logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Game Over, 06

"Hati-hati, jangan ngebut," pesan Saima pada Jaendra yang sudah masuk mobil dan siap menjalankannya.
Jaendra menurunkan kaca mobil, kepala pemuda itu sedikit melongok keluar. "Babe."
Saima yang menyandarkan tubuh di gerbang rumah seraya melipat tangan di dada tersebut menegak. "Kenapa?"
Jaendra tersenyum. "Minggu besok kamu free, nggak?"
"Iya."
"Good! Bisa jalan dong kita?"
Saima tidak langsung menjawab. Ia sebenarnya sangat bisa untuk langsung mengiyakan hanya saja ... sungguh, wajah was-was Jaendra benar-benar tidak boleh dinikmati hanya sebentar.
"Babe?" Nada suara Jaendra mulai terdengar merajuk. "Nggak bisa? Katanya free? Atau, kamu nggak mau? Gitu?"
Saima mengerutkan kening sebelum tawa singkat keluar di bibir. "Aku belum jawab apa-apa padahal."
Jaendra meringis. "Ya, kamu diem aja, sih!"
Saima menggerakan dagu. "Sana pulang."
"No! Jawab dulu pertanyaan aku tadi!"
"Pertanyaan yang mana?"
"Babe ..."
"Aku lupa, Jae."
"Seriously?"
"Iya."
"Jangan bohong, deh kamu—nah, tuh, tuh, kamu ketawa! Bener-bener! Sengaja ya, jailin aku?"
Saima memutar bola mata malas. "Lagian kamu juga—udah dibilang aku free, pastilah seharusnya kamu udah bisa nyimpulin sendiri."
Nampak paham akan apa maksud perkataan Saima barusan, raut mendung yang sempat menyelimuti wajah Jaendra musnah. Tergantikan dengan raut bahagia yang menghiasi wajah tampannya yang kini mencetak lubang menawan di masing-masing pipi.
"Jadi kamu ... bisa, Babe?"
"Pulang, Jae. Bentar lagi maghrib."
"Beneran???"
Tidak berniat menjawab, Saima membalikan badan lalu mulai menutup gerbang rumah.
"Kalo gitu besok aku jemput, ya jam delapan! Deal???"
Saima melambaikan tangan masuk rumah sementara Jaendra masih saja belum menjalankan mobilnya.
"Oke, oke. Sampai ketemu besok! I LOVE YOU! MUAHHH!" Teriak Jaendra, benar-benar tidak tahu tempat.
Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan. Lewat jendela yang terbuka di kamarnya yang berada di lantai dua, Saima bisa melihat kalau mobil Jaendra perlahan berjalan sebelum pergi dan tidak lagi terlihat karena telah meninggalkan area komplek rumahnya.
Walau angin malam mulai menyambut, terasa dingin ketika menerpa kulit lengannya yang terbuka karena kaos lengan pendek yang dikenakan, Saima tak kunjung beranjak. Tatapannya menatap langit yang berangsur menggelap untuk beberapa saat, setelahnya adalah ia yang beralih menatap ponselnya yang baru saja mengeluarkan bunyi notifikasi.
Ada sebuah pesan dari mama Jaendra. Beliau menanyakan apakah anaknya itu sudah pulang dari rumahnya yang Saima balas dengan singkat; 'sudah tante'. Ia tidak menambahkan kata lain dibawahnya karena berbasa-basi tidak pernah menjadi keahliannya.
Untungnya, selain ramah, mama Jaendra juga orang yang maklum. Tidak pernah menjadi salah satu dari sekian orang yang mengkritik sikapnya. Benar-benar akan panjang kalau Saima disuruh untuk menjabarkan bagaimana sosok beliau. Tapi yang pasti ia tidak akan sungkan mengatakan bila seorang Jaendra Eka Maharga betul-betul beruntung dilahirkan dari rahim orang sepertinya yang pantas menyandang julukan ibu peri didunia nyata. Sebaik itu memang.
Omong-omong, bicara tentang mama Jaendra. Saima jadi teringat kejadian tadi, tepatnya saat Jaendra pergi ke kamar mandi lalu ada panggilan masuk dari ponsel pemuda itu.
Berbeda dengan Saima yang menjunjung tinggi yang namanya privasi, Jaendra tidak sama sekali. Jaendra itu tipikal orang yang sangat memperbolehkan ketika kamu meminjam ponselnya lalu pemuda itu takkan mempermasalahkan meskipun kamu mengotak-atik isinya sampai ke akar-akarnya.
Hal tersebut terbukti dulu, saat Jaendra baru beberapa hari berpacaran dengan Saima.
Waktu itu, Saima baru kelas sebelas dan Jaendra yang dua tahun lebih tua diatasnya sudah masuk kuliah. Mengingat sebelumnya pemuda itu juga sudah populer di sekolah, Saima tidak ikut merasa 'wah' kalau pemuda itu rupanya juga menjadi populer—paling malah—dari sekian MABA di kampus tersebut.
Banyak para gadis mengelilingi di sekitar Jaendra lalu mungkin karenanya, pemuda itu jadi beranggapan kalau Saima akan mempermasalahkannya. Itu sebabnya, Jaendra selalu menceritakan semua yang baru dilakukan atau terjadi—kemudian dengan suka rela, Jaendra juga akan menyerahkan ponselnya kalau-kalau Saima ingin mengeceknya—yang tentu Saima tolak tegas tapi Jaendra akan kembali menawarkan di lain hari lantas selalu berakhir Jaendra yang memaksa Saima untuk melakukan hal tersebut bersama.
Berlebihan, namun kalau dipikir kembali Saima salut akan usaha keras Jaendra untuk menjaga kepercayaannya—padahal ia tidak memintanya. Saima mempercayai Jaendra namun Jaendra juga sangat paham betul bila ia sungguh tidak akan mentolerir siapa saja seseorang yang menghianati kepercayaannya.
Panggilan dengan nama kontak 'Love' tersebut berakhir tanpa Saima angkat. Tanda tanya masih menyelimuti benaknya sebelum ia tanggalkan begitu saja karena si pemilik ponsel telah muncul.
"Kenapa, Babe?"
"Tadi ada panggilan masuk di hp kamu," beritahu Saima.
"Oh?"
"Tapi nggak aku angkat."
"Kenapa nggak diangkat?" Jaendra menerima ponsel yang Saima berikan. "Emangnya dari siapa, sih?"
Saima menggeleng tanda tidak tahu tapi ia berkata, "Nama kontraknya Love."
Jaendra terlihat bingung. "Perasaan aku nggak ada namain kontakku kaya gitu," gumam pemuda itu.
Saima mengendikan bahu tidak mau ikut campur.
Jemari Jaendra bergerak men-scroll layar ponsel sebelum berhenti, netra pemuda itu mengamatinya lamat-lamat lantas decakan lolos kemudian.
"Kenapa?"
Kepala Jaendra mendongak. "Aku udah cerita belum kalo hpku ini baru?"
"Belum, tapi udah kelihatan."
Jaendra mengangguk beberapa kali sebelum duduk di ruang kosong sebelah Saima. "Iya, jadi tuh tadi pagi pas banget aku abis telpon buat ngabarin kamu kalo aku bakal dateng bantu-bantu mama papamu siap-siap, hpku jatuh, terus nyemplung ke ... closet."
Saima menghela nafas. "Apa aku bilang ..."
Jaendra mengusap tengkuk. "Iya, Babe, iya. Lain kali, deh aku janji turutin apa kata kamu buat jangan telponan di kamar mandi."
"Telat."
"Hehehe. Untung, ya cuma hp doang yang nyemplung, coba kalo akunya ikut nyemplung ke closet? Apa tidak gawat???"
"Mana muat closet nampung tubuh kamu, Jae."
"Eh. Iya juga, sih."
Saima mendengus malas.
"Omong-omong, hp aku nggak rusak sih, sebenarnya cuman retak anti goresnya doang. Tapi nggak tahu juga pas siangnya aku mau main ke rumahmu, aku nyariin dulu tuh, hpku yang sempet nyeplung kok nggak ada? Mau nanya mama eh, mama udah muncul duluan, nyamperin aku trus tahu-tahu ngasih ponsel baru. Katanya gini, tadi mama liat hp abang rusak jadi mama beliin yang baru, udah mama pindahin tuh, kartu sim abang ke situ. Buat sisanya, nanti abang pindahin aja sendiri hp lamanya mama simpan di laci. Gitu."
Mendapati Saima yang mendengarkan dengan baik, Jaendra lanjut berkata sembari menaik-turunkan alis. Menggoda. "Babe ... kamu nggak mau nanya gitu nama kontak 'Love' itu siapa?"
Saima menggeleng. "Nggak."
"Nama kontaknya udah jelas ambigu banget. Yakin nggak mau nanya?"
"Iya."
"Kok gitu?!"
"Karena aku tahu kamu bakal ngasih tahu sendiri?"
"Shit." Jaendra mengumpat. "Oke, fine! Kalo kali ini aku nggak ngasih tau, kamu bakal marah nggak?"
"Eung ... nggak tahu."
"Au, ah. Nggak asik!"
"Kok, jadi ngambek?"
"..."
"Beneran ngambek?"
"Menurutmu?"
"Ngambek."
"Emang ngambek."
"Oke."
Jaendra mendelik. "Kok cuma oke, sih?!"
"Harusnya?"
"Bujuk dong, biar nggak ngambek lagi!"
"Kamu bukan anak kecil, Jae."
"Trus, karena aku bukan anak kecil, aku nggak boleh ngambek gitu?"
"Bukan nggak boleh, tapi nggak pantes."
"Terimalah lagu ini dari orang biasa~ tapi cintaku padamu luar biasa~ tapi  cintaku padamu luar biasa~~"
Saima mengernyit. Heran dengan tingkah random Jaendra yang tiba-tiba menyanyi.
"Aku tak punya bunga~ aku tak punya harta~ yang kupunya hanyalah hati yang setia~ tulis padamu~"
"Diem. Suaramu jelek, Jae." Bohong. Karena nyatanya, mendengar suara berat Jaendra yang bernyanyi benar-benar membuat dada Saima mulai berdebar cepat.
Jaendra cemberut. "Si Haikal ngibul berarti."
"Haikal siapa?"
"Temen Janu. Dia bilang kalo aku nyanyi lagu cinta luar biasa di depanmu bisa bikin kamu tersipu-sipu." Lalu, Jaendra mengamati pipi Saima. "Mana? Nggak, tuh!"
Saima mendorong jauh wajah Jaendra, ia berdeham.
"Babe ..."
"Apa?"
"Ini serius kamu nggak mau ngamuk?"
"Kenapa aku harus ngamuk?"
Dengan bibir maju beberapa senti Jaendra tidak menjawab, pemuda itu bergeser menjauh kemudian membelakanginya. Saima tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Jaendra tetapi ia tahu kalau sekarang Jaendra tengah menghubungi seseorang karena suara panggilan yang tersambung terdengar jelas ditelinganya.
Butuh waktu beberapa saat untuk panggilan benar-benar diangkat. Begitu diangkat, Jaendra tidak membiarkan seorang diseberang sana menyahut karena pemuda itu sudah lebih dulu mengeluarkan rengekan sangat manja, yang sempat membuat Saima merinding geli walau ini bukan pertama kali Saima mendengarnya. Tapi ... demi apapun! Tetap saja!
"Mamaaaaa ...!"
"..."
"Percumaaaaa! Namain kontak Mama di hp abang jadi Loveeeee. Mama nggak berhasil bikin Saima ngamuuuuuuk!"
***

Komento sa Aklat (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata