logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Mencintai Dua Hati

Mencintai Dua Hati

Naily L


Persahabatan Ayya dan Amar

Ketika embun masih menetes di ujung dedaunan. Seorang pria berjalan keluar rumah menyongsong pagi, dengan tujuan mulia membantu kedua orang tuanya menggarap padi di sawah.
Nama lengkapnya Amar Abdullah, biasa di sapa Amar. Ia melewati satu demi satu rumah tetangganya, sampai di suatu rumah geribik kecil kepunyaan teman sejak kecilnya Siti Ruqoyyah atau lebih singkat di panggil Ayya.
Tok ... tok ... tok ...
“Assalamuallaikum Ayya!!! Ay ... Ay ... Ay ... bangun!!! Kebiasan kamu belum hilang juga, ya.”
“Tidur sesudah sholat subuh. Rezekimu nanti di patok ayam loh!” seru Amar di depan rumah Ayya.
“Wa’allaikumussalam, Nak. Ayya udah bangun, lagi bantuin ibu di dapur,” jawab Bu Salamah yang keluar menemui Amar.
“Eeh Ibu ... maaf aku kira Ayya.” Amar sedikit menundukkan tubuhnya.
“Mari, Nak! Duduk dulu, barangkali mau ngeteh atau ngopi,” ajak Bu Salamah.
“Nggak Bu, terimakasih. Amar cuman mau nyapa Ayya aja," ucapnya dengan menyeringai.
“Ohgitu, ya udah, Nak. Ibu tinggal dulu, ya. Mau lanjutin masak," balas Bu Salamah dengan tersenyum simpul.
“Silahkan, Bu.”
Bu Salamah menghilang dari balik pintu, lalu terdengar suara gadis muda yang menyahuti ucapannya.
“Sembarangan kamu! Aku ini udah berusaha ngilangin kebiasaan buruk aku. Kalau tidur pagi, sepanjang hari rasanya pengen males-malesan terus. Rugi aku,” timpal Ayya, kepalanya nongol dari arah dapur yang terletak di sebelah rumah geribiknya.
“Baguslah ada kemajuan, hahaha ...,” tertawa Amar menampakkan gigi serinya.
“Wleeeeekk!!!” Ayya memeletkan mulutnya, membalas Amar.
“Udah ah! Aku mau pergi dulu,” ucap Amar.
“Kamu mau pergi nguli?” tanya Ayya.
“Iya, bantuin bapak sama ibu di sawah. Assalamuallaikum,” pamit Amar.
“Wa’allaikumussalam.”
*****
Di tengah terik matahari Ayya berjalan di pematang sawah dengan topi sawah yang melekat di kepala, tangan kanannya menenteng rantang makanan.
“Pak Hasan, Bu Sarah, Amar ... mari istirahat dulu! Aku bawain makanan," teriak Ayya sambil mengangkat rantangnya.
“Nak Ayya tau aja kalau bapak udah lapar,” jawab Pak Hasan.
“Iya dong. Mari makan dulu Pak!!!” Tersenyum menampakkan lesung pipinya.
Pak Hasan, Bu Sarah dan Amar menepi di gubug.
“Kamu udah makan belum, Nak?” tanya Bu Sarah.
“Belum Bu, niatnya pengen makan bareng kalian, hehehe ....” Gadis itu tertawa ringan.
“Pasti boleh, ‘kan kamu anak perempuan kesayangan ibu,” ujar Bu Sarah.
“Ish! Emang aku ngga di anggep, Bu?” protes Amar.
“Kamu ‘kan laki-laki! Masa mau di samain sama perempuan?” sanggah Bu Sarah.
“Liat tuh Pak! Harusnya Bapak bikinnya anak perempuan, jadi aku bisa di manja kaya Ayya," ujar Amar kepada Pak Hasan.
“Hahaha ... sabar Mar! Perempuan itu pasti selalu menang," kelakar Pak Hasan.
Begitulah kedekatan keluarga Amar dengan Ayya. Bu Sarah dan Pak Hasan sudah menganggap Ayya seperti anak sendiri.
Amar dan Ayya telah bersahabat dari kecil. Hingga tidak ada yang tidak Amar ketahui tentang kehidupan Ayya, begitupun sebaliknya.
“Gimana rencana Ayya setelah lulus SMA?” tanya Pak Hasan setelah menyantap makanan dengan menatap wajah manis gadis desa itu.
“Ayya pasrah dengan keadaan, Pak. Kasihan ibu yang fisiknya lemah, belum lagi harus jadi buruh cuci gosok di rumah Bu Lurah.”
“Ayya harus berusaha keras dari sekarang, apalagi sebentar lagi Balqis mau lulus. Dia harus bisa melanjutkan ke SMP," terang Ayya panjang lebar.
“Ibu dukung apapun yang terbaik untuk kamu, Bu Salamah dan Balqis. Mereka pasti bangga punya anak yang gigih seperti kamu,” puji Bu Sarah seraya mengusap lengan Ayya.
“Apalagi kamu punya keahlian menjahit yang hebat. Kamu bisa buka konvekasi atau butik suatu saat nanti,” timpal Amar.
“Aamiin ... tapi aku tak secerdas otakmu, Mar. Sampai bisa daftar beasiswa kuliah di luar negeri,” balas Ayya.
“Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, Nak. Dengan itulah setiap pasangan akan saling melengkapi. Betul ‘kan, Bu?” Pak Hasan menoleh kepada istrinya dengan menyeringai.
“Lebih banyak kelebihan ibulah dari pada Bapak,” ungkap Bu Sarah.
“Sembarangan, yah!” sangkal Pak Hasan.
“Hahahahaha ....” Mereka mengakhiri waktu makan siang dengan tawa yang begitu meriah di tengah sawah.
***
Selepas mengajar ngaji anak-anak kampung, Amar dan Ayya berjalan di gang kecil menuju rumahnya.
Rumah Amar lebih dekat dari mushola, sedangkan rumah Ayya berjarak 300 meter lagi dari rumah Amar. Seperti biasa Amar selalu mengantarkan Ayya sampai di depan rumah.
“Harus, ya, Mar? Kamu kemana-mana selalu bawa tas. Kamu terlalu rajin! Bikin aku malu sama diri sendiri yang kadang masih aja malas. Padahal bukan dari keluarga mampu," tutur Ayya sembari berjalan berdampingan dengannya.
“Aku harus belajar lebih giat, Ay! Lagian persaingan di kampus pasti lebih banyak dan lebih berat dari sekolah. Aku harus upgrade diri aku, kalaupun nggak ... minimal mempertahankan nilai agar beasiswaku lancar nantinya," balas Amar.
“Hhmmm ....” Ayya menghempaskan nafasnya kasar.
Keduanya saling membisu beberapa detik. Hanya suara hewan malam di sertai sepoi angin yang terdengar di telinga.
“Kamu mau ngomong apa, Ay?” tanya Amar, dengan penasaran.
“Kuliah S1 itu empat tahun ‘kan, Mar?” tanya Ayya.
“Iyya,” jawab Amar, “kenapa?”
“Haruskah kita berpisah selama itu?”
Amar menghentikan langkahnya, lalu menatap wajah manis Ayya dengan lekat.
“Kamu percaya sama aku. Hanya kamu sahabat terbaikku dari kecil sampe sekarang. Kita harus sama-sama berjuang. Aku dengan pendidikanku dan kamu dengan usahamu,” terang Amar panjang lebar. Ia juga merasakan hal sama yang Ayya rasakan.
“Kamu yakin?” tanya Ayya meyakinkan.
“Yakin!!! Kamu juga harus yakin.”
Setelah sampai di depan rumah, terdengar suara barang yang pecah dari dalam. Ayya dan Amar saling menatap dengan gusar, keduanya langsung berlari kedalam.
“Ibuuuu!!!” teriak Ayya ketika kedua netranya melihat Bu Salamah tergeletak lemah di ruang tengah.
Amar segera mengangkatnya dan membaringkan Bu Salamah di dipan yang beralaskan tikar.
Ayya segera mengambil bantal dari dalam kamar dan langsung meletakan tepat di bawah kepala ibunya.
Amar mengambil air putih di atas meja yang terletak di ruang tengah.
“Minum dulu Bu Salamah,” perintah Amar sambil menyendokkan air putih dengan sendok ke dalam mulutnya.
“Sudah cukup, Nak. Terima kasih banyak.”
“Ibu kenapa bisa jatuh?” tanya Ayya dengan begitu khawatir.
“Tadi ibu mau ngambil minum di atas meja, tapi tiba-tiba kepala ibu pusing, kaki ibu juga terasa lemas.”
“Ya Allah ... maafin Ayya ya, Bu.” Bulir air mata menetes di pipi Ayya, ia menciumi kedua tangan ibunya.
“Nggak papa, Nak! Kamu anak ibu yang paling baik, cantik dan baik hati. Sudah jangan nangis!” Kedua tangan Bu Salamah yang masih lemas menangkup wajah Ayya dan menghapus sisa air mata yang mengalir di sana.
“Balqis kemana, Bu?” tanya Amar berusaha mencairkan suasana yang sedih.
“Tadi habis ngaji dia izin mau belajar kelompok di rumah temannya.”
“Ohgitu. Yang sehat-sehat ya, Bu. Ibu pasti bisa sehat seperti semula, Insyaallah.
“Iya Insyaallah."
“Saya pamit dulu, Bu. Semoga Bu Salamah selalu di beri kekuatan, kesehatan, perlindungan dari Allah," ucap Amar.
“Aamiin. Kamu juga ya, Nak! Ibu dengar kamu mau kuliah di Malaysia. Semoga lancar.”
“Aamiin ... terimakasih, Bu. Mohon do’anya yang terbaik selalu," pinta Amar seraya mengatupkan kedua tangan di dada, sesaat kemudian ia beranjak dari sana.
Ayya mengantarkan Amar keluar pintu.
“Aku pulang dulu, ya?! Kamu jaga baik-baik ibu kamu. Assalamuallaikum.”
“Iya Mar. Wa’allaikumussalam."

Komento sa Aklat (168)

  • avatar
    FadzliFarahdia_08

    nice

    9h

      0
  • avatar
    XxJiq

    I'm committed to doing quality work and maintaining high standards.

    1d

      0
  • avatar
    NATASYAHAZWANIE

    bestttt gila

    2d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata