logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Pilih Aku atau Ibumu

Pilih Aku atau Ibumu

Farzana Nazia


Bab 1. Pertemuan Pertama

“Kinan, kamu mau pergi ke mana?” tanya Rudi sambil menarik tas koper Kinan.
“Aku mau pergi dari rumah ini,” jawab Kinan.
“Jangan seperti ini Kinan, semuanya bisa dibicarakan baik-baik bukan? Aku mohon sama kamu, jangan pergi! Apakah rasa cinta di hati kamu sudah tidak ada untukku Kinan?”
“Maafkan aku Rudi, aku sudah tidak tahan lagi tinggal satu atap bersama ibumu. Sekarang pilihan ada ditanganmu. Pilih aku atau ibumu?”
Rudi hanya terdiam seribu bahasa dan tak bisa memilih antara istri atau ibunya. Sementara Kinan tetap melangkahkan kakinya untuk pergi menuju gerbang. Rudi hanya bisa tertunduk lesu melihat Kinan pergi meninggalkan rumahnya.
“Kenapa kamu meninggalkan aku Kinan? Aku tak bisa memilih antara kau dan ibuku. Kalian berdua sangat berarti dalam hidupku. Di mana Kinan yang dulu?” ujarnya dalam hati dengan deraian air mata yang tak bisa di bendung lagi.
Malam hari pun tiba, Air mata Rudi masih mengalir begitu derasnya hingga membasahi bantalnya, pikirannya selalu tenggelam dalam momen-momen bahagia bersama Kinan. Ia terus membayangkannya sampai-sampai terbawa dalam dunia mimpi.
***
Waktu menunjukkan Pukul 08.00, Kinan si gadis cantik dan baik hati terlambat lagi masuk kuliah seperti biasanya. Dengan motor mungilnya itu, ia mencoba melaju sekencang-kencangnya untuk tiba di kampus tepat waktu. Namun, secara tidak sengaja ia menabrak seorang ibu yang tengah menyeberang. Ia pun berhenti dan melihat kondisi ibu tadi.
“Aduh, ibu tidak apa-apa? Maafkan saya, Bu! Bagaimana kalo ibu saya antar ke rumah sakit?” kata Kinan.
“Sudahlah, untungnya ibu tidak apa-apa. Ini hanya lecet sedikit saja. Tidak perlu ke rumah sakit,” kata sang ibu.
“Baiklah, kalau begitu saya antar ibu pulang saja bagaimana?”
“Terima kasih banyak, ya. Ngomong-ngomong nama anak ini siapa?”
“Nama saya Kinan. Nama ibu siapa?”
“Nama ibu Rini.” “Mari, saya bantu naik motornya. Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu? Sudah membuat ibu jatuh.”
“Tidak apa-apa Kinan. Sudah ibu maafkan, kok.”
Dalam hatinya Kinan masih merasa bersalah karena sudah menabrak Bu Rini. Selama perjalanan pulang, keduanya saling bercerita satu sama lain. Bu Rini menceritakan anak laki-lakinya yang baru saja pulang dari menyelesaikan pendidikannya di Mesir. Suami ibu Rini ini sebenarnya adalah pria Mesir. Keduanya bertemu saat masih menempuh pendidikan di kampus. Suami Bu Rini ini mengikuti pertukaran mahasiswa Indonesia dan Mesir. Saat itu ada acara perkenalan mahasiswa asing di kampus, dan di sana mereka dipertemukan. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan, penyayang, baik hati, dan agak sedikit ceroboh. Nama anaknya adalah Rudi, pria berdarah Indonesia dan Mesir yang merupakan seorang CEO muda berbakat. Bu Rini terus menceritakan sosok anaknya itu kepada Kinan. Ia berharap bisa membuat Kinan terkesan dengan Rudi.
“Sudah sampai. Ini rumah ibu,” kata Bu Rini.
“Wah, rumah ibu besar sekali ya? Mari, saya antar masuk ke dalam!" ajak Kinan.
Di saat pintu rumah itu terbuka, muncullah Rudi yang dengan sigapnya langsung menghampiri ibunya.
“Ibu, ibu kenapa bisa seperti ini? Tidak ada yang luka kan?” katanya dengan khawatir.
“Rud, ibu tidak apa-apa kok. Tadi, Kinan tidak sengaja menabrak ibu. Tapi, untungnya ibu tidak apa kok. Sudah, jangan khawatir!” jawab sang ibu.
“Oh, kamu yang sudah menabrak ibuku….,” terdiam sejenak karena terpesona dengan wajah cantik Kinan.
“Maafkan aku, sekali lagi aku benar-benar minta maaf sudah menabrak ibu Anda. Maafkan saya Pak Rudi…Pak….Pak….Pak Rudi?” ujar Kinan.
“Eh, iya saya maafkan. Lain kali jangan ulangi lagi ya?” Rudi pergi meninggalkan Kinan dengan raut wajah tersipu malu.
Sepertinya benih-benih cinta telah muncul di hati Rudi. Selama ini ia tak pernah memiliki atau bisa dibilang membatasi dirinya untuk mencintai seseorang. Sebab, ia hanya fokus menyelesaikan pendidikannya, bekerja, dan merawat ibunya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya 10 tahun. Jadi, dari usia kecil ia sudah memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tapi hari itu, hati yang kokoh itu telah luluh pada seorang gadis yang tak sengaja menabrak ibunya. Amarah yang ada di dalam dada tiba-tiba sirna entah ke mana dan tergantikan dengan perasaan cinta yang menggetarkan hampir setiap sanubari dalam tubuh kecilnya.
“Hhhm, Bu saya pamit ya? Saya lupa kalau ada kelas hari ini.”
“Oh iya, maaf ya sudah merepotkan?”
“Kenapa jadi ibu yang minta maaf. Seharusnya saya yang minta maaf karena sudah menabrak ibu tadi. Hhhm, Mas Rudi saya pamit ya?”
“Iya, hati-hati di jalan Kinan.”
“Iya, Wassalamualaikum.”
“Waalaikumalam.”
Semenjak pertemuan pertama itu, Rudi terus terbayang wajah Kinan. Saat Mandi, tidur, makan, hingga bekerja pun ia tidak fokus, karena pikirannya hanya tertuju pada satu tujuan yaitu Kinan. Melihat keadaan Rudi yang semakin aneh saja setiap harinya. Bu Rini jadi khawatir dengan anak semata wayangnya itu.
“Rudi kamu kenapa? ibu perhatikan beberapa hari ini kamu jadi sering melamun,” tanya Bu Rini.
“Bu, sepertinya aku menyukai Kinan,” jawab Rudi.
“Kamu menyukai Kinan? Benarkah ini Rudi? Ibu tidak salah dengar kan?” katanya dengan penuh kegirangan.
“Iya. Ibu punya nomor teleponnya Kinan?”
“Sebentar ibu lihat dulu, sepertinya waktu itu Kinan memberikan kartu namanya.”
Bu Rini mulai mengambil dompetnya untuk mencari kartu nama Kinan.
“Nah, ini kartu namanya. Sejujurnya ibu juga suka sama Kinan. Dia itu anak yang baik, sopan, bertanggungjawab, dan ramah. Ibu ingin sekali punya mantu kayak dia. Sepertinya impian ibu akan jadi kenyataan ya? ”
"Doakan saja, semoga Kinan juga menyukai Rudi.”
Setelah mendapat nomor telepon Kinan, Rudi akhirnya memberanikan diri untuk meneleponnya di tengah malam yang dingin nan syahdu, ditambah getaran jantung yang terus berdegup kencang. Suara deringan telepon Rudi pun sampai di rumah Kinan.
“Halo, dengan Kinan di sini. Ini siapa ya?”
“Halo Kinan, ini Mas Rudi anaknya Bu Rini yang Kemarin tidak sengaja kamu tabrak.”
“Oh, Mas Rudi. Iya aku ingat. Ada apa Mas Rudi? Apa terjadi sesuatu kepada Bu Rini?”
“Ibu baik-baik saja kok. Tidak usah khawatir. Maaf ya menelepon kamu malam-malam begini. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kamu Kinan.”
Jantungnya terus berbunyi hingga membuatnya tak bisa berkata lagi. Sejenak Kinan menatap ke arah jendela sambil menunggu Rudi melanjutkan kalimatnya yang terhenti.
“Halo, Mas Rudi, kenapa diam? Sebenarnya apa yang ingin Mas Rudi sampaikan?”
“Eh iya, Kinan, hari minggu kamu ada acara tidak? Aku mau mengajakmu keluar.”
“Hhhhm, kayaknya tidak ada. Boleh, memangnya Mas Rudi mau mengajakku ke mana?”
“Mau ke Ancol tidak? Sudah lama aku tidak ke sana. Di Indo aku juga tidak terlalu punya banyak teman untuk diajak keluar. Kamu mau kan keluar sama aku?”
“Sebentar, aku tanya ayah dulu ya boleh apa tidaknya?”
Rudi berharap ayahnya Kinan mau memberikan ijinnya agar bisa mengajak Kinan pergi keluar. Tidak sengaja ia mendengar percakapan Kinan dengan ayahnya melalui telepon. Saat mendengar jawaban “iya” dari ayahnya Kinan, Rudi senang bukan main, begitu pula ibunya yang berdiri persis di luar pintu kamar anaknya itu. Ia berteriak sangat keras sampai-sampai terdengar oleh ayahnya Kinan di telepon. Tiba-tiba telepon di tangan Kinan diambil oleh ayahnya.
“Halo, saya izin kan putri saya keluar sama kamu. Tapi, ingat! Kalau terjadi sesuatu apa-apa padanya, jangan harap kamu bisa selamat dari saya, mengerti!” kata ayah Kinan dengan tegasnya.
“Iya pak, saya berjanji akan melindungi Kinan. Bapak tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa pada Kinan. Boleh saya bicara dengan Kinan lagi, pak?” jawab Rudi dengan terbata-bata.
“Iya Mas rudi. Hari minggu jam 12 ya? Soalnya kalau pagi aku ada temu janji sama teman-teman di kampus? Bagaimana?” tanya Kinan.
“Iya, jam berapa pun aku bisa kok. Soalnya aku juga lagi libur kerja,” jawab Rudi.
“Ya sudah, teleponnya aku tutup ya. Selamat malam Mas Rudi.”
“Selamat Malam Kinan.”
Malam ini adalah malam yang menggembirakan bagi Rudi. Walaupun sedikit mendapat amarah dari ayahnya Kinan, ia tetap memberanikan diri bicara dengannya meski dengan suara terbata-bata dan agak tidak jelas. Tapi, Akhirnya sang ayah memberikan ijinnya. Dalam hatinya ia bergumam.
“Mungkin ayahnya Kinan memberikan restunya kepadakbenarkah? Semoga yang aku pikirkan ini benar. Amin ya rabb,” katanya sambil berguling-guling di atas tempat tidur.

Komento sa Aklat (181)

  • avatar
    MunandaHarry

    🔥🔥🔥

    9d

      0
  • avatar
    FAIZALMohamad

    👑 nice

    20d

      0
  • avatar
    MemaLista

    sang menyenangkan

    18/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata