logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Babak Belur

Usai sholat subuh di mushola, Amar berjalan di gang kecil menuju rumahnya. Tiba-tiba bayangan putih menghalangi langkahnya.
"Astaghfirullahal’adzim.” Amar menutup kedua mata dengan lengannya.
"Bang Amar, ini aku ... Balqis,” ujar Balqis.
Perlahan Amar mengangkat tangan untuk melihat sosok yang berada di hadapannya.
"Ya salaaam Balqis ... abang kira kamu setan, masih pake mukenah main hadang aja!” tegur Amar.
"Sembarangan Bang Amar, wanita cantik begini di bilang setan. Aku ‘kan habis sholat jama’ah juga, wajarlah kalau masih pake mukenah,” protes Balqis dengan kepedeannya.
"Ya udah abang kalah, debat sama kamu ngga bakal menang. Emang ada apa?” ucap Amar.
"Aku mau nyampein pesan dari mba Ayya, katanya nanti siang di tunggu di tempat biasa.”
"Oh!!! Oke ... oke. Emang kemana mba Ayya? Nggak ikut sholat bareng kamu?”
"Mba Ayya lagi jagain ibu, terus mba Ayya lagi tanggal merah juga.”
"Tanggal merah?” Amar menggaruk kepalanya
"Itu loh ... udahlah hanya wanita yang tau, Bang. Aku jalan dulu, ya?” Balqis melenggangkan kakinya pergi meninggalkan Amar.
"Eh! Emang kamu berani pulang sendiri?” teriak Amar memperhatikan Balqis yang terus melangkah di jalanan sepi dan gelap.
"Berani dong! Aku ‘kan wonder women,” ucap Balqis yang suaranya masih bisa terdengar oleh Amar.
***
Setelah membantu pekerjaan orang tua di sawah, Amar beranjak pulang ke rumah.
Matahari sudah meninggi, tanda masuk waktu dzuhur sebentar lagi.
"Mar, kamu jalan aja! Bapak mau buka galengan dulu biar airnya mengalir,” titah Pak Hasan.
"Baik Pak, amar pulang dulu,” ujar Amar.
***
“Assalamuallaikum,” salam Amar memasuki rumah usai menunaikan sholat dzuhur di mushola.
"Wa’allaikumussalam Cah Bagus, ganti dulu baju kokonya! Terus makan sini,” perintah Bu Sarah sambil membopong sangku berisi nasi yang masih mengepul.
"Siap nyonya!" balas Amar.
Beberapa menit kemudian Amar keluar dari kamarnya dengan memakai setelan kaus dan celana selutut.
"MasyaAllah tabarakallah masakan ibu selalu istimewa. Bakal kangen terus nih!” puji Amar melihat beberapa lauk yang tersedia di meja.
"Alhamdulillah lagi banyak rezeki Mar, jadi kita harus banyak ngucap syukur.”
"Rezeki anak sholeh ‘kan Bu?!” goda Amar.
"Hehehe ... iya anak sholeh yang sudah banggain ibu. Makan yang banyak sebelum kamu kangen masakan ibu.” Tangan Bu Sarah mengelus rambut Amar, anak semata wayangnya itu.
"Siap bu! Kalau ngga inget bapak, bakal tak habisin semua nih! Hehehe," seloroh Amar.
"Heh! Nggak boleh serakah, rezekinya nanti ngga berkah,” tegur Bu Sarah.
"Hehehehe ... bercanda Bu. Habis ini Amar mau pergi ke panggok pinggir sungai ya, Bu.”
"Iya iya, habisin dulu!”
Usai menata isi perutnya, Amar melanjutkan niat. Ia kayuh sepeda ontel miliknya menuju tempat favorit dirinya dan Ayya.
Sesampainya netra Amar menampakkan pemandangan Ayya yang duduk di atas batu, kakinya berayunan di atas air. Dalam khayalannya Ayya seperti bidadari yang sangat jelita.
Percikan air yang mengenai wajahnya membangunkan Amar dari dunia khayalan.
"Hey! Dateng-dateng langsung ngelamun. Meriyang kamu Mar?” Ocehan Ayya menyadarkan lamunannya.
"Aku sehatlah! Kalau sakit nggak mungkin kesini,” ungkap Amar. Ia berusaha menahan kegugupannya.
Jujur saja sejak ia mengutarakan isi hatinya, setiap bertemu dengan Ayya banyak nuansa cinta yang menaunginya.
“Ayo kita jalan menyusuri sungai!! Tau aja ada ikan menggelepar di pinggir sungai,” ajak Ayya yang sudah berdiri dari tempat duduknya.
“Menggelepar di pinggir sungai?” ujar Amar dengan tampang bingungnya.
“Udahlah! Ayo jalan!” perintah Ayya yang sudah jalan lebih dulu.
Langkah Amar yang lebih lebar membuatnya bisa menyamai langkah kaki Ayya, sambil menuntun sepedanya.
“Kamu udah persiapan apa aja Mar?” tanya Ayya. Tangannya memainkan ujung ranting ilalang di sekelilingnya.
“Banyak," jawabnya singkat.
“Kamu udah siap?”
“Harus siap.” Amar menghentikan langkahnya, lalu menatap wajah Ayya dengan seksama.
“Kamu tenang aja, aku akan kembali.” Senyum Amar merekah.
Ayya tersipu malu seraya merundukkan pandangannya.
“Kamu harus semangat berjuang! Kamu pasti bisa!” ungkap Amar.
“Iya, do’ain aku, ya?!” balas Ayya.
“Hey ... kamu?!” teriak seseorang dari arah belakang. Amar dan Ayya segera membalikkan tubuh.
BUUG!!!
Sebuah pukulan mendarat di pipi Amar, membuatnya tersungkur.
Tubuh laki-laki dewasa menindihi perutnya dan memukuli wajahnya kanan-kiri tanpa ampun.
Setelah mengumpulkan tenaga, Amar segera membalikkan posisi. Ia pukuli wajah yang ia kenali tanpa henti.
BUG! BUG!
“Sudah hentikan! Stop ... stop ...!" pekik Ayya dengan histeris. Ia segera menarik tubuh Amar yang hilang kendali dan mendorongnya ke atas rerumputan.
Nafas kedua laki-laki itu memburu seiring nafsu yang menggebu.
“Kamu apa-apan sih Fikri?! Main pukul orang, kamu pikir jagoan?!” maki Ayya.
“Aku suka sama kamu, aku ngga rela kamu berduaan sama dia!” tunjuk Fikri ke arah Amar dengan ekspresi bengis.
“Kamu sadar dong aku cuman anak tukang cuci gosok di rumahmu! Bu lurah saja nggak suka denganku. Jangan buat hidupku rumit dengan tingkah konyolmu ini!!!” bentak Ayya.
Tak peduli dengan omelan Ayya, Fikri kembali bangkit dan menyerang Amar.
“Tolong ... tolong ... disini ada penganiayaan!" teriak Ayya berusaha menghentikan ulah Fikri.
“Awas ya, kamu?! Sekali lagi aku liat kamu sama Ayya, bakal habis kamu!!” ancam Fikri dengan mengangkat bogeman tangannya, ia bangkit dari tubuh Amar dan pergi meninggalkan mereka.
Amar terbaring tak berdaya dengan memar dan lebam di wajahnya. Ayya segera membantunya duduk, membersihkan luka Amar dengan ujung hijabnya.
“Ya Allah ... Amar maafin aku, ya?! Gara-gara aku ajak jalan, jadi begini nasib kamu,” sesal Ayya.
“Nggak papa Ay, sudah resiko jalan sama wanita manis sepertimu,” goda Amar.
“Ih! Apa’ain sih kamu?!” Ayya memukul lengan Amar.
“Aduh sakit?!” keluh Amar.
“Mana yang sakit?” Ayya memeriksa tubuh Amar.
“Disini.” Jari Amar menunjuk dadanya.
“Kamu nih bisa-bisanya lagi babak belur begini godain aku?!” ujar Ayya dengan berkacak pinggang.
“Biar kamu ngga tegang. Sini bantuin aku berdiri. Sama ontelku yang tepar di pinggir situ,” tunjuk Amar di pinggir sungai.
Tadi sebelum aksi adu jotos di mulai, Amar sempat melempar sepeda ontelnya di pinggir sungai.
“Kamu yakin masih bisa jalan?” tanya Ayya dengan khawatir. Kini ia yang menuntun sepeda Amar.
“Aku masih bisa,” ujar Amar dengan langkah tertatih.
“Hati-hati!" titah Ayya.
“Aww!! Ternyata perih juga nih muka,” pekik Amar dengan memegang ujung bibirnya.
“Lebam gitu, gimana ngga perih?!” ucap Ayya dengan memeriksa ujung bibir Amar.
“Hehehe." Tiba-tiba Amar tertawa.
“Kamu kenapa lagi?” Ayya terheran.
“Bakal jadi sejarah nih! Aku babak belur ngrebutin kamu,” goda Amar.
“Nggak di rebutin juga, emang dasar Fikri aja yang terlalu bar-bar," geram Ayya seraya menautkan kedua tangannya yang mengepal.
“Hahaha." Amar tertawa renyah seolah-seolah luka di wajahnya telah musnah.

Komento sa Aklat (168)

  • avatar
    FadzliFarahdia_08

    nice

    2h

      0
  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    21h

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata