggak salah, kamu jangan berkecil hati, yah?!” ucap Bu Sarah dengan mengelus pundak Ayya untuk menenangkan perasaannya.
“Apa mereka di nikahkan saja, Bu?! Biar nggak ada fitnah atau perkara berkelanjutan,” cetus Pak Hasan.
“Hust! Bapak ini bagaimana? Mereka ini masih terlalu muda, sebentar lagi Amar mau berangkat ke Malaysia untuk melanjutkan studynya, gimana nanti dengan Ayya? Ia juga harus berjuang untuk keluarganya, Bu Salamah dan Balqis. Masa depan mereka masih panjang. Jangan ngaco Bapak ini?!” sanggah Bu Sarah tak setuju.
Amar dan Ayya saling berpandangan, keduanya bingung mendengar pembicaraan kedua orangtua Amar.
***
Setelah menunaikan sholat isya berjama’ah di mushola, Amar berkunjung ke rumah Ayya.
“Assalamuallaikum,” salam Amar di depan pintu rumah Ayya.
“Wa’allaikumussalam, cari siapa Bang? Ibu? Balqis? Atau Mba Ayya?” ujar Balqis yang telah membukakan pintu untuk Amar.
“Mau nyari cicak di dinding,” celoteh Amar.
“Diam-diam merayap, ya?” sambung Balqis.
“Ada siapa sih Qis? Kenapa kamu malah nyanyi?” tanya Ayya dari arah dalam.
“Ini biasa Mba, tukang galon malem-malem dateng.”
“Sembarangan kamu ngataian Bang Amar tukang galon.” Amar mencubit hidung Balqis.
“Mba Ayya ... ini Bang Amar, cepet keluar! Sebelum hidung aku patah,” ungkap Balqis dengan rintihan.
“Loh kamu Mar?! Kenapa nggak istirahat aja di rumah?”
“Ngga tau tuh, muka udah ngga beraturan gitu masih aja nyakitin bunga desa seperti aku,” ucap Balqis dengan manyun.
“Udah sana masuk temenin ibu!” perintah Ayya.
“Eko! eh, oke maksudnya.” Balqis melangkah masuk meninggalkan Ayya dan Amar di luar.
“Mau di dalam apa di sini aja?” tawar Ayya masih di ambang pintu.
“Duduk disana aja sambil liat bintang yang bertebaran di langit," tunjuk Amar pada sebuah kursi kayu di halaman rumah Ayya yang beratapkan langit secara langsung.
“Kamu masih sakit Mar?” tanya Ayya.
“Udah mendingan, cuman tinggal bekasnya aja nih!” Amar menunjukan luka memarnya di pipi.
Ayya memperhatikan wajah Amar dan bola mata keduanya beradu.
Desir cinta mulai mengalir merasuki gelora asmara keduanya.
Ayya segera mengibaskan pandangannya, begitu pula dengan Amar.
Kemudian Amar merogoh saku kokonya, lalu mengeluarkan benda merah berbentuk hati.
“Ini buat kamu, buat kenang-kenangan kalau aku udah berangkat,” ungkap Amar seraya menyodorkannya kepada Ayya.
“Apa ini?” Netra Ayya berbinar melihatnya.
“Buka aja!” titah Amar.
Terlihat sebuah liontin berbentuk hati dengan dua inisial di kedua sisinya, A & A.
“A, A ya, Mar?”
“A untuk aku ... Amar. Dan A lagi untuk kamu, Ayya,” terang Amar.
“Hehehe, lucu Mar.” Rona bahagia tergambar di wajah Ayya dan juga Amar. Dua insan yang sedang di mabuk asmara itu tersenyum bahagia di bawah langit hitam.

Komento sa Aklat (168)

  • avatar
    FadzliFarahdia_08

    nice

    35m

      0
  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    19h

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata