logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Game Over, 02

"Babe ..."
Panggilan disertai sepasang tangan yang melingkar di pinggang juga sebuah dagu yang bertumpu di pundaknya, membuat Saima menoleh dan nyengir saat mendapati raut cemberut kekasihnya.
"Serius banget. Lagi ngapain, sih? Aku sampai kamu cuekin."
"Baca komenan."
"Komenan?"
Saima menyodorkan ponsel ke arah Jaendra untuk ikut serta melihat apa yang tengah ia lihat tadi. Tepatnya sebuah postingan Instagram yang memuat dirinya.
Well, Jaendra memang sering melakukannya, mengunggah fotonya di akun Instagram pribadi milik pemuda itu. Sesering itu makanya Saima pernah bertanya apa alasannya tetapi kekasihnya enggan menjawab dan malah memberi pelukan erat kemudian meracau, mengungkapkan betapa bahagianya Jaendra memilikinya.
"Gimana, fotonya? Kamu cantik dan akan selalu seperti itu."
Alih-alih salah tingkah, Saima malah tak kuasa memutar bola mata malas.
Jaendra dengan mulut manisnya memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dan sudah menjadi makanan sehari-hari Saima setidaknya selama satu tahun lebih terakhir. Bukannya tidak mempan, lebih kepada karena ia sudah terbiasa.
Jaendra terkekeh. Pemuda itu mencium sekilas pipi Saima sebelum mengangkat wajah. Tidak lagi memeluk namun berganti memainkan rambut sepunggungnya yang sering dikuncir.
Saima membiarkan saja. Toh, kalau pun dilarang, Jaendra pasti tidak akan mendengarkan. Ia kembali memfokuskan pandangan ke ponselnya, membaca komenan yang membanjiri postingan fotonya. Tawa Saima yang tidak lebar dan banyak-banyak amat pun mengudara.
"Kenapa?" Tanya Jaendra penasaran.
"Senyum coba," pinta Saima. "Yang lebar."
Jaendra sempat menggernyit tetapi setelahnya pemuda itu tetap menurut, tersenyum lebar hingga memperlihatkan dua lesung pipinya yang tercetak menawan.
"Nggak meledak, Jae," simpul Saima.
"Apanya?" Jaendra bertanya seraya meminum jus yang memang tadi Saima buatkan untuk pemuda itu.
"Jantung aku, nggak meledak."
"Ap—uhukuhukuhuk!" Jaendra tersedak dan bukannya menolong, Saima hanya berkedip sampai batuk Jaendra mereda dengan sendirinya. "Babe, kamu ngomong apa, sih?!"
Saima mengerjap, matanya memandang polos. Ia mengangkat bahu. "Ada yang komen."
"Mana?"
"Katanya liat lesung pipi kamu bikin jantung meledak," terang Saima kemudian.
"Terus kamu percaya gitu?" Jaehyun menganga.
"Nggak tahu." Saima menjawab malas, terlihat tidak tertarik membahas topik tersebut lebih lanjut.
Mendapati sikapnya yang demikian membuat Jaendra geleng-geleng, pemuda itu merebahkan kepala di pundak Saima. "Kamu kok gemesin?"
"..."
Kemudian Jaendra tertawa ketika Saima tidak menanggapi gombalan pemuda itu. "Lagi gabut, ya? Sampai komen begituan aja kamu anggap serius?"
Saima mengangguk. "Iseng aja. Komenan mereka ... lucu?" Sambungnya tidak yakin.
"Kirain ..." Sebelah tangan Jaendra terulur mengusap dagu Saima. "Gemesinnya ..." Rupanya pemuda itu belum menyerah.
Saima meletakan ponselnya di atas meja di hadapan sebelum sepenuhnya menyandarkan tubuh di sofa menghadap Jaendra yang juga melakukan hal yang sama dengannya.
"Aku penasaran," gumam Saima yang masih bisa didengar.
"Penasaran apa?"
"Untuk ukuran kamu yang bukan artis dan terlalu dini buat dibilang seorang selebgram, tapi pengikut kamu banyak dan setiap posting foto apapun selalu banjir komenan. Aku jadi penasaran, sepopuler apa kamu di kampus."
Saima sebenarnya tidak sepenuhnya tidak tahu alasannya. Ia tahu. Namun entah kenapa sekarang ia ingin menanyakannya saja langsung pada kekasihnya yang katanya ... berparas tidak manusiawi. Anggapan yang terlalu lebay menurutnya tetapi sesekali ia ikut mengiyakan hal tersebut. Matanya masih berfungsi dengan baik omong-omong.
Jaendra tersenyum sok misterius. "Kamu akan tau nanti setelah lulus sekolah."
"Kenapa nggak sekarang aja."
"Pokoknya nanti aja!"
Saima berpikir sebentar. "Tapi, Jae."
"Hm?"
Sampai sekarang Saima masih seringkali bertanya-tanya, apa yang menarik dari wajahnya sampai membuat Jaendra selalu tidak berkedip dalam waktu cukup lama ketika sudah menatapnya.
"Aku nggak ada bilang mau daftar kuliah di tempatmu."
"Ih, kok gitu?" Tubuh Jaendra langsung menegak sempurna. "Kenapa?"
"Nggak tau."
"Babe ..."
Saima mengendikan bahu. "Nggak mau aja." Lalu, kepalanya tertoleh ke depan dan kembali menatap layar televisi yang sedari tadi diacuhkan dengan tatapan tanpa minat.
Terdengar decakan Jaendra. "Kenapa nggak mau? padahal kampusku termasuk jajaran kampus terbaik di negara ini lho, Babe. Dulu aku aja sampe sujud syukur karena nggak nyangka bisa keterima di sana, padahal aku nggak sepinter itu."
"Aku tahu." Saima menoleh, ia bisa melihat bagaimana raut wajah Jaendra perpaduan antara rasa kesal dan penasaran. Sangat menggemaskan dan sangat tidak sinkron dengan tubuh berotot pemuda itu.
"Terus kenapa nggak mau daftar ke sana, Babe?" Jaendra masih belum menyerah. "Lagian melihat gimana pacarku yang seorang Saima Adara yang luar biasaaaaa ini, bukan perkara yang sulit buat masuk ke sana. Aku yakin." Pemuda itu mengakhiri kalimatnya dengan senyum sekaligus alis yang sengaja di naik turunkan.
"Aku nggak tertarik."
"Babe ..."
Saima menyeringai kecil. Ia tahu bila jawaban yang ia berikan barusan sangatlah tidak memuaskan makanya telunjuknya terulur, menusuk pelan pipi kanan Jaendra sebentar sebelum bibirnya mengambil alih untuk mengecupnya. Dimana tindakan yang ia lakukan tersebut langsung membuat bibir Jaendra yang mengerucut kesal menjadi terkulum senang.
"Hehehe." Jaendra cengengesan dan Saima hanya bisa mendengus kala pemuda itu menyuruhnya untuk mengecup pipi kirinya, biar adil. Sangat modus, namun tetap ia berikan. Lalu, tatapannya menjadi datar kemudian begitu Jaendra menunjuk bibir sendiri tanpa kata tetapi seolah tengah mengode padanya agar bagian yang ditunjuk ikut dikecup juga.
"Minta dipukul?"
"Pelit." Jaendra mencibir.
"Aku belum kepikiran buat kuliah," ungkap Saima tiba-tiba.
Jaendra tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa, jangan diambil pusing, ya? Masih ada waktu yang lebih dari sehari, Babe."
Saima tidak bisa untuk tidak tersenyum begitu mendengarnya.
Tidak ada balasan dan sepertinya keduanya sepakat untuk mengakhirinya dan sama-sama fokus menatap ke depan pada layar televisi dengan tubuh saling bersandar satu sama lain. Sementara kedua tangan Saima sendiri tidak pernah lepas dari genggaman Jaendra walau itu cuma barang sebentar sekalipun ia izin ingin pergi ke dapur mengambil minuman karena haus.
"Cuma sebentar, Jae."
Jaendra menggeleng. "No, kamu nggak boleh pergi! Titik."
Saima menghela nafas. "Tanpa ada kelakuan dramamu, aku pasti udah balik ke sini lagi," sindirnya sembari menatap ke arah dapur yang bahkan keberadaannya terlihat jelas dari ruang tengah.
"Kalo kamu haus minum aja minumanku," tawar Jaendra. "Aku ini tamu. Jadi sebagai tuan rumah yang baik, kamu nggak boleh ninggalin tamu yang lagi berkunjung, oke? Jangan kaya waktu itu, izinnya mau ke kamar bentar tau-taunya sampe berpuluh-puluh menit dan pas aku samperin, ternyata lagi pacaran sama buku."
Saima meringis. "Masih aja diungkit. Padahal udah minta maaf."
"Aku tahu. Tapi serius, Babe. Sampe sekarang setiap keinget itu, aku beneran masih sakit hati. Ternyata aku kalah jauh sama buku kamu yang kelebihan kertas, tua dan bau tai kucing itu. Emang, ya punya muka ganteng aja ternyata nggak cukup buat jadi pacarmu."
"Apasih, Jae."
"Sakitnya tuh, di sini."
"Drama banget, heran." Saima menangkup wajah Jaendra dan menariknya gemas. Tentu saja sang empunya memekik minta dilepaskan.
"Sakit, Babe!"
Saima tertawa. Ia jelas tidak meminta maaf untuk perbuatannya tapi, sebagai gantinya ia menarik leher Jaendra sampai-sampai gerutuan yang pemuda itu lontarkan teredam karena pelukan yang ia berikan.
Saima mengusap perlahan punggung Jaendra. "Marah mulu dari tadi. Nggak cape?" Tanyanya.
"Cape," jawab Jaendra, bergumam di pundaknya. Pemuda itu membalas pelukannya jauh lebih erat.
"Diem makanya."
"I love you," jawab Jaendra tidak nyambung.
Saima diam. Ia tidak merespon dengan kalimat apapun tetapi tak dapat disembunyikan lagi kalau senyum yang coba ia tahan perlahan terbit tanpa sepengetahuan Jaendra di wajah cantiknya yang kebanyakan selalu memperlihatkan ekspresi datar.
Tidak seperti kekasihnya yang dikenal terlalu ramah—untuk ukuran seorang gadis, Saima terbilang cukup cuek dan tidak pedulian. Hanya saja ia tidak secuek itu sampai tidak pernah bertingkah dan mengucapkan sesuatu yang manis. Ia jelas pernah sayangnya, hanya akan dilakukan jika memang mengharuskan ia untuk melakukannya dan seperlunya saja.
Juga, Saima tidak setidak pedulian itu walau mungkin ada beberapa hal yang benar-benar tidak ia pedulikan sama sekali. Meski bisa dihitung jari namun ada kalanya ia juga bisa dibuat salah tingkah karena Jaendra yang jelas tidak bisa menutup fakta merupakan sosok yang keberadaannya sulit diabaikan begitu saja.
Saima mencoba menjauhkan diri. Niat yang bertentangan dengan Jaendra yang justru kian menenggelamkan kepala di perpotongan lehernya. "Minggir, Jae."
Jaendra tak bergeming.
"Udah dulu pelukannya. Badanmu berat."
"Lima menit lagi."
"Nggak."
"Pleaseee?"
"Nggak, Jae."
"Ih, kok jahat??"
"Lima menitnya kamu beda," balas Saima terus terang.
"Kalo tau bakal kamu perlakuin gini, nggak mau aku sempet-sempetin main padahal aku capek banget abis kuliah."
"Nggak ada yang minta juga."
"Aku kangen!"
"Jangan kaya orang susah, Jae."
Sebelah alis Jaendra terangkat. "Kamu paling tau kalo aku bukan orang susah."
Benar.
"Nggak gitu." Saima menggeleng saat Jaendra salah terka. Memang ia tahu tapi apa yang ia katakan sebelumnya sama sekali tidak untuk merujuk pada keadaan ekonomi pemuda itu. "Maksudku, ada teknologi yang namanya ponsel ... bisa chat, telepon bahkan videocall." Ia perlu meluruskan. "Jadi jangan kaya orang susah."
"Tetap aja beda, Babe," tekan Jaendra. "Lagian nggak asik tuh, kalo nggak ketemu langsung. Kamu sering slow respon kalo aku hubungi, udah gitu mana bisa peluk kamu? Mana bisa cium kamu? Enakan ketemu langsung kemana-mana."
Saima melirik Jaendra.
Jaendra langsung merapatkan bibir antisipasi sebelum akhirnya buru-buru menambahkan, "Aku juga khawatir banget karena kamu sendirian di rumah."
"Aku bukan anak kecil, Jae."
"Bukan anak kecil bukan berarti nggak bisa kenapa-kenapa, Babe."
"Aku bisa jaga diri," tukas Saima. "Ini bukan pertama kali aku ditinggal sendirian mama papa kerja ke luar kota."
"Tapi, kan—"
"Jangan lebay."
Tentu, Jaendra menggerutu sebentar sebelum sepenuhnya mau mengangkat kepala dan melepaskan diri.
"Seharusnya dari tadi," decak Saima. Ia sudah akan bergeser memberi sedikit jarak tapi terhenti ketika kedua matanya menangkap sesuatu di balik kaos hitam panjang Jaendra yang atasnya agak terbuka karena tertarik ke samping.
"Kulit kamu ada merah-merahnya."
Jaendra menggernyit bingung. "Mana?"
"Itu." Saima menunjuk.
"Ini?" Jaendra menunjuk ulang bagian yang Saima maksud.
Saima mengangguk. "Kenapa?"
Sepertinya pertanyaan yang Saima ajukan cukup sulit karena butuh jeda beberapa saat dan barulah Jaendra menjawab, "Nggak tau. Digigit nyamuk kali."
"Oh." Saima merespon seperlunya. Tidak mau ambil pusing. Namun di sisi lain ia merasa ada keanehan.
Sejak kapan ruam merah yang disebabkan oleh gigitan nyamuk ... ukurannya menjadi sebesar itu?
"Babe ..."
"Hm?" Saima tidak lagi memandang leher Jaendra.
Jaendra menatap Saima lama.
"Kenapa?"
Jaendra mencium pipi Saima. "I love you."
***

Komento sa Aklat (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata