logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Ungkapan Cinta

Hari ini Amar tak membantu bapak-ibunya di sawah, ia memilih menunggu warung Bu Sarah sambil membaca buku dan mencari tau seputar kampusnya, lengkap beserta lingkungan dan yang lainnya.
Ia memahami betul keadaan kedua orang tuanya, sehingga ia tak ingin begitu membebani dengan biaya yang mahal sebisa mungkin.
Pertama ia harus mencari informasi seputar biaya hidup serta kebutuhan yang serba murah, dari mulai tempat tinggal, makan dan lain-lain.
Selanjutnya jika memungkinkan ia akan mencari pekerjaan paruh waktu untuk belajar mandiri.
Begitu kuat tekad yang ia susun dengan matang dari sekarang.
“Amar ... ibu mau beli sembako,” ucap Bu Sari. Tetangga sebelah rumah Amar.
Amar meletakkan bukunya, lalu mendekatkan diri di depan meja toko.
“Iya, apa aja, Bu?” tanya Amar.
“Minyak goreng 1 liter, gula 1 kg, garam.”
Amar mengambil beberapa pesanan dari pembeli.
“Assalamuallaikum Mar. Kamu nggak nguli di sawah?” ujar Ayya yang datang tiba-tiba.
“Nggak, aku lagi ada misi," jawab Amar sambil menimbang gula.
“Hahaha ... sok sibuk kamu!” ledek Ayya.
“Ohya, katanya Amar mau sekolah di Malaysia, yah? Kemaren tetangga pada bilang gitu!” ungkap Bu Sari.
“Yang benar, Mar?” tanya Ayya dengan mulut menganga.
“Alhamdulillah Bu Sari. Mohon do’anya semoga lancar.” Menyodorkan belanjaan Bu Sari.
“Aamiin ... ini uangnya. Terimakasih Amar. Mari Ayya ibu duluan.” Bu Sari tersenyum ramah kepadanya sebelum ia beranjak meninggalkan warung.
“Monggo ...,” balas Ayya tersenyum simpul.
“Mau beli apa?” tanya Amar.
“Bisa-bisanya kamu ngga ngasih tau aku. Takut di suruh traktir makan, yah?” ujar Ayya dengan berkacak pinggang.
“Aku baru mau ngasih tau kamu, eh ... kamu udah tau duluan dari Bu Sari tadi. Emang mau di traktir apa?”
“Emang bener mau traktir aku?”
“Benerlah ... kapan aku berubah jadi orang pelit?!”
“Hahaha ....” Ayya terkekeh.
“Ayam geprek, yah!” cetus Amar.
“Siaaap!!! Aku pesen level setan. Kamu yang beli, aku tunggu di tempat biasa.”
“Siap bos!” Amar menempelkan tangannya di dahi.
“Mar, aku beli terasi satu,” pinta Ayya.
“Ya salaaam ... ngobrol lama, panjang lebar cuman beli terasi,” gerutu Amar.
“Hahaha ... sambel kalau nggak ada terasinya ngga enak, Mar!”
“Iya ratu sambal," cibir Amar.
***
Selepas sholat Asar Amar menaiki sepeda ontelnya menuju pangkalan ayam geprek maknyus di pinggir jalan.
“Bang, beli ayam gepreknya dua. Level setan satu, level sedang satu," pinta Amar.
“Oke, apa lagi?” tanya bapak penjual seraya menyodorkan bungkusan plastik kepadanya.
“Itu aja, Bang. Ini uangnya, terimakasih.”
“Sama-sama.”
Amar segera melajukan sepedanya menuju gubuk di pinggir sungai, tempat favorit mereka.
Letaknya berdekatan dengan pesawahan, sangat apik di tambah pemandangan perbukitan yang menjulang.
Bukan hanya Amar dan Ayya yang sering duduk di sana, bahkan seringkali banyak pemuda atau bapak-bapak yang memancing, anak-anak yang bermain air, bahkan ABG yang berselfi ria di sana.
“Maaf Mba, ini pesanannya,” ujar Amar menyodorkan ayam dalam wadah kertas dengan tingkah seperti pelayan.
Ayya terperanjat kaget saat sedang memandang ikan yang terlihat di bawah sungai.
“Oh, jadi sejak kapan cita-cita kamu berubah menjadi seorang pelayan?” ledek Ayya.
“Sejak tadi ...,” balas Amar.
“Mana punyaku!? Aku udah laper liat ikan-ikan di bawah.” Tangannya memilah dua wadah di depannya.
"Ini!" Amar menunjuk wadah yang sudah di tandai khusus oleh penjual.
“Ayo di makan! Nanti kamu malah makan ikan-ikan itu lagi. Wueek ... mentah,” ledek Amar.
"Sembarangan kamu!" Ayya mendengus kesal.
“Bismillahirrahmanirrahim ... Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar.”
“Huhah ... mantap Mar pedesnya," tutur Ayya. Tangan kirinya mengipas-ngipas wajah yang berkeringat.
“Maaf Ay!” ucap Amar. Tangannya mengambil sebulir nasi di pipi Ayya.
DEG ...
Jantung Ayya berdetak lebih cepat, setelah bertahun-tahun bersama, baru kali ini Ayya merasa sikap Amar begitu manis kepadanya. Entah itu sebuah perasaannya saja atau mungkin gejolak hatinya yang tiba-tiba timbul.
"Ah! bukankah Amar selama ini memang baik kepadaku?" batin Ayya menampik perasaannya. Gadis itu diam terpaku di hadapan Amar.
“Uummmm ... maaf sebelumnya.” Amar merasa kikuk dan salah tingkah.
“Aku cuci tangan dulu di sungai,” ujar Amar.
Ayya mengikutinya di belakang tanpa Amar sadari.
Setelah membalikan badan, Amar begitu terkejut dan langsung bertubrukan dengan Ayya.
Refleks Amar menyangga tubuh Ayya yang hampir jatuh ke sungai.
“Hati-hati!" titah Amar.
“Ya Allah ... aku kena setan apa ini? Baru kali ini merasa canggung dengan Ayya. Astaghfirullahal adzim,” gumam Amar dalam hati.
Mereka kembali ketempat gubuk dengan hening. Gejolak hati mereka menguasai raga dan fikirannya.
Krik ... krik ... krik ...
“Ayya ...,”
“Amar ...,” ucap mereka bersamaan.
“Kamu dulu,” ujar Ayya.
Menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Fyuuh ...
“Sudah saatnya, bismillah!” ucap Amar meyakinkan dalam hati.
“Selama bertahun-tahun kita bersama, pahit-manis kehidupan kita masing-masing sudah hafal semua. Aku rasa kamu sosok yang pantas mendampingi aku suatu saat nanti,” ucap Amar dengan kepala menunduk.
“Aku merasa hal yang sama. Tidak ada yang paling mengerti diriku kecuali ibu dan kamu, Mar,” ujar Ayya dengan tersipu malu.
“Bismillah ... maukah kita membuat komitmen sebelum aku pergi untuk bersama suatu saat nanti?” tanya Amar terlontar.
Seketika Ayya menatap lekat kedua netra laki-laki di hadapannya.
“Mar ... aku tahu jalan setelah ini tidaklah mudah, akan banyak kerikil di depan, akan banyak badai yang menerjang. Tetapi aku percaya kamu ... aku mau.” Manik mata Ayya dan Amar saling beradu pandang.
“Kita harus sama-sama berjuang mulai saat ini, menjadi diri sendiri dan mengusahakan yang terbaik sesuai dengan potensi.” Amar mengepalkan tangan kanannya ke dada.
“Empat tahun lagi aku akan kembali," sambungnya lagi.
Ayya dan Amar sama-sama tersipu malu, baru kali ini kebersamaan mereka menjadi setegang saat ini.
Matahari bergerak ke peraduannya, satu persatu orang di tempat itu mulai beranjak.
Amar menuntun sepeda dengan Ayya yang melangkah berjajar dengannya.
Setibanya di rumah raut wajah Amar berbinar, lantaran banyak bunga bermekaran di hatinya.
“Mar, kamu kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Pak Hasan setelah keluar dari kamar memakai koko, lengkap dengan sarung dan peci.
“Nggak tau, Pak. Apa anak kita kesambet?” timpal Bu Sarah yang muncul dari arah dapur.
“Sembarangan Ibu!!! Aku sehat, nggak kesambet,” sanggah Amar.
“Ya udah, sana mandi! Sebentar lagi waktu maghrib. Nanti kamu ketinggalan sholat jama’ah,” perintah Bu Sarah.
Di tempat lain, seusai mandi Ayya menyisir rambutnya di depan cermin. Senyumnya mengembang tanpa terkendali.
“Bu itu mba Ayya cengar-cengir terus di depan kaca! Kaya orang kerasukan,” ungkap Balqis kepada ibunya yang sedang terbaring di dipan.
“Ayya ... kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Salamah dengan lemah.
“Nggak apa-apa, Bu. Ayya baik-baik aja,” jawab Ayya dengan berjalan menghampiri ibunya.
“Pokoknya hari ini Ayya bahagia banget, Bu. Do’akan yang terbaik buat Ayya, ya?" Ayya memeluk tubuh ibunya.
“Ibu selalu do’akan yang terbaik untuk anak-anak ibu agar bahagia di dunia dan akhirat,” ujar Bu Salamah.
“Emang ada apa sih, Kak?” tanya Balqis penasaran.
“Kepo kamu!” Ayya mencubit hidung Balqis.
“Iiih! Sakit ...,” rintih Balqis.
“Yaah cengeng,” ledek Ayya dengan menjulurkan lidahnya.

Komento sa Aklat (168)

  • avatar
    FadzliFarahdia_08

    nice

    4h

      0
  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    23h

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata