logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kabar Gembira

Usai membantu ibunya berbelanja di pasar, Amar pulang terlebih dahulu membawa barang belanjaan ibunya dengan sepeda ontel.
Terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, mengajarkan Amar menjadi pekerja keras. Terutama dalam membantu bapak-ibunya.
Di tengah jalan sebuah motor hitam merek terkenal menghadangnya. Seorang laki-laki berjaket hitam menatapnya sengit usai melepas helm di kepala.
“Hey tukang kuli! Aku peringatin jangan deketin wanita yang aku sukai! Dengan modus sahabatan." Fikri melayangkan jari telunjuk kepadanya.
“Maksud kamu?” tanya Amar dengan santai.
“Jangan belagak bodoh deh!” ketus Fikri.
“Bukannya dia yang nolak kamu, ya? Aku dan Ayya memang sahabat dari kecil.”
“Itu karena dia dekat sama kamu!” ujarnya, “sekali lagi aku liat kamu berduan sama Ayya, aku bakal kasih pelajaran ke kamu!”
Amar tersenyum santai menanggapi gertakan dari Fikri. Dengan geram Fikri melajukan motornya meninggalkan Amar.
***
Sesampainya di rumah, Amar bergegas menuju kamarnya.
“Amar! Kamu baru pulang? Kemana aja kamu? Padahal tadi lebih dulu kamu jalannya,” tanya Bu Sarah menghentikan langkah Amar.
“Iya Bu, tadi habis ngobrol dulu sama temen di jalan," kilah Amar.
“Oh! Mana barang belanjaan ibu?”
“Udah Amar taruh di dapur semua.”
“Oke!” Wanita berdaster lusuh itu berjalan menuju dapur.
Amar membalikkan tubuh mengikuti arah kakinya. Baru saja memegang gagang pintu kamarnya, suara pintu depan terdengar ketukan.
“Assalamuallaikum Bang Amar!" seru gadis kecil yang berdiri di ambang pintu.
“Wa’allaikumussalam, eh Balqis! Ada apa?” tanya Amar.
“Ini Bang ada paket dari Mba Ayya.” Tangan Balqis mengulurkan sebuah kotak dengan bungkus kado merah berukuran sedang.
“Oh ... jadi sekarang kamu jadi tukang kurir? Ngirim-ngirim paket!” goda Amar.
“Nggak Bang, cuman sekali ini aja. Itu juga di suruh Mba Ayya tadi.” Balqis merajuk kesal.
“Lagian heran deh! Mba Ayya ‘kan sama Bang Amar deket, setiap hari ketemu. Tapi malah ngga mau ngasih langsung.”
“Kepo kamu,” ujar Amar sambil mencoel hidung Balqis dengan satu jari.
“Ih!!! Bang Amar jail! Udah ah aku pamit dulu, Bang. Assalamuallaikum.” Balqis menjejakkan kaki meninggalkan pekarangan rumahnya.
“Terimakasih Balqis, Wa’allaikumussalam."
Sambil melangkah Balqis mengangkat jarinya membentuk huruf ‘O’ dengan maksud kata ‘oke’.
Amar geleng-geleng kepala.
“Anak sekarang memang banyak tingkahnya,” gumam Amar.
Setelah berhasil memasuki kamarnya, Amar segera membuka bungkusan kotak dari Ayya.
Di dalamnya berisi boneka lucu yang terbuat dari kain dengan memakai toga.
Sudah bisa Amar tebak ini hasil karya dari tangan Ayya sendiri. Sahabatnya itu memang punya bakat kreativitas yang luar biasa. Di bawah kotak terdapat secarik kertas berisi tulisan singkat.
Sontak Amar mengambil kertas itu untuk di lihat lebih dekat.
“Semangat, yah! Semoga di mudahkan semuanya! Lancar berkah!”
Di bawah tulisan tersebut di pungkasi emot garis melengkung keatas.
Bibir Amar otomatis merekah mengikuti gambar tulisan tangan Ayya.
Ia merasa kagum dan bangga memiliki sahabat seperti dia yang selalu ada, baik suka maupun duka.
Hati Amar tak rela berpisah darinya.
“Amar!!! Kamu sudah siap?! Ayo bapak antar kamu ke sekolah ngambil hasil tes,” ucap Pak Hasan dari luar.
Amar memasukan bingkisan dari Ayya kedalam kotak tadi. Ia bergegas mengambil tas dan memakai kemeja berwarna maroon, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Ia terlihat begitu cool.
“Iya Pak, ini Amar udah siap,” jawab Amar sambil melangkah keluar.
“MasyaAllah anak ibu ganteng sekali. Semoga hasilnya memuaskan ya, Nak.” Bu Sarah menghampiri Amar, merapihkan kerah kemejanya.
“Aamiin ... do’akan Amar selalu ya, Bu.” Menyalami tangan dan mencium kedua pipi ibunya.
“Pasti, Nak.”
“Bapak juga mendo’akan yang terbaik untuk kamu dan mendukung cita-cita kamu,” sambung Pak Hasan.
“Iya Pak, Bu ... terimakasih banyak atas semuanya. Amar pamit dulu ya, Bu. Assalamuallaikum.”
Amar dan Pak Hasan berjalan keluar menuju motor bebek kesayangan Pak Hasan.
Keduanya melaju menuju sekolah, untuk mengambil hasil tes beasiswa yang di adakan di sana.
****
Di Sekolah
Amar keluar dari ruangan dan langsung memeluk erat Pak Hasan.
“Alhamdulillah Pak, Amar lolos beasiswa ilmu sejarah di Malaysia,” ucap Amar.
“Alhamdulillah ... anak bapak akan kuliah.” Menepuk-nepuk punggung Amar dengan girang.
“Ayo kita pulang, Pak. Pasti ibu sudah menunggu,” ajak Amar setelah melepas pelukannya.
“Iya, pasti ibumu sudah duduk di teras nungguin kita pulang, hehehe,”
“Hehehe ... mari kita kasih kejutan ke ibu, Pak,” ujar Amar lalu membisikan suatu rencana di telinga Pak Hasan.
“Asiiiap!” Pak Hasan lekas melajukan motornya.
Sesampainya di rumah, keduanya beraksi.
Wajah Pak Hasan tampak lesu, sedangkan ekspresi Amar terlihat sedih dan putus asa.
Amar berjalan menuju kursi bambu di teras rumahnya. Pandangan Amar menunduk seperti orang yang tak punya rasa percaya diri.
Bu Sarah yang melihat mereka merasa khawatir dan langsung menghampiri Amar.
“Sudah nggak apa-apa, Nak. Insyaallah nanti ada kesempatan lain.” Tangan Bu Sarah mengelus rambut sampai punggung Amar.
Amar mengambil amplop coklat di dalam tasnya. Ia menyodorkannya kepada Bu Sarah.
“Ini Bu. Amar lolos,” ucap Amar dengan nada pelan.
“Apa?! Coba ulangi! Ibu kurang jelas,” perintah Bu Sarah, kedua netranya membeliak.
“Amar di terima beasiswa pendidikan di Malaysia, Bu,” ungkap Pak Hasan.
“Ah! Yang benar, Pak?” ujar Bu Sarah tak percaya.
“Iya Bu, benar ... ini hasilnya,” sambung Amar dengan ekspresi yang berubah ceria.
Ia membuka isi amplop dan menunjukan hasilnya kepada Bu Sarah.
“Alhamdulillah ...." Matanya berkaca-kaca, kemudian Bu Sarah langsung bersujud syukur di ikuti oleh Pak Hasan dan Amar. Tak henti-hetinya mereka mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.
“Kamu sama Bapak tega ngerjain ibu, sampe bikin ibu deg-degan, khawatir, campur aduk." Tangan Bu Sarah menempel di dada.
“Surprise, Bu. Hehehe,” ungkap Amar.
“Hahaha ... ekspresi Ibu tadi kasihan banget loh,” sambung Pak Hasan.
“Udah jangan ledek ibu. Ayo kita makan! Ibu udah masakin makanan buat syukuran kecil-kecilan.” Ia mengajak keduanya masuk ke dalam rumah.
“Wah! Makan enak nih!” ujar Pak Hasan melihat meja makan berisi sayur asem, tempe goreng, ayam goreng, ikan asin, serta di lengkapi dengan sambal dan lalapan.
“Masakan Ibu semuanya pasti mantap, Pak!" ucap Amar.
“Apalagi sambal terasinya ... mantul, Mar.” Mangacungkan kedua jempolnya.
“Udah cepet di makan,” perintah Bu Sarah, lalu menuangkan nasi di atas piring Pak Hasan.
“Tadi ‘kan habis di kerjain, sekarang di puji biar impas,” ungkap Pak Hasan.
“Bismillahirrahmanirrahim! Ini biar ngga ngomong lagi.” Bu Sarah menyumpal mulut Pak Hasan dengan paha ayam.
“Uuummmmm ...,” celotehan Pak Hasan terputus sudah.
“Hahahaha."
“Kamu mau, Mar?” tanya Bu Sarah seraya mengangkat paha ayam di atas piring.
“Ehh ... ngga Bu. Bapak aja yang di suapin.” Amar langsung melambaikan tangannya.

“Lah Ibu nggak adil, nih!” protes Pak Hasan.
“Mau di suapin lagi, Pak?”
“Nggak Bu, terimakasih. Bapak bisa makan sendiri,” ujar Pak Hasan tak mau berkepanjangan karena bagaimanapun pasti Bu Sarah yang menang.
Suasana meja makan yang sederhana begitu meriah dengan canda tawa keluarga kecil itu. Walaupun nampak biasa dari segi menu. Namun, rasa syukur dan kebahagiaan selalu mereka ciptakan di tengah nikmat yang di rasakan.

Komento sa Aklat (168)

  • avatar
    FadzliFarahdia_08

    nice

    6h

      0
  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    1d

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata